Sebagai ganti, saya berolahraga ringan bersama dua anak saya. Bermain bola di depan rumah. Sembari menyerap sinar matahari demi menambah imunitas tubuh sebagai benteng agar tidak terpapar Covid-19. Namun, jangan bayangkan bermain bolanya seperti umumnya.Â
Dulu, sebelum puasa, demi untuk 'berjemur' di bawah matahari, tepat pukul 10.00, kami sering bermain bola 2 on 2 dengan dua sandal yang dijajar berjarak difungsikan sebagai gawang. Saya bersama si bungsu. Sementara si kakak bersama temannya.Â
Main begitu saja, selama 30 menitan sudah berkeringat dan lumayan lelah. Pertanda memang usia tidak seperti 15 tahun lalu ketika main bola 2x45 menit pun kuat.
Bahwa, bermain bola tidak bisa membawa bola sendirian. Tapi mereka butuh teman untuk saling mengoper. Bila sudah seperti itu, gayanya ayahnya sudah seperti pelatih sepak bola.
Usai mengenalkan teori, lantas mencoba praktek mengumpan dan menendang. "Wah, kakak sudah bisa tendangan pisang, Yah," ujar si kakak. Â
Kami bermain tidak lama. Sebab, anak-anak juga berpuasa. Â Namun, meski sebentar, badan bisa berkeringat. Anak-anak juga bergembira.
Malah, seusai bermain, mereka banyak bertanya tentang zaman muda saya dulu ketika ayahnya masih sering main bola ataupun futsal. Gayanya sudah seperti wartawan yang tengah mewawancara narasumber.Â
Pendek kata, berpuasa bukan menjadi alasan untuk sekadar rebahan dan mager alias malas gerak. Justru, bila sering mager dan tidak melakukan aktivitas, badan akan menjadi cepat lemas.
Karenanya, badan harus tetap digerakkan. Kalaupun tidak melakukan aktivitas yang bisa disebut berolahraga 'secara resmi', kita juga bisa melakukan aktivitas lainnya yang memungkinkan badan bergerak.
Seperti mencuci baju hingga menjemurnya, mencuci piring lantas menata di rak, atau beres-beres di dalam rumah, juga menjadi bagian dari bergerak agar stamina tetap terjaga.