Bulan Ramadan kali ini datang dengan cara 'berbeda'. Tidak biasanya, bulan yang bila kita menyambut kedatangannya dengan bergembira saja sudah menjadi pahala, kali ini datang di tengah wabah.
Ya, wabah coronavirus disease (Covid-19) yang mewabah di hampir semua wilayah dan belum jelas kapan akan berakhir, membuat sebagian besar dari kita menyambut Ramadan tanpa sukacita.
Malah, beberapa dari kita menyambut Ramadan dalam suasana lara karena kondisi ekonomi keluarga yang semakin tidak menggembirakan. Karena Corona, mereka yang biasanya merasakan 'panen' selama Ramadan, kini malah mengalami 'paceklik'. Tidak sedikit yang kini 'dirumahkan'.
Karena corona, kita tidak bisa lagi melewatkan malam-malam Ramadan di masjid dengan beribadah berjamaah seperti dulu. Anak-anak yang biasanya paling senang menunggu waktu bisa bersantap takjil berbuka dan sholat tarawih bareng teman-temannya, hanya bisa bertanya mengapa kali ini tidak bisa. Lantas hanya pasrah.
Ya, sesuai imbauan pemerintah demi membatasi ruang gerak virus yang sudah menjadi pandemi ini, kita memang diimbau untuk melewatkan Ramadan dari rumah. Seperti melakukan aktivitas ibadah bersama keluarga di rumah. Juga berbuka puasa dan sahur dari rumah.Â
Tidak lagi ada buka bareng di rumah makan atau di food court mall bareng teman-teman kantor, bagi-bagi takjil di jalan, maupun melakukan sahur on the road bersama komunitas seperti dulu.
Namun, bagaimanapun situasi yang terjadi, tidak membuat Ramadan kehilangan kemuliaannya. Ramadan tetaplah bulan yang penuh berkah dan pahala. Bulan ibadah. Bulan diturunkannya Alquran.
Memang, dengan lebih banyak melewatkan hari di rumah, kita mungkin akan menjadi lebih 'malas' dibanding bila bisa beraktivitas seperti biasa. Apalagi bagi sampean (Anda) yang memiliki mobilitas tinggi, kini mendadak 'dipaksa' di rumah saja.
Sejak sebelum Ramadan, saya pun merasakan perubahan dari biasanya bekerja 'mengukur jalan' dan bertemu banyak orang, kini hanya di rumah saja. Terkadang muncul rasa bosan dan malas. Terlebih bila target pekerjaan sudah selesai.
Nah, selama Ramadan ini, bilapun memang terpaksa menjadi pemalas dikarenakan keadaan memang seperti ini, kita bisa menjadi orang malas yang berguna selama Ramadan. Seorang 'pemalas positif'. Pemalas yang seperti apa?
Malas bila rebahan saja
Sejak kecil, alam pikir kita sudah mendapat asupan informasi yang kita yakini kebenarannya, bahwa tidurnya orang puasa selama Ramadan itu berpahala. Meski belakangan, ada yang berujar bila sumber hadits nya itu lemah.
Bahkan, di masa wabah Corona ini, beberapa pesan singkat di media sosial menyebutkan bahwa dengan hanya rebahan di rumah, kita sudah berjasa bagi negara. Sebab, dengan tetap berada di rumah, kita sudah ikut berperan untuk menghentikan persebaran virus.
Tapi memang, logikanya, dengan tidur dan rebahan, kita akan terhindar dari melakukan perbuatan-perbuatan yang bisa merusak puasa. Seperti membicarakan aib orang lain ataupun menonton tayangan buang-buang waktu di Youtube yang tidak seharusnya ditonton. Â
Toh, bilapun rebahan itu ada manfaatnya, apa iya selama seharian berpuasa kita terus rebahan. Bilapun rebahan itu berpahala, tetapi bila bisa beraktivitas yang bermanfaat di rumah, tentu nilai ibadah dan pahalanya lebih besar.
Agar tidak malas rebahan saja, kita perlu menetapkan beberapa target selama Ramadan. Ada harapan yang ingin dicapai. Seperti target membaca Alquran setiap hari. Target sholat tepat waktu dan tidak bolong-bolong. Ataupun target menghasilkan tulisan bermanfaat dalam sehari.
Termasuk target mengurangi tidur malam demi lebih banyak beribadah. Semisal bangun lebih awal dari waktu sahur. Dengan malas rebahan saja dan melakukan aktivitas di rumah, Ramadan kita tentu akan lebih keren.
Malas Mendramatisir Kehidupan Sendiri di Media Sosial
Situasi sulit yang terjadi sekarang imbas dari wabah Corona, membuat beberapa orang mulai mudah berkeluh kesah. Utamanya perihal kondisi ekonomi karena pekerjaan dan penghasilan yang tidak lagi selancar dulu.
Dari pantauan di media sosial, saya sempat menemukan postingan teman di dunia maya yang menumpahkan kesulitan yang mereka hadapi di media sosial. Hampir setiap hari, status dan narasi tulisan yang diposting di akun media sosialnya, hanya berisi keluhan. Kisah sulit kehidupannya malah dibagikan di ruang publik.
Padahal, salah satu esensi dari melaksanakan puasa Ramadan, kita diajari untuk lebih bersabar. Kita diajari untuk menahan diri. Termasuk menahan diri untuk tidak mendramatisir kehidupan sendiri di media sosial.
Padahal, ketika kita terus-menerus menceritakan kesulitan hidup yang kita hadapi di ruang publik, tidak semua orang akan merasa bersimpati dan kasihan. Malah mungkin ada yang menertawakan.
Lha wong kita tidak sedang susah sendirian. Semua orang juga sedang kesulitan. Apa tidak malu dengan orang lain yang juga sedang susah bahkan mungkin lebih susah, tetapi mampu lebih bersabar.
Karenanya, penting selama bulan Ramadan ini untuk menjadi orang yang malas mendramatisir kehidupan sendiri di media sosial. Bilapun situasi memang sedang sulit, cukuplah curhat dengan Dia Yang Maha Memudahkan Urusan agar diberikan jalan keluar terbaik. Bukannya curhat di media sosial yang malah sia-sia. Â
Malas ngomongin aib orang lain
Tipikal pemalas positif lainnya yang perlu kita lakukan selama Ramadan kali ini adalah malas membicarakan aib orang lain. Memang, dengan berada di rumah, rasio untuk mengungkit aib orang lain menjadi berkurang dibandingkan ketika kita berkumpul dengan banyak orang.
Namun, ibarat 'teori' dalam dunia kriminal bahwa kejahatan bisa terjadi karena adanya niat dan kesempatan, membicarakan aib orang lain juga bisa seperti itu alurnya.
Kita mungkin tidak berniat ngomongin orang lain, tetapi lantas ketika tanpa sengaja membaca pesan yang dibagikan orang lain di WhatsApp ataupun menulis pesan di media sosial, mendadak kita seperti menemukan alasan untuk 'ngrasani' orang lain.
Namun, dari niat dan kesempatan tersebut, yang paling menentukan sejatinya niatnya. Karenanya, ketika kita sudah memasang target malas membicarakan aib orang lain selama puasa, kita akan bisa melakukannya.
Apalagi, dalam Alquran, jelas disebutkan bahwa siapa yang senang berprasangka mencari-cari kesalahan orang lain, itu seperti memakan daging saudaranya sendiri. Dalam Surat Al-Hujurat (Quran Surat ke-49) ayat 12, diterangkan:Â
"Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Penerima Tobat, Maha Penyayang".
Malas meladeni orang-orang julid
Satu lagi, dalam situasi wabah virus seperti ini, selain mengikuti anjuran pemerintah, penting untuk menjaga imunitas tubuh agar tetap sehat dan tidak mudah terpapar virus. Terlebih selama berpuasa.
Menjaga imunitas tubuh, tidak hanya bisa dilakukan dengan mengonsumsi makanan bergizi dan vitamin ketika berpuasa maupun saat makan sahur.
Mempertahankan imunitas tubuh juga bisa dilakukan dengan menjaga pikiran positif. Salah satunya dengan malas berdebat dan meladeni 'perang kata-kata' di media sosial.
Sering terjadi, ketika kita menulis narasi di media sosial ataupun memposting tulisan di blog yang sejatinya positif, lantas ada yang berkomentar nyinyir. Mereka berkomentar sisi jeleknya.
Nah, menghadapi orang-orang julid di media sosial seperti ini, penting untuk bersikap malas. Penting untuk malas tidak meladeni mereka yang malah bisa membuat mood bagus kita jadi rusak.
Apalagi bila kita ternyata tidak mengenal orang-orang julid tersebut. Untuk apa diladeni. Malas merespons kejulidan mereka menjadi pilihan yang lebih baik.
Pada akhirnya, dengan situasi wabah yang terjadi, saya akan menghabiskan Ramadan kali ini dengan lebih banyak di rumah. Apalagi, mulai Selasa 28/4) besok, kawasan Surabaya Raya, termasuk Sidoarjo yang merupakan tempat tinggal saya, akan menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga 13 Mei mendatang.
Selama itu, akan lebih banyak di rumah. Dan, dengan lebih banyak berdiam di rumah, godaan menjadi pemalas akan bertambah besar. Namun, dengan datangnya Ramadan, saya tidak ingin menjadi pemalas yang sia-sia. Saya ingin menjadi pemalas yang positif. Pemalas yang bermanfaat. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H