Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Raket Pilihan

Pusarla Sindhu, Ratu Runner-Up, dan Pelajaran Bangkit dari Kegagalan

27 Agustus 2019   16:41 Diperbarui: 27 Agustus 2019   16:55 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tunggal putri India, Pusarla Sindhu, tampil sebagai juara dunia 2019 sekaligus mengakhiri julukan 'ratu runner-up'/Foto: GulfNews

Why do we fall? 
Mengapa kita terjatuh?

Kalimat tanya itu diucapkan Alfred Pennyworth dengan intonasi menggetarkan. Baru saja, lelaki tua itu menyelamatkan Bruce Wayne yang nyaris tewas terkubur reruntuhan bangunan "istana" Wayne Manor yang dibakar sang musuh utama, Ra's al Ghul.

Di tengah situasi kalah dan keputusasaan yang dialami Bruce, Alfred mengucapkan kalimat tanya itu. "Why do we fall?" yang lantas dijawab sendiri olehnya "So we can learn to pick ourselves up". Mengapa kita jatuh? Agar kita bisa belajar untuk bangkit.

Apa jawab Bruce? "You have not given up on me". "Ah, rupanya kamu belum berputus asa dengan saya", yang lantas disahut Alfred dengan jawaban "never".

Percakapan manis di lift darurat di tengah amukan api itulah yang lantas memotivasi Bruce untuk bangkit dari kejatuhan. Percakapan itu yang membuatnya belajar dari kegagalan. Menjadi lebih tegar dan kuat. Pada akhirnya, dia mampu mengalahkan Ra's a Ghul dan menyelamatkan kotanya.

Bagi saya, percakapan Alfred dan Bruce di tengah kebakaran hebat itu menjadi bagian terbaik dalam Batman Begins, sekuel pertama film reboots Batman garapan Christoper Nolan pada 2005 lalu yang diakui sebagai salah satu film super hero terbaik yang pernah dibuat.

Saya mengandaikan percakapan batin seperti itulah yang telah menguatkan mental pebulutangkis tunggal putri India, Pusarla Venkata Sindhu untuk bangkit dari serangkaian kegagalan dalam kariernya. Hingga, akhir pekan kemarin, di menunjukkan kepada dunia bahwa dirinya akhirnya bisa menjadi juara dunia.

Sempat dijuluki "ratu runner-up", Sindhu akhirnya jadi juara dunia
Ya, akhir kemarin, Sindhu ini akhirnya bisa tersenyum lebar di akhir pertandingan final. Pebulutangkis berusia 24 tahun ini tampil sebagai juara BWF World Championship alias Kejuaraan Dunia 2019 di Basel, Swiss, usai mengalahkan pebulutangkis Jepang, Nozomi Okuhara dengan 'skor cantik tapi kejam' 21-7, 21-7.

Ketika smash kerasnya tak mampu dikembalikan Okuhara dan memastikan dirinya juara dunia, Sindhu sempat mematung di lapangan. Selama beberapa detik, kedua tangannya menutupi wajahnya tanda gembira tak terkira. Lantas, senyumnya merekah. Lalu, berlari memeluk pelatihnya.

Pemandangan berikutnya, dia menghampiri Okuhara. Sembari berjabat tangan di depan net, Sindhu tersenyum dan menghibur Okuhara yang nampak shock dengan kekalahan menyebalkan tersebut. Di luar lapangan, mereka memang bersahabat.

Untuk urusan menghibur lawan yang kalah, Sindhu bukan lagi bersimpati. Namun, dia sudah pada level berempati. Sebab, sebelumnya, dia berkali-kali merasakan ada di posisi seperti yang dialami Okuhara.

Ya, tidak ada tunggal putri di dunia yang kini masih aktif bermain, yang pernah merasakan pahitnya kekalahan di final seperti dialami Sindhu. Memang, dia juga sering juara. Namun, di kejuaraan penting, Sindhu bak mengalami 'kutukan'. Dia sering tampil di final hanya untuk melihat lawannya menerima medali/piala juara.

Bayangkan, sepanjang kariernya di bulutangkis profesional, dia sudah 16 kali kalah di final. Termasuk dua kekalahan di final kejuaraan dunia. Dan yang paling menyesakkan, kalah di final Olimpiade 2016.

Bagi seorang atlet, rasanya tidak ada yang lebih pahit selain merasakan kekalahan di final. Apalagi bila kejadiannya berulang-ulang. Saking seringnya kalah di final, oleh penggemar bulutangkis, Sindhu bahkan dijuluki "Ratu runner-up".

Karenanya, bagi Sindhu, gelar juara dunia di Swiss tersebut bak hujan yang turun setelah kemarau sangat panjang. Dia akhirnya bisa menjadi juara di kejuaraan penting setelah serangkaian kekalahan pedih.

Lucunya, ketika diwawancara wartawan usai naik podium, pebulutangkis yang akrab disapa Malika oleh penggemarnya ini seperti lupa bila dirinya kini juara dunia. Mungkin karena saking gembiranya. "Finally, I have become a National champion!," ujarnya dikutip dari timesofindia.

Dia lalu buru-buru meralatnya. "Sorry, sorry, World Champion!," ujarnya sembari tertawa.

Sangat wajar bila Sindhu larut dalam euforia kemenangan. Gelar juara dunia itu memang sudah lama diimpikannya. Enam tahun lalu, ketika usianya masih 18 tahun, Sindhu yang tampil pertama kali di Kejuaraan Dunia, hanya mampu meraih medali perunggu. Toh, itu sudah membuatnya mengukir sejarah sebagai pemain tunggal putri pertama India yang meraih medali di Kejuaraan Dunia.

Setahun kemudian, di Kejuaraan Dunia 2014, dia lagi-lagi terhenti di semifinal dan meraih perunggu. Toh, lagi-lagi itu sejarah. Dia back to back memenangi medali.

Sempat 'menghilang' dari podium selama tiga tahun, di tahun 2017, di Skotlandia, Sindhu mampu tampil di final untuk kali pertama. Namun, dia hanya meraih medali perak usai dikalahkan Okuhara lewat rubber game menyakitkan, 19-21, 22-20, 20-22.

Setahun kemudian, di Nanjing, Tiongkok, dia kembali berpeluang jadi juara dunia 2018 setelah kembali tampil di final. Tapi, mimpinya menjadi juara dunia kandas setelah dirinya dikalahkan tunggal putri Spanyol, Carolina Marin.

Di final Kejuaraan Dunia 2018 itu, Sindhu tak mampu tampil rileks. Dia bahkan seperti terintimidasi dan tidak percaya diri oleh teriakan-teriakan Marin ketika mandapatkan poin. Pada akhirnya, ia kalah 19-21, 10-21.

"Setelah dua kekalahan di final sebelumnya, akhirnya saya bisa menjadi juara dunia. Saya menunggu kemenangan ini untuk waktu yang lama," ujar Sindhu dikutip dari https://timesofindia.indiatimes.com/sports/badminton/pv-sindhu-becomes-first-indian-to-win-world-championships-gold/articleshow/70829043.cms..

Sindhu termotivasi memberi "kado" untuk ulang tahun sang ibu
Sebenarnya, apa yang membuat Pusarla Sindhu bisa berjaya di Basel? Padahal, sepanjang tahun 2019 ini, dia belum pernah bisa juara di turnamen BWF World Tour.

Stamina prima-lah salah satu alasan utama. Sindhu merupakan tipikal berbeda dari pemain tunggal putri. Dia bukan pemain yang senang melakukan rally. Dengan tinggi badan 1,79 meter, Sindhu senang bermain menyerang dengan melakukan smash-smash tajam. Tentu saja, cara main seperti itu butuh stamina kuat.

Nah, sebelumnya, Sindhu cukup bermasalah dengan stamina. Utamanya ketika menghadapi lawan yang bermain sabar seperti Akane Yamaguchi yang mengalahkannya di final Indonesia Open 2019 pada Juli lalu. Stamina Sindhu juga kerapkali drop ketika laga diakhiri rubber game.

Namun, di Kejuaraan Dunia 2019, ceritanya berbeda. Sindhu benar-benar mempersiapkan segalanya seperti yang disampaikannya kepada awak media. Salah satu kemenangan yang memperlihatkan betapa fisiknya prima adalah saat mengalahkan Tai Tzu-ying (Taiwan) pada babak perempat final. Di game pertama, dia kalah telak 12-21. Di game kedua, Sindhu mampu menang dengan setelah dua kali adu setting poin, 23-21. Dan, di game ketiga, dia menang dengan skor tipis, 21-19.

Kemenangan atas mantan ratu bulutangkis dunia yang kini melorot di rangking 2 itulah yang membuat Sindhu semakin percaya diri. Di semifinal, menghadapi Chen Yu Fei (Tiongkok) yang rangkingnya di atas dirinya, Sindhu mendominasi 21-7, 21-14. Cerita berikutnya, dia benar-benar siap menyambut final dan menjemput mimpinya menjadi gelar juara dunia.

Selain stamina prima, cara bermain Sindhu kini juga berbeda. Selain smash, penempatan bolanya kini juga sulit diambil pemain lawan. Bahkan, seperti pemain ganda, usai melakukan smash ke tempat yang sulit dijangkau, dia lalu menunggu di depan net untuk menyambar shuttlecock. Cara seperti itu yang membuat dia dominan saat mengalahka Chen Yufei dan Okuhara.  

Namun, selain stamina yang prima dan taktik apik, ada motivasi besar yang mendorong Sindhu untuk tampil hebat di babak final. Dia ingin memberikan kado spesial kepada sang ibu yang berulang tahun pada 25 Agustus 2019, tepat dengan jadwal final Kejuaraan Dunia 2019.

Rasa sayang kepada sang ibu yang telah mendukung penuh dirinya berkarier di bulutangkis itulah yang membuat Sindhu seperti menjadi 'pemain berbeda' di final. Betapa tidak, Okuhara yang selama ini sulit dia kalahkan, dibuat menangis di lapangan dengan hanya mendapat 7 angka.

"Saya mempersembahkan medali ini untuk ibu saya. Hari ini beliau berulang tahun," ujar Sindhu.

Dari keberhasilan Pusarla Sindhu menjadi juara dunia, kita bisa belajar banyak hal. Tentang hidup yang sulit ditebak dan kesukesan yang tidak bisa diprediksi. Kelihatannya sukses mudah diraih, tetapi nyatanya selalu menjauh.

Bahwa hidup itu dinamis. Ia tak selalu menawarkan momen-momen manis. Sekali dua kali, ia mungkin membuat kita menangis. Namun, percayalah, seperti Sindhu, selama optimistis, akan selalu ada kesempatan kedua, ketiga dan seterusnya untuk memperbaiki keadaan.

Selama bisa berdamai dengan kegagalan, memaafkan diri sendiri, menjaga motivasi, mengevaluasi kesalahan yang dilakukan lantas mencoba memperbaikinya, maka peluang untuk meraih hasil bagus pada akhirnya akan muncul.

Pendek kata, dari kegagalan, kekalahan, dan kejatuhan, dan hidup yang acapkali membuat kita menangis, kita bisa belajar mencari makna 'mengapa' itu terjadi. Lantas, mencari 'obat penawar' untuk bangkit. Seperti kata Alfred Pennyworth: why do we fall?

Salam bulutangkis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun