Apalagi, dia tidak rewel. Ketika diberi makan, dihabiskan. Untuk keperluan buang air kecil maupun besar, dia tahu untuk melakukannya di kamar mandi. Pun, ketika malam, dia terbiasa tertidur di sofa maupun kamar tidur. Pendek kata, Boni sudah menjadi bagian keluarga.
Lucunya, ketika kami hendak pergi ke luar kota, dia seperti enggan ditinggal sendiri. Sebelum anak-anak naik mobil, dia lebih dulu masuk. Seolah ingin ikut. Dan, ketika kami pulang, dia yang sedang 'bermain' di rumah tetangga, lantas berlari riang. Seolah senang dengan kepulangan kami.
Namun, kenyamanan Boni yang sering berlarian di depan rumah, lantas terusik oleh kucing liar yang datang ke perumahan dengan ukuran lebih besar. Entah darimana datangnya. Kucing liar itulah yang sering mengejar Boni hingga membuatnya ketakutan sampai memanjat pohon.
Pernah dia pulang dengan kaki terpincang-pincang. Setelah saya pijat dan mengolesinya dengan minyak tawon, kondisinya lantas membaik. Namun, beberapa pekan kemudian, di suatu sore, dia pulang dengan kondisi yang lebih parah. Dia seperti tidak bisa berjalan. Bahkan, dari kemaluannya keluar darah. Badannya seperti tidak kuat berdiri.
Selama dua hari, dia hanya tidur-tiduran. Badannya lemas. Minuman susu hangat, dan makanan yang biasanya lahap ia makan, tidak disentuhnya sama sekali. Dia menyendiri.
Dan, saya bilang ke anak-anak, kucing bila sudah seperti itu, itu salah satu tanda kematian. Dan, benar adanya, Minggu malam, Boni menghembuskan nafas terakhirnya.
Saya lantas menggendongnya. Menaruhnya di tempat hangat sembari menyelimutinya. Air mata saya tumpah. Ya, saya menangis. Saya menangisi kepergian kucing berwarna oranye itu. Anak sulung saya yang berusia 7 tahun, juga tak henti-henti menangis. Dia tidur sembari terisak.
"Tapi Boni kini senang karena bisa ketemu mamanya," ujarnya.
Sementara si bungsu yang berusia empat tahun, mungkin belum sadar. Tapi, dia lantas mencarinya secara dia yang paling sering bermain dengan Boni. Dia sampai bilang tidak mau memelihara hewan lagi karena takut bila ditinggal mati.
Keesokan harinya, Senin pagi yang seharusnya menjadi momentum untuk mengawali pekan dengan semangat membuncah, saya malah harus menguburkan dia di halaman rumah. Setelahnya, bayang-bayang kebersamaan dengannya masih terngiang.
Boni akan selalu dirindukan. Kami merindukan suara mengeongnya selepas Shubuh ketika meminta makan. Kami rindu "gaya merajuk" nya kala hendak ditinggal pergi ke luar kota. Saya juga rindu pose manjanya yang mendadak tiduran di kaki ketika saya sedang asyik menulis.