Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Tidak Ada "Big European Night" dan Empat Faktor Tersingkirnya Liverpool dari Liga Champions

12 Maret 2020   08:22 Diperbarui: 12 Maret 2020   08:20 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penyerang Atletico Madrid, Alvaro Morata, melakukan selebrasi usai mencetak gol ketiga Atletico ke gawang Liverpool di leg II babak 16 besar Liga Champions pagi tadi. Liverpool tersingkir usai kalah 2-3 lewat perpanjangan waktu dan kalah agregat 2-4/Foto:bs.news


Big European Night.

Begitu kalimat yang digemakan fans Liverpool jelang menyambut kedatangan tim Spanyol, Atletico Madrid di Anfield pada leg II babak 16 besar Liga Champions, Rabu (11/3) malam waktu Inggris atau Kamis (12/3) dini hari waktu Indonesia.

Makna malam besar di Eropa itu ya Liverpool bisa come back alias membalikkan situasi dan lolos ke perempat final. Liverpool membutuhkan penampilan hebat demi bisa membalik kekalahan 0-1 dari Atletico di leg pertama.

Seperti halnya laga leg II semifinal di Liga Champions musim 2018/19 lalu. Ketika Liverpool yang kalah 0-3 dari Barcelona di kandang lawan pada leg pertama, lantas come back dengan menang 4-0 di Anfield untuk lolos ke final. Itulah yang namanya Big European Night.

Namun, Big European Night itu ternyata tidak bisa muncul setiap malam. Juga tidak setiap musim. Meski, Liverpool hanya butuh menang dua gol, bukan empat gol seperti melawan Barcelona musim lalu, tetapi kali ini lawannya berbeda.

Yang terjadi Kamis (12/3) pagi tadi, Liverpool tersingkir dari panggung Liga Champions. The Reds--julukan Liverpool, gagal mempertahankan gelarnya setelah kalah 2-3 dari Atletico melalui babak perpanjangan waktu yang dramatis.

Liverpool sempat unggul 2-0

Kembali diperkuat kapten tim, Jordan Henderson, Liverpool sejatinya tampil dengan benar di waktu normal. Mereka tampil menyerang demi mendapat gol. Liverpool mengurung pertahanan Atletico yang memang terkenal kuat dalam bertahan.

Di akhir babak pertama, sebuah sundulan Gini Wijnaldum, membuat skor menjadi 1-0. Agregat pun sama 1-1. Kalimat Big European Night itu pun kembali menggema. Menjadi narasi postingan di akun IG resmi Liverpool. Wijnaldum seolah membawa fans Liverpool kembali ke musim lalu ketika dua golnya berandil besar membungkam Barcelona di Anfield.

Namun, hingga babak kedua usai, tidak ada gol kedua yang tercipta. Skor masih 1-0. Artinya, karena agregat sama 1-1, maka pertandingan dilanjutkan perpanjangan waktu, 2x15 menit.

Di awal masa extra time, Liverpool masih mengurung Atletico. Utamanya lewat serangan-serangan dari sayap. Empat menit extra time dimulai, Roberto Firmino membawa Liverpool unggul 2-0. Bermula dari sundulan Firmino yang menghantam tiang gawang, bola ternyata kembali kepadanya yang lantas dengan mudah mencocor bola ke gawang.

Dengan skor 2-0, Liverpool akan lolos ke perempat final karena sudah unggul agregat 2-1. Namun, masih ada 25 menit lagi. Liverpool masih belum aman. Sebab, bila Atletico mencetak gol, Liverpool harus kembali berjuang memburu gol.

Yang terjadi kemudian, tiga menit setelah gol Firmino, gawang Liverpool jebol. Berawal dari back pass, kiper Liverpool, Adrian ternyata melakukan sapuan bola yang ceroboh. Tendangannya yang menyusur tanah, malah mengarah ke pemain Atletico. Lantas, Marcos Llorente melepaskan tendangan placing ke sudut gawang. Gol.

Gol itu rupanya 'membunuh' semangat pemain-pemain Liverpool yang sebelumnya sedang senang-senangnya setelah berusaha keras mendapatkan gol kedua. Di akhir babak pertama waktu extra time, Llorente kembali menjebol gawang Liverpool lewat serangkaian serangan balik yang manis.

Skor pun jadi 2-2. Liverpool .pun dalam situasi di ujung tanduk. Sebab, di babak kedua extra time, hanya dalam 15 menit, Liverpool harus bisa mencetak dua gol dan gawangnya tidak kebobolan bila ingin lolos ke perempat final.

Pelatih Liverpool, Jurgen Klopp lantas memasukkan Divock Origi, Fabinho, dan Takumi Minamino untuk memburu gol. Namun, pemain-pemain Atletico yang sudah 'di atas angin', bermain lebih tenang. Justru, pemain-pemain Liverpool yang mulai tidak sabaran.

Hingga, di penghujung babak waktu tambahan, mantan penyerang Chelsea, Alvaro Morata menghukum kelonggaran pertahanan Liverpool yang terlalu ikut asyik menyerang. Atletico pun unggul 3-2.

Empat faktor tersingkirnya Liverpool


Liverpool yang berniat come back di Anfield, malah kena come back setelah sebelumnya sempat unggul 2-0. Liverpool pun tersingkir karena kalah agregat 2-4 dalam dua pertandingan.
 
Mengapa faktor Anfield yang biasanya memberikan kekuatan ekstra kepada Liverpool demi memburu Big European Night, kali ini tidak memberikan pengaruh besar? Apa saja faktor yang membuat Liverpool tersingkir cepat dari Liga Champions musim ini?

Sedikitnya ada empat faktor yang menurut saya menjadi penyebab ketidakmampuan Liverpool untuk melakukan remontada alias come back di Anfield. Apa saja?

Kiper yang kurang memberikan rasa aman

Tanpa bermaksud menyalahkan Adrian, tersingkirnya Liverpool menjadi bukti bahwa butuh kiper hebat bila ingin meraih hasil bagus di Eropa. Kiper yang memberikan rasa aman bagi pertahanan. Tidak hanya karena aksi-aksi penyelamatan. Tetapi juga pandai membaca permainan.

Poin terakhir itulah yang kurang dimiliki Adrian. Kiper asal Spanyol ini tidak tampil buruk di laga tadi. Dia juga beberapa kali melakukan penyelamatan. Namun, dalam urusan "reading the game", Adrian belum mencapai level kiper top.

Di laga melawan Atletico pagi tadi, sebagai penonton, saya juga bertanya-tanya, kok bisa Adrian ceroboh dalam menyapu umpan back pass sehingga mengarah ke pemain lawan yang lantas berujung gol. Kalaupun melakukan sapuan bola, mengapa tidak menendang bola ke atas. Bahkan, di kiri pertahanan Liverpool kala itu juga terbilang aman dari tekanan pemain Atletico. Jadi mengapa tidak memberi bola ke sisi kiri. Malah ke depan.  

Bisa jadi karena dia terlalu percaya diri. Atau sebaliknya, dia kurang tenang. Karena memang, Adrian sejatinya tidak dalam posisi tertekan. Lha wong pemain Atletico masih berjarak beberapa meter darinya. Artinya, dia sebenarnya masih bisa mendelay bola beberapa detik untuk kemudian mengumpan bola ke posisi aman.

Tetapi memang, back pass acapkali menyulitkan kiper. Sepanjang 'karier' menonton bola sejak SD dulu, saya cukup sering mendapati 'adegan' seperti ini. Bahkan, melibatkan kiper top.  

Liverpool sebenarnya sudah paham betapa pentingnya peran kiper. Kita ingat, ketika final Liga Champions tahun 2018/19 lalu, 'penampilan lawak' kiper Loris Karius menjadi penyebab kekalahan Liverpool dari Real Madrid. Lalu, tahun lalu, penampilan heroik Alisson Becker saat melawan Tottenham di final, menjadi kunci Liverpool juara.

Karenanya, kenapa Adrian yang bermain? Ya, anggap saja suratan takdirnya seperti itu. Bahwa Alisson cedera jelang laga penting sehingga Adrian akhirnya yang bermain.

Pertahanan Liverpool memang sedang rapuh

Namun, terlepas dari penampilan kiper Adrian, pertahanan Liverpool memang sedang kurang bagus. Malah bisa dibilang rapuh. Faktanya, dalam lima pertandingan sebelum duel di Anfield tadi, Liverpool tidak pernah lagi mencatat clean sheet. Gawang mereka selalu kemasukan gol.

Tercatat, setelah kalah 0-1 dari Atletico pada 19 Februari lalu, gawang Liverpool kemasukan 8 gol dalam empat pertandingan. Yakni dibobol 2 gol oleh West Ham, 3 gol dari Watford, 2 gol dari Chelsea, dan 1 gol dari Bournemouth.

Padahal, dalam 12 pertandingan sejak akhir tahun hingga pertengahan Februari, Liverpool mencatat 10 clean sheet. Gawang Liverpool hanya kemasukan 3 gol. Bahkan, kemasukan dua gol saat melawan Shrewsbury Town di Piala FA, itu karena Liverpool memainkan tim muda.

Karenanya, mudah menyebut bila pertahanan Liverpool memang sedang rapuh. Duet Virgil van Dijk dan Joe Gomez tidak sedang dalam penampilan terbaik seperti di masa awal-awal tahun. Itu ditambah lagi dengan cederanya Alisson Becker.

Klopp juga seperti berpikir panjang bila memainkan Van Dijk dengan Joel Matip yang baru pulih dari cedera. Padahal, sebelum cedera, Matip adalah tandem terbaik Van Dijk. Malah, Klopp sempat membuat keputusan fatal ketika memainkan Dejan Lovren bersama Van Dijk yang berujung kekalahan 0-3 dari Watford.

Lini depan Liverpool juga kurang ganas sejak akhir Februari lalu

Satu lagi alasan mengapa tidak ada Big European Night di Anfield saat melawan Atletico adalah lini serang yang tampil kurang ganas. Padahal, Liverpool dituntut membuat minimal 2 gol untuk bisa membalik ketertinggalan 0-1 di leg I.

Ya, tidak hanya lini pertahanan, lini depan Liverpool memang juga kurang ganas dalam beberapa pertandingan terakhir. Sejak kalah dari Atletico di leg pertama, Liverpool hanya bisa membuat 5 gol dalam lima pertandingan. Liverpool tidak pernah mampu menang dengan selisih dua gol. The Reds menang dengan skor tipis, 3-2 atas West Ham United dan 2-1 atas Bournemouth.

Karenanya, melawan Atletico, kekhawatiran itu sempat mencuat sebelum pertandingan. Muncul pertanyaan, bisakah Liverpool menang dengan selisih 2 gol melawan Atletico yang pastinya akan menutup rapat pertahanannya.

Dan benar adanya, terlepas dari permainan rapi Atletico dalam bertahan, trio Sadio Mane, Roberto Firmino dan Mo Salah yang diharapkan bisa 'meledak', kesulitan menjebol gawang Atletico dalam dua pertandingan.

Apalagi setelah Atletico mencetak gol lalu menyamakan skor 2-2. Liverpool harus mencetak 2 gol dalam waktu 15 menit. Meski Klopp menambah lini serang dengan memasukkan Origi dan Minamino, tetapi tidak ada gol tercipta.

Tidak ada pemain pengganti yang bisa mengubah situasi

Dalam pertandingan penting seperti pagi tadi, sebuah tim harus memiliki plan B ketika plan A alias rencana utama, tidak bekerja sesuai harapan. Nah, plan B ini bisa dimainkan oleh pengganti yang masuk di tengah pertandingan.

Sayangnya, di pertandingan pagi tadi, Liverpool tidak memiliki pemain pengganti yang ketika dia masuk ke lapangan, langsung mampu mengubah warna serangan.

Origi yang biasanya punya hoki, kali ini tidak bisa berbuat banyak. Begitu juga Minamino yang diharapkan menambah daya serang seperti ketika membela klub lamanya Salzburg, masih harus berusaha mendapatkan kepercayaan dari rekan setimnya di lapangan.

Musim lalu, Liverpool punya Xherdan Shaqiri. Sayangnya, musim ini dia lebih banyak berada di luar lapangan demi memulihkan cederanya. Juga ada Naby Keita yang sayangnya pula harus menepi karena cedera.

Situasi ini menjadi pesan bagi manajemen Liverpool. Bahwa, musim depan, mereka harus membeli pemain serang baru untuk menambah variasi serangan. Terlebih bila Mane-Firmino-Salah sedang 'macet'.
 
Atletico tampil sempurna, terutama Jan Oblak

Terlepas dari tiga faktor di atas, tersingkirnya Liverpool juga karena lawannya memang sedang tampil bagus. Ya, terlalu naif bila tidak memuji penampilan apik Atletico. Atletico membuktikan, mereka bisa menjadi tim yang lebih berbahaya ketimbang Barcelona.

Pago tadi, Atletico yang bermain dengan skema 4-4-2, bermain rapi, disiplin, juga sabar. Di awal babak kedua, ketika Liverpool sedang semangat-semangatnya memburu gol kedua, pemain-pemain Atletico mampu tampil cool meredam serangan Liverpool.

Utamanya penampilan kiper Jan Oblak. Beberapa kali dia melakukan save penting serta pandai mengatur tempo permainan. Kapan cepat-cepat menendang bola dari tangannya dan kapan mendelay beberapa detik. Penampilan kiper asal Slovenia ni seperti menjadi antitesis dari penampilan mencemaskan Adrian di gawang Liverpool.
 
Dan titik balik penampilan Atletico adalah ketika Marcos Llorente dimasukkan menggantikan Diego Costa di menit ke-56. Lini tengah Atleti semakin rapat dengan menumpuk lima pemain dan menyisakan Joao Felix sebagai penyerang. Hingga, Llorente mencetak dua gol penting lewat serangan balik dan memanfaatkan kelonggaran lini pertahanan Liverpool.

Terlepas dari itu, memang tidak mudah bagi tim juara bertahan untuk mempertahankan gelarnya di Liga Champions. Malah, dulu sempat muncul mitos bila juara bertahan tidak bisa juara back to back (beruntun).

Bahwa, sejak Liga Champions dipakai menggantikan format lama European Champions pada musim 1992/93, tidak ada tim juara bertahan yang bisa kembali juara di tahun berikutnya.

'Mitos' itu bertahan hingga musim 2014/15 atau selama 22 tahun. Real Madrid kemudian menjadi tim pertama yang bisa juara beruntun di musim 2015/16 dan 2016/17. Bahkan mencatat hat-trick juara.

Selamat untuk Atletico Madrid. Untuk Liverpool? Tenang saja. Tahun ini meraih gelar Premier League dulu. Toh, gelar ini yang sejatinya paling ditunggu-tunggu fans Liverpool. Karena memang sudah 30 tahun tidak juara. Kalau Liga Champions kan baru kemarin.

Seandainya Liverpool bisa juara back to back Liga Champions tapi gagal juara di Liga Inggris, mereka akan terus jadi olok-olokan lawannya sebagai tim "spesialis next year".

Kini dengan tinggal menghitung hari menjadi kampiun Liga Inggris dan mengakhiri dahaga panjang, menarik ditunggu bagaimana manajemen tim dan Klopp menyiapkan Liverpool untuk musim depan. Siapa pemain baru yang akan masuk? Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun