Di Sentul pada Minggu (14/7) malam lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sekaligus presiden terpilih Pilpres 2019, menyampaikan pidato bertajuk Visi Indonesia. Ada lima pokok gagasan dalam Visi Indonesia tersebut.
Salah satu dari lima pokok gagasan tersebut, presiden menyampaikan akan mengutamakan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) demi melihat putra-putri terbaik Indonesia bisa bersaing di panggung dunia. Nah, untuk mewujudkan itu, Jokowi mengungkapkan keinginan besarnya untuk menurunkan angka stunting dan mencegah kematian ibu dan bayi.
"Pembangunan SDM menjadi kunci Indonesia ke depan dan titik dimulai dengan menjamin kesehatan ibu hamil. Sejak hamil. Jangan sampai ada stunting, kematian ibu, kematian anak," kata Jokowi dalam paparan pidatonya yang disampaikan di Sentul, Jawa Barat, dikutip dari CNBC Indonesia.
Semangat yang tersembul dalam isi pidato Jokowi tersebut layak mendapatkan aplaus. Itu menunjukkan bahwa pak presiden sangat paham bahwa untuk menghasilkan generasi berkualitas, tidak cukup hanya dengan membuat sistem pendidikan terbaik. Namun, yang paling pertama, calon generasi berkualitas harus dipersiapkan sejak kehamilan. Ketika janin masih di dalam kandungan. Â Â
Bahkan, untuk poin 'memerangi' stunting tersebut, Jokowi seperti memberikan penekanan akan bekerja keras melalui penggunaan kata 'jangan sampai ada'.
Pak presiden pastinya sudah mengetahui data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 bahwa ada 30,2 persen anak Indonesia mengalami stunting. Padahal, batas angka stunting yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia di bawah naungan PBB (WHO) hanya 20 persen.
Mengenal Stunting dan Dampaknya Bagi Generasi
Sebenarnya, apa stunting dan seperti apa dampaknya sehingga harus mendapatkan perhatian besar selain kesehatan ibu hamil?
Menjawab pertanyan  ini, kebetulan, beberapa pekan sebelum pidato pak presiden tersebut, saya sempat berbicara panjang lebar perihal stunting dengan dokter spesialis anak yang sudah bergelar doktor (menyelesaikan pendidikan S3 kedokterran) di RSUD Dr Soetomo Surabaya.
Bagi saya, wawancara dengan tema seperti ini bukan hanya untuk 'melunasi' target mengisi majalah kesehatan yang saya isi. Lebih dari itu, sebagai orang tua yang memiliki dua anak, mendengarkan penjelasan dokter yang memang paham masalah anak, serasa mendapatkan 'wawasan gratis'.
Menurut dokter yang pernah meraih "The Winner of Young Researcher Award Asian Pediatric Conference" tahun 2002 ini, selama ini di Indonesia, ada banyak orangtua yang melihat perkembangan dan pertumbuhan anaknya sekadar dari berat badan saja.Â
Bahwa, jika berat badan cukup, anak dianggap sudah sehat. Padahal, tinggi badan juga penting untuk diperhatikan. Sebab, tinggi badan bisa menjadi salah satu ciri anak mengalami stunting.
Menurutnya, definisi stunting menurut WHO adalah kondisi di mana anak mempunyai Tinggi Badan terhadap Usia yang berada di bawah 2 SD (< -2SD) pada kurva pertumbuhan standar WHO. Para ahli lalu menajamkan definisi tersebut, bahwa anak dikatakan stunting bila penyebab TB <-2SD tersebut adalah kondisi malnutrisi kronis atau disebabkan penyakit infeksi kronis.
Dengan bahasa yang lebih mudah, stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak di bawah dua tahun yang disebabkan kurang gizi kronis dan terjadi sejak ibu mulai mengandung sampai dengan anak usia 2 tahun. Akibat stunting, otak dan fisik anak sulit berkembang, serta mempengaruhi kognitif, produktivitas, dan tingkat kesehatan lebih rendah.
Bila tidak disebabkan karena dua kondisi itu (malnutrisi kronis atau disebabkan penyakit infeksi kronis), anak dikatakan berperawakan pendek. Sehingga dapat dikatakan, anak stunting itu pasti termasuk perawakan pendek. Tetapi sebaliknya, anak perawakan pendek belum tentu mengalami stunting.
Mengapa Anak Bisa Terkena Stunting?
Faktor yang mempengaruhi terjadinya stunting bersifat multi-faktorial alias banyak faktor. Faktor utamanya adalah pemenuhan nutrisi yang tidak adekuat secara kronis sejak usia dini, dan ketidakmampuan memberikan ASI sejak lahir. Serta, terjadinya malnutrisi sejak dalam kandungan karena berbagai faktor dari ibu. Bisa juga karena terjadinya infeksi yang berlangsung kronis.
"Faktor gizi buruk bukan hanya mempengaruhi stunting, tetapi penyebab utama stunting. Selain itu pengaruh adanya kekurangan stimulasi, pola asuh yang salah dan tidak melekat pada anak saat usia dini, dan rendahnya sanitasi lingkungan," ujar pak dokter yang juga konsultan tumbuh kembang ini.
Dia menegaskan bila stunting tidak boleh dianggap remeh. Sebab, dampak jangka pendeknya, anak yang mengalami stunting berisiko terhadap berbagai penyakit, terutama infeksi.Â
Selain itu, stunting juga dapat berpengaruh pada perkembangan anak. Seperti keterlambatan perkembangan motoric, bahasa, kognitif dan perilaku yang bisa berdampak pada ekonomi keluarga.
Sementara dalam jangka panjang, stunting bisa berdampak pada berbagai gangguan kesehatan saat dewasa, terutama penyakit metabolic seperti obesitas dan penyakit kardio-vaskular.
Dalam ranah perkembangan anak, stunting bahkan bisa memicu buruknya prestasi sekolah, rendahnya kapasitas belajar dan munculnya tenaga kerja tidak produktif. Pada akhirnya, semua efek buruk tersebut tentunya akan bisa mempengaruhi kualitas generasi sebuah bangsa.
Lalu, bagaimana untuk mencegah terjadinya stunting pada anak?
Langkah pencegahan stunting harus dimulai sejak dini di lingkup keluarga. Bahkan, sejak anak di dalam kandungan. Ketika masa kehamilan, orang tua harus (mau) melakukan kontrol kandungan secara teratur dan menjaga kesehatan melalui pemenuhan nutrisi optimal.
Lalu, di masa bayi dan anak usia dini, orang tua harus segera memberikan ASI setelah lahir, menyusui ASI secara eksklusif dengan cara benar, pemberian makanan pendamping ASI, memberikan imunisasi sejak usia dini sesuai jadwal. Serta, mendokumentasikan tumbuh kembang anak secara rutin dan reguler. Semisal punya catatan khusus tumbuh kembang anak seperti KMS (Kartu Menuju Sehat) dan buku KIA (Kesehatan Ibu dan Anak).
Selain itu, penting bagi orang tua mempraktekkan stimulasi dini yang optimal dalam pengasuhan anak sehari-hari. Caranya bisa dengan pola asuh yang melekat ke anak, membina pembentukan kemampuan anak sealami mungkin, serta menciptakan lingkungan sekitar anak yang kaya rangsang (lihat, dengar, sentuh dan raba).Â
Tidak kalah penting, anak harus dihindarkan dari stress berlebihan dan tidak membiasakan unsur paksaan ke anak dalam interaksi sehari-hari. Sebaliknya, penting untuk mengasuh, berinteraksi, dan memberi kesempatan anak untuk bereksplorasi.
Dari informasi yang saya dapat, meski angka stunting di Indonesia pada 2018 masih berkisar 30,2 persen dan masih lebih tinggi dari yang direkomendasikan WHO, ternyata angka stunting di Indonesia sejatinya mengalami penurunan. Sebab, dulu, di tahun 2013, angka stunting di Indonesia berkisar 37% dari jumlah balita di Indonesia.
Nah, harus diakui, penurunan ini tidak lepas dari berbagai langkah yang telah dilakukan oleh pemerintah baik berupa penanganan langsung maupun sosialisasi yang telah berhasil dipahami oleh masyarakat.Â
Dikutip dari Liputan6.com, sejak pertengahan tahun 2018 lalu, Presiden Jokowi memandang perlunya penanganan stunting secara sistematis dalam bentuk gerakan nasional yang melibatkan seluruh komponen bangsa. Dalam Rapat Terbatas pada 5 April 2018, presiden telah memutuskan untuk memimpin langsung gerakan ini, diikuti dengan program-program di tingkat kementerian, dengan langkah-langkah yang terfokus dan terintegrasi.
Sepanjang tahun 2018 lalu, pemerintah memfokuskan pencegahan stunting pada 1000 desa di 100 kabupaten/kota. Lalu pada 2019 ini fokud di 600 desa di 60 kabupaten/kota. Ada tiga kelompok program intervensi pencegahan stunting yakni Pola Makan (Isi Piring itu Penting), Pola Asuh (Beri ASI itu Penting) dan Sanitasi (Bebas Cacing itu Penting).
Pada akhirnya, pencegahan stunting menjadi pekerjaan rumah yang sangat penting bagi pemerintah. Sebuah' PR besar' yang harus didukung untuk diselesaikan. Bahkan, sebagai masyarakat, kita tidak hanya bisa mendukung dengan doa.
Kita bisa mendukung langsung 'kampanye' agar stunting terus menurun dan bahkan tidak ada lagi. Diantaranya dengan menanamkan kesadaran pada keluarga, tetangga dan kerabat, perihal pentingnya memperhatikan janin sejak dalam kandungan serta memastikan tumbuh kembang bayi secara benar. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H