Tentu saja, obrolannya tidak jauh dari tema wabah ini. Dari pekerjaan yang terpengaruh, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di kota kami, hingga aktivitas warga perumahan kami yang kini dibatasi wabah ini.
Lantas, pak RT bercerita bila ada warga (tanpa menyebut nama) yang bercerita membutuhkan bantuan karena pekerjaannya sedang 'mati suri' sehingga tidak ada pemasukan. Sementara angsuran rumahnya masih jalan terus. Padahal, warga tersebut bekerja sebagai kontraktor yang selama ini identik dengan 'uang gedhe'. Namun, di masa pandemi ini, ceritanya berbeda.
Sebelumnya, melalui grup warga, Pak RT memang menyampaikan pengumuman dari pihak desa bila ada warga yang merasa membutuhkan bantuan, agar mengajukan melalui RT/RW. Tentu saja, dengan beberapa syarat. Semisal melampirkan surat PHK dari perusahaan.
Tidak hanya itu, setelah data penerima bantuan itu masuk, pihak pemerintah desa akan melakukan verifikasi faktual dengan mengecek langsung rumah calon penerima bantuan.
Nah, bagi warga yang tinggal di perumahan, terlebih di perumahan menengah ke atas, tentu verifikasi ini akan menjadi kendala.
Sebab, ketika pihak desa melihat langsung kondisi mereka, tentunya sulit untuk menyebut bahwa mereka warga miskin dan berhak mendapatkan bantuan. Lha wong rumahnya bagus.
"Tetap saya coba ajukan ke pihak desa, tapi nanti memang ada verifikasinya," ujar pak RT.
Butuh tetangga yang peduli
Nah, bila seperti itu ceritanya, tentu sulit bagi warga mendadak miskin ini untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah. Sementara mereka benar-benar membutuhkan bantuan karena situasi sulit yang mereka hadapi.
Lalu, harus bagaimana membantu mereka?
Bila seperti itu, mereka hanya bisa mengharapkan kebaikan dari semua pihak. Saya sebut semua pihak karena memang butuh melibatkan banyak pihak untuk mengangkat kesulitan yang dihadapi warga seperti mereka.