Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kita dan Imbauan Work from Home vs Work for Home

25 Maret 2020   07:47 Diperbarui: 25 Maret 2020   11:10 996
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejak pekan lalu, pemerintah memberikan imbauan untuk bekerja dari rumah (work from home). Namun, tidak semua orang bisa bekerja dari rumah. Ada yang masih harus bekerja di luar rumah demi menghidupi anak dan istri di rumah/Foto: www.review1st.com

Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa punya kalimat menarik untuk mengingatkan warganya agar tetap berada di rumah guna menekan penyebaran coronavirus disease (Covid-19) di wilayah yang dipimpinnya.

Mantan menteri sosial ini berujar begini. "Ingat, kamu bukan superhero?" ujar Khofifah.

Bu gubernur mengingatkan warganya untuk lebih banyak berdiam di rumah. Agar tidak memaksakan keluar rumah bila memang tidak ada keperluan penting. Sebab, mereka bukan superhero yang punya antibodi super sehingga kebal terhadap Covid-19.

Imbauan bu gubernur itu berkaitan dengan dua ajakan yang sempat viral sejak pekan lalu. Ajakan untuk bekerja dari rumah yang merupakan 'turunan' dari ajakan tetap berada di rumah. Dua ajakan itu punya tanda pagar (#) populer: #WorkFromHome dan #StayAtHome.

Kita tahu, kampanye swaisolasi di rumah ini merupakan bagian dari ajakan untuk menjaga jarak dengan banyak orang (social distancing). Serta, menghindari kemungkinan berkerumun dan berkumpul dengan banyak orang yang berpotensi menjadi ruang penularan Covid-19.

Tentu saja, ajakan tersebut bagus. Ada banyak manfaatnya. Selain mencegah penularan Covid-19, dengan bekerja di rumah dan juga anak-anak "sekolah di rumah", maka keluarga bisa beraktivitas bersama di rumah. Kedekatan dan kebersamaan dalam keluarga pun kembali tercipta.

Bagi sebagian orang, kebersamaan seperti itu "mahal". Langka. Terlebih bagi para ayah yang selama ini bekerja berangkat sangat pagi dan pulang larut malam. Sehingga ketika berangkat kerja, dia hanya melihat anak-anaknya masih tidur. 

Begitu juga ketika kembali ke rumah, anaknya sudah terlelap. Karenanya, imbauan work from home itu bisa menjadi berkah.

Dilema Work From Home dan Work For Home
Namun, tidak semua orang bisa merasakan nikmatnya work form home alias WFH tersebut. Sebab, tidak semua jenis pekerjaan bisa dikerjakan dari rumah. Malah, ada cukup banyak jenis pekerjaan yang harus dikerjakan di luar rumah. Harus ke luar rumah bila ingin bekerja.

Kita tahu, kerja di/dari rumah ini umumnya bisa dilakukan oleh kalangan aparatur sipil negara (ASN), pegawai BUMN, guru, dosen, ataupun pegawai swasta perusahaan besar yang sistem kerja di kantornya sudah keren sehingga memungkinkan untuk bekerja di rumah.

Seperti kemarin, ada kawan yang bekerja sebagai ASN di Pemerintah Kota Surabaya yang menyebut suasana di kantornya kini sepi. 

Gambarannya bak situasi usai villain super di film Avengers, Thanos, baru saja menjentikkan jarinya sembari berujar "i'm inevitable" sehingga menyebabkan setengah populasi hilang.

Menurutnya, seiring merebaknya virus Covid-19, Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini mengeluarkan surat edaran yang mengatur mekanisme hari kerja. Yakni satu hari masuk, satu hari bekerja di rumah alias WFH. Karenanya, kantornya kemudian harus membagi shift kerja (partial work). Imbasnya, kantor tidak bisa full team setiap hari.

Kembali kepada mereka yang bisa bekerja dari rumah, senior saya dalam dunia tulis-menulis yang biasa saya sapa Abah Machmud, punya pandangan menarik perihal dilema work from home ini.

Dalam diskusi daring melalui akun media sosialnya, dia menulis bahwa umumnya kalangan work from home yang bisa bekerja dari rumah ini tidak terlalu terdampak secara ekonomi dan psikologis bila penerapan status darurat 2 atau 3 minggu diterapkan. Atau gampangnya, semi lockdown.

Ya, umumnya mereka tidak terlalu merasakan dampak secara ekonomi. Sebab, mayoritas biasanya sudah memiliki simpanan duit untuk menghadapi situasi tak terduga. 

Sehingga, ketika bekerja di rumah dan melakukan swaisolasi di rumah, mereka bisa membeli bahan makanan bahkan camilan untuk beberapa hari tanpa harus melakukan panic buying.

Nah, selain golongan work from home, ada pula golongan work for home. Apa ini maksudnya?  

Bila dibaca sepintas, dua istilah work from home (kita sebut dengan WFH pertama) dan work for home (kita sebut dengan WFH kedua) hampir mirip. 

Bahkan kedua kalimat itu hanya beda di huruf "m" di kata for dan from saja. Namun, meski beda tipis penulisannya, tapi artinya bisa beda jauh.

Bila definisi WHF pertama sudah dijelaskan pada cerita bagian sebelumnya, golongan WHF kedua ini adalah mereka yang harus tetap bekerja di luar rumah demi memenuhi kebutuhan keluarga di rumah. Makanya, mereka disebut work for home.

Jenis pekerjaan mereka memang tidak bisa dialihkan dikerjakan di rumah. Mereka adalah para pekerja non formal. Semisal sopir angkot, ojek online maupun offline, tukang bangunan, pasukan penyapu jalanan, hingga pedagang dan pekerja di pasar.

Mereka ini termasuk golongan yang umumnya tidak punya gaji bulanan. Kadang juga tidak banyak tabungan dan tidak punya dana pensiun. Meski ada juga yang pandai menyisihkan kelebihan duit untuk ditabung.

Kelompok ini rentan secara ekonomi dan psikologis bila harus benar-benar menaati imbauan pemerintah agar 14 hari di rumah. Karena memang, meminjam ucapan senior yang keilmuan jurnalistiknya saya kagumi tersebut: 

"Belum ada skema tentang pemenuhan kebutuhan dasar untuk kelompok mereka". Jadinya, mereka harus tetap bekerja di luar rumah agar mendapat uang untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari.

"Nah, karena belum adanya ketegasan tentang siapa yang menanggung kebutuhan dasarnya, pasca himbauan agar 14 hari di rumah, jalanan ya masih ramai. Orang tetap bekerja seperti biasanya. Meski sebagian besar juga mengeluh dagangannya kurang laku, pekerjaan bagi tukang dan kuli banyak yang dihentikan dan penumpang angkot, taksi maupun ojek turun drastis," mengutip kalimat Abah Machmud.

Menurut seorang kawan yang pekerjaannya mengharuskan dirinya bekerja di luar rumah, imbauan untuk bekerja di rumah itu memang bagus. Namun, bagus bukan berarti semua orang bisa melakukannya. Baginya, dia justru dihadapkan pada pilihan yang sama-sama 'tidak bagus'.

Sebab, bila bekerja di luar rumah, dirinya kemungkinan berisiko terpapar virus Covid-19 karena berinteraksi dengan orang lain. Sementara bila tetap berada di rumah, dia menyebut keluarganya bisa mati kelaparan karena hanya mengandalkan penghasilannya bekerja di luar. 

"Bilapun risiko terburuknya sama-sama mati, saya tetap bekerja saja daripada berdiam di rumah," ujarnya.  

Jaga keselamatan bila bekerja di luar rumah, terlebih wartawan
Termasuk yang juga dalam kategori work for home ini adalah wartawan yang harus mendapatkan bahan-bahan berita di lapangan alias harus datang langsung ke lokasi. 

Sebab, tidak semua bahan berita bisa didapat melalui wawancara narasumber via WhatsApp ataupun googling. Namun, mereka juga harus datang langsung ke lokasi. Mengamati langsung peristiwa. Mewawancarai beberapa orang. Lantas, merekam video atau memfoto.

Meski, pada akhirnya, work for home itupun hanya sebatas istilah. Sebab, mereka yang masuk kategori work from home, meski bekerja dari rumah, sejatinya mereka juga bekerja untuk keluarganya kan. Jadi bukan hanya golongan work for home saja yang bekerja untuk rumah.

Terpenting, bagi mereka yang harus bekerja di luar rumah, tetap harus memperhatikan protokol untuk mengamankan diri. Semisal memakai masker, sedia hand sanitizer bila tidak memungkinkan mencuci tangan dengan sabun di lokasi kerja.

Juga sebisa mungkin menerapkan social distancing alias menjaga jarak bila berinteraksi dengan orang di luar rumah.

Terlebih untuk wartawan. Bukan hanya mereka sendiri yang harus mengamankan diri mereka sendiri. Pihak kantor yang mempekerjakan mereka juga harus membekali mereka dengan aturan pengaman. 

Tidak hanya menyediakan masker dan hand sanitizer, pihak kantor juga bisa memberikan kelonggaran bila wartawannya masih memungkinkan untuk menulis berita dengan memanfaatkan teknologi semisal chat via WA ataupun telepon.

Selain itu, pihak narasumber juga harus memikirkan keselamatan wartawan. Semisal instansi pemerintah yang melakukan jumpa pers, sudah seharusnya menghindari sistem tatap muka yang memungkinkan wartawan bergerombol dan berdesakan dalam mendengarkan statement dari narasumber. Terlebih ketika melakukan wawancara door stop.

Pada akhirnya, selamat bekerja untuk sampean orang-orang hebat baik yang bekerja di rumah ataupun bekerja di luar rumah. Bagaimanapun, di manapun tempat kerjanya, kita sama-sama bekerja untuk orang di rumah. Untuk anak-anak dan istri di rumah.

Dan, harapan kita juga sama, agar pandemi Covid-19 ini segera berakhir. Agar kita bisa kembali bekerja secara 'normal' seperti dulu. Agar kembali sholat berjamaah di masjid dengan banyak jamaah seperti dulu. Agar bisa berinteraksi dengan orang lain tanpa rasa khawatir.  

Serta, para pekerja di luar rumah seperti pedagang makanan, tukang ojek, tukang parkir, sopir angkot, juga bisa mendapatkan penghasilan seperti dulu karena orang-orang tidak lagi mengisolasi diri di dalam rumah. 

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun