Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Mencoba Move On dari Trauma Kehilangan Hewan Kesayangan

2 Maret 2020   11:11 Diperbarui: 8 April 2021   15:56 5717
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mencoba move on dari trauma kehilangan binatang kesayangan bisa dilakukan dengan memelihara binatang yang sama. Meski, itu tidak akan menghilangkan kenangan/Foto: hadi santoso

Sosiolog dari University of Colorado-Boulder, Leslie Irvine pernah menulis artikel menggugah berjudul "A pet's death can hurt more than losing a fellow human" yang dimuat di media daring, popsci.com.

Dalam artikelnya tersebut, Leslie Irvine menyampaikan bahwa bagi sebagian orang, kematian binatang peliharaan ternyata bisa lebih menyedihkan daripada kematian teman dan keluarga.

Karenanya, tidak mengherankan jika seseorang berduka setelah kehilangan hewan peliharaannya. Itu karena mereka sudah menganggap hewan peliharaan tersebut sebagai bagian dari anggota keluarga.

"It's not surprising to me that we feel such grief over the loss of a pet, because in this country at least they are increasingly considered family members," ujar Leslie Irvine dikutip dari https://www.popsci.com/pet-death-grief/.

Irvine menyampaikan, ada banyak orang yang kini menganggap hewan peliharaan sebagai makhluk yang punya rasa. Hewan peliharaan jadi bagian dari anggota keluarga karena dia ikut membentuk bagaimana cara kita hidup.

Dia mencontohkan, banyak orang yang bangun lebih pagi sekadar untuk mengajak anjingnya berjalan-jalan. Padahal kalau tidak ada si anjing tersebut, bangun tidurnya mungkin akan lebih siang. Selain itu, ada banyak aktivitas yang dilakukan bersama.

Sebagai pemilik hewan piaraan, kita melihat mereka setiap hari. Kita tergugah bila mereka merasa lapar, apalagi sakit. Kita bahkan mungkin punya hubungan dekat karena terbiasa menonton TV bersama, bermain bareng bahkan mungkin berbagi ranjang. Singkat kata, rasanya mereka sudah seperti keluarga.

Karenanya, kematian mereka bisa membuat pemeliharanya jadi baper (bawa perasaan) dan mengalami traumatis. Terlebih, kebanyakan umur binatang peliharaan memang tidak selama umur manusia.

Pernah kehilangan kucing kesayangan

Saya pernah merasakan langsung apa yang disampaikan Leslie Irvine tersebut. Tepatnya bagaimana rasanya memiliki binatang peliharaan yang sudah menjadi seperti keluarga. Lantas, betapa sedihnya ketika dia meninggal.

Saya pernah memelihara seekor kucing laki-laki. Kami memberinya nama Boni. Kami tidak memeliharanya sejak lahir. Tahu-tahu, dia datang ke rumah ketika masih kecil. Awalnya ke rumah sekadar meminta makan. Lama-lama tidur di rumah. Kami pun gembira dengan kehadirannya.

Apalagi, dia tidak rewel. Ketika diberi makan, dihabiskan. Untuk keperluan buang air kecil maupun besar, dia tahu untuk melakukannya di kamar mandi. Pun, ketika malam, dia terbiasa tertidur di sofa maupun kamar tidur. Pendek kata, Boni sudah menjadi bagian keluarga.

Lucunya, ketika kami hendak pergi ke luar kota, dia seperti enggan ditinggal sendiri. Sebelum anak-anak naik mobil, dia lebih dulu masuk. Seolah ingin ikut. Dan, ketika kami pulang, dia yang sedang 'bermain' di rumah tetangga, lantas berlari riang. Seolah senang dengan kepulangan kami.

Namun, kenyamanan Boni yang sering berlarian di depan rumah, lantas terusik oleh kucing liar yang datang ke perumahan dengan ukuran lebih besar. Entah darimana datangnya. Kucing liar itulah yang sering mengejar Boni hingga membuatnya ketakutan sampai memanjat pohon.

Pernah dia pulang dengan kaki terpincang-pincang. Setelah saya pijat dan mengolesinya dengan minyak tawon, kondisinya lantas membaik. Namun, beberapa pekan kemudian, di suatu sore, dia pulang dengan kondisi yang lebih parah. Dia seperti tidak bisa berjalan. Bahkan, dari kemaluannya keluar darah. Badannya seperti tidak kuat berdiri.

Selama dua hari, dia hanya tidur-tiduran. Badannya lemas. Minuman susu hangat, dan makanan yang biasanya lahap ia makan, tidak disentuhnya sama sekali. Dia menyendiri.

Dan, saya bilang ke anak-anak, kucing bila sudah seperti itu, itu salah satu tanda kematian. Dan, benar adanya, Minggu malam, Boni menghembuskan nafas terakhirnya.

Saya lantas menggendongnya. Menaruhnya di tempat hangat sembari menyelimutinya. Air mata saya tumpah. Ya, saya menangis. Saya menangisi kepergian kucing berwarna oranye itu. Anak sulung saya yang berusia 7 tahun, juga tak henti-henti menangis. Dia tidur sembari terisak.

"Tapi Boni kini senang karena bisa ketemu mamanya," ujarnya.

Sementara si bungsu yang berusia empat tahun, mungkin belum sadar. Tapi, dia lantas mencarinya secara dia yang paling sering bermain dengan Boni. Dia sampai bilang tidak mau memelihara hewan lagi karena takut bila ditinggal mati.

Keesokan harinya, Senin pagi yang seharusnya menjadi momentum untuk mengawali pekan dengan semangat membuncah, saya malah harus menguburkan dia di halaman rumah. Setelahnya, bayang-bayang kebersamaan dengannya masih terngiang.

Boni akan selalu dirindukan. Kami merindukan suara mengeongnya selepas Shubuh ketika meminta makan. Kami rindu "gaya merajuk" nya kala hendak ditinggal pergi ke luar kota. Saya juga rindu pose manjanya yang mendadak tiduran di kaki ketika saya sedang asyik menulis.

Setelah setahun kepergian Boni, kembali memelihara kucing

Karena rasa kehilangan yang mendalam itu, saya sempat sepakat dengan komentar si bungsu. Sepakat untuk tidak memelihara binatang peliharaan. Sebab, rasanya sedih bila ditinggal mati.

Apalagi, Boni bukan yang pertama. Sebelumnya, beberapa tahun silam, kami juga punya kucing yang saban hari tidur dan makan di rumah. Suatu sore, dia pulang dengan kondisi terpincang-pincang. Terluka. Hingga akhirnya meninggal. Itu kucing pertama yang saya kuburkan di halaman rumah.

Namun, sekira setahun setelah kepergian Boni, kami ternyata bisa move on dari trauma kehilangan hewan peliharaan. Setidaknya, kami memutuskan untuk kembali memelihara kucing.

Sebenarnya bukan sebuah kesengajaan. Tapi memang kami tidak bisa menolaknya. Kasihan sama kucingnya.

Ceritanya, ada tetangga depan rumah yang memelihara dua kucing. Tetangga saya membeli dua kucing itu sejak kecil. Dulu, ketika baru beberapa hari datang, dua kucing jenis blasteran persia itu sempat dititipkan ke rumah kami. Pasalnya, tetangga sedang acara dinas ke luar kota selama seminggu sehingga kucing tersebut tidak ada yang merawat.

Selama di rumah, kucing itu kami 'lepas'. Maksudnya, keduanya kami biarkan berlarian dan bergumul satu sama lain. Baru ketika malam, kami memasukkan mereka di kandang. Sebelumnya, mereka hanya dikurung di kandang. Tidak bisa ke mana-mana.

Setelah tetangga kembali, mereka pun kembali ke 'rumah asal' mereka. Kembali masuk kandang. Lucunya, ketika melihat kami keluar rumah, mereka 'berteriak mengeong' sembari heboh di kandangnya. Seolah meminta dikeluarkan dari kandangnya.  

Nah, sekira dua bulan kemudian, si ibu tetangga itu ternyata sudah lelah merawat dua kucing tersebut. Karena memang tinggal berdua dengan putranya yang sudah berkeluarga, dia mungkin lelah selepas pulang kerja hari membersihkan kandang.

Pekan lalu, tetangga itu menawari istri saya bila mungkin berkenan merawat kucing tersebut. Kami hanya disuruh mengganti kandangnya saja. Setelah ngobrol-ngobrol, kami pun sepakat untuk merawat mereka.

Jadilah dua kucing itu pindah rumah. Dan, kami memutuskan untuk kembali melepas mereka. Berlarian di halaman rumah. Terkadang tidur di kolong mobil. Pernah tetangga saya itu heran: "oh nggak apa-apa ya bila dilepas," ujarnya.

Kata tetangga saya, dia dulu memasukkan kandang karena khawatir bila kucingnya 'main kejauhan' dan tidak bisa kembali.

Padahal, kucing usia satu tahunan, yang memang kucing rumahan, mereka tidak terbiasa 'main jauh'. Palingan berlarian di depan rumah, menaiki pohon, ataupun tidur di tempat yang sejuk.

Pada akhirnya, rutinitas seperti ketika merawat Boni dulu pun kembali terulang. Rutinitas membersihkan kandang dan asupannya, membeli makan kucing, hingga memanggil-manggil namanya bila waktunya makan ataupun tidur malam.

Mungkin, cara terbaik untuk move on dari kehilangan binatang kesayangan, adalah dengan kembali memelihara binatang sejenis. Meski juga kadang tersembul kekhawatiran. Khawatir bila kelak mendadak ada kucing galak yang mengacaukan ketenangan mereka.

Namun, bagaimanapun, kehadiran dua kucing yang oleh anak saya diberi nama Cero (yang ini berwarna oranye besar mirip tokoh  Garfield) dan Bombina (yang ini berwarna hitam paduan putih seperti musang) itu belum mampu menghilangkan kenangan pada Boni. Kucing paling keren yang telah tiada itu.

Sebagai penutup, pesan saya buat sampean yang masih punya binatang peliharaan, jaga dan sayangilah mereka sebaik mungkin. Sebab, kita tidak pernah tahu kapan akan berpisah dengan mereka. Dan itu bikin sedih. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun