Â
Apa makna hewan peliharaan bagi sampean (Anda)?
Apakah sekadar hewan yang kebetulan tinggal, berteduh, tidur, dan meminta makan di rumah Anda. Sehingga, ada atau tidak adanya mereka, tidak terlalu berpengaruh pada hari-hari Anda. Toh, mereka sekadar hewan yang kebetulan tinggal, berteduh, tidur dan meminta makan di rumah.
Apakah keberadaan mereka hanya karena hobi musiman yang ketika sedang ramai-ramainya, maka hewan peliharaan tersebut dirawat, disayang, dan diperhatikan segala kebutuhannya. Namun, ketika musimnya telah lewat, maka ia ditinggalkan begitu saja.
Ataukah Anda memandang mereka sebagai makhluk berharga yang lebih dari sekadar hewan peliharaan. Sehingga keberadaan mereka sudah dianggap seperti menjadi bagian keluarga yang dengan segala tingkah polanya, ikut mengisi hari-hari Anda.
Nah, merujuk pada beragam cara pandang orang terhadap hewan pelhiaraan tersebut, tentu saja akan muncul beragam respons ketika ada binatang rumahan yang mati. Namun, penting untuk tidak keliru dalam merespons kabar dari kawan yang tengah berduka karena kehilangan hewan piaraannya
Mungkin ada orang yang dengan mudahnya bilang: "ah, cuma hewan peliharaan, kenapa kok ditangisi?". Â Atau juga ujaran: "jangan lebay ah, kan tinggal nyari gantinya".
Ujaran seperti itu, terlepas kurang elok, memang masih bisa dimengerti. Sebab, tidak semua orang bisa memahami dampak sosial dari kabar duka (selain manusia) tersebut. Terutama mereka yang memang tidak pernah punya binatang peliharaan.
Tapi awas, ucapan seperti itu bisa menjadi sangat menyakitkan bagi sang pemilik binatang peliharaan. Bahkan, bukan tidak mungkin, imbas dari ucapan yang mungkin sekadar guyonan itu, perkawanan kita bisa memburuk. Kok bisa?
Dikutip dari popsci.com, dalam artikel berjudul "A pet's death can hurt more than losing a fellow human", para ahli menyimpulkan bahwa ternyata kematian binatang peliharaan bisa lebih menyedihkan daripada kematian teman dan keluarga.
Menurut Leslie Irvine, seorang sosiolog di University of Colorado-Boulder, tidak mengherankan jika seseorang berduka setelah kehilangan hewan peliharaannya. Itu karena mereka sudah menganggap hewan peliharaan tersebut sebagai bagian dari anggota keluarga.
"It's not surprising to me that we feel such grief over the loss of a pet, because in this country at least they are increasingly considered family members," ujar Leslie Irvine dikutip dari https://www.popsci.com/pet-death-grief/.
Terlebih bila kematian binatang peliharaan tersebut menjadi pengalaman pertama bagi yang memeliharanya. Karena memang, kebanyakan umur binatang peliharaan tidak selama umur manusia. Bukan tidak mungkin, kematian tersebut akan membuat orang jadi baper (bawa perasaan) bahkan lebih traumatis daripada kehilangan keluarga dan teman.
Irvine menyampaikan, pemikiran manusia kini telah berubah, dari yang menganggap hewan peliharaan sekadar aksesori belaka menjadi makhluk yang punya rasa. Hewan peliharaan jadi bagian dari anggota keluarga karena dia ikut membentuk bagaimana cara kita hidup.
Dia mencontohkan, banyak orang yang bangun lebih pagi sekadar untuk mengajak anjingnya berjalan-jalan. Padahal kalau tidak ada dia, bangun tidurnya mungkin akan lebih siang. Belum lagi banyak aktivitas yang dilakukan bersama. Kita melihat mereka setiap hari, kita tergugah bila mereka merasa lapar apalagi sakit. Kita bahkan mungkin punya hubungan dekat karena terbiasa menonton TV bersama, bermain bareng bahkan mungkin berbagi ranjang. Singkat kata, rasanya mereka sudah seperti keluarga.
Psikolog dari University of San Francisco, Cori Bussolari, bahkan menyampaikan, saat seseorang menatap mata anjing, keduanya akan mengalami peningkatan kadar oksitosin atau hormon cinta. Hormon ini mengatur interaksi sosial dengan makhluk lain. Biasanya manusia akan melepaskan oksitosin saat menjadi orang tua dan melihat anak-anaknya baru lahir.
"Saya yakin, jika Anda melakukan studi itu pada binatang lainnya, hasilnya akan sama," ujar Bussolari.
Baca Juga:Â Kucingku Bukan Sekadar Hewan Peliharaan
Boni yang Dirindukan
Ah, memang tepat kiranya pernyataan dari Leslie Irvine dan Cori Bussolari itu. Saya pernah merasakan langsung bagaimana rasanya memiliki binatang peliharaan yang sudah menjadi seperti keluarga. Pun, ketika menatapnya, kiat seolah dekat dengan dia. Lantas, betapa sedihnya ketika dia meninggal.
Saya pernah memelihara seekor kucing laki-laki. Namanya Boni. Kami tidak memeliharanya sejak lahir. Tahu-tahu, dia datang ke rumah ketika masih kecil. Awalnya ke rumah sekadar meminta makan. Lama-lama tidur di rumah. Karena sayang binatang, kami pun gembira dengan kehadirannya.
Apalagi, dia tidak rewel. Ketika diberi makan, dihabiskan. Untuk keperluan buang air kecil maupun besar, dia tahu untuk melakukannya di kamar mandi. Pun, ketika malam, dia terbiasa tertidur di sofa maupun kamar tidur. Boni sudah menjadi bagian keluarga.
Lucunya, ketika kami hendak pergi ke luar kota ke rumah mertua, dia seperti enggan ditinggal sendiri. Sebelum anak-anak naik mobil, dia lebih dulu masuk. Seolah ingin ikut. Dan, ketika kami pulang, dia yang sedang 'bermain' di rumah tetangga, lantas berlari riang. Seolah senang dengan kepulangan kami.
Sekira delapan bulan kemudian, kenyamanan Boni yang sering berlarian di depan rumah, mulai terusik. Ada kucing liar datang ke perumahan dengan ukuran lebih besar. Entah darimana datangnya. Kucing liar itulah yang sering mengejar Boni hingga membuatnya sampai memanjat pohon.
Pernah dia pulang dengan kaki terpincang-pincang. Setelah saya pijat dan mengolesinya dengan minyak tawon, kondisinya lantas membaik. Namun, beberapa pekan kemudian, di suatu sore, dia pulang dengan kondisi yang lebih parah. Dia seperti tidak bisa berjalan. Bahkan, dari kemaluannya keluar darah. Badannya seperti tidak kuat berdiri.
Selama dua hari, dia hanya tidur-tiduran. Badannya lemas. Minuman susu hangat, dan makanan yang biasanya lahap ia makan, kali ini tak disentuhnya sama sekali. Dia menyendiri. Dan, saya bilang ke anak-anak, kucing bila seperti itu, itu salah satu tanda-tanda kematian. Dan, benar adanya, Minggu malam, Boni mengembuskan nafas terakhirnya.
Saya lantas menggendongnya. Menaruhnya di tempat hangat sembari menyelimutinya. Air mata saya tumpah. Ya, saya menangis karena kucing itu telah pergi untuk selama-lamanya. Anak sulung saya yang berusia 7 tahun, juga tak henti-henti menangis. Dia tidur sembari terisak.
"Tapi Boni kini senang karena bisa ketemu mamanya," ujarnya.
Sementara si kecil yang berusia empat tahun, mungkin belum sadar. Tapi, dia lantas mencarinya secara dia yang paling gemas dengan Boni. Dia sampai bilang tidak mau memelihara hewan lagi karena takut bila ditinggal mati.
Keesokan harinya, Senin pagi yang seharusnya menjadi momentum untuk mengawali pekan dengan semangat membuncah, saya malah harus menguburkan dia di halaman rumah. Setelahnya, bayang-bayang kebersamaan dengannya masih terngiang.
Ah, kamu akan dirindukan, Boni. Kepergianmu membuat kami larut dalam haru. Kami akan merindukan suara mengeongmu selepas Shubuh ketika kau meminta makan. Bahkan makananmu pun masih ada. Kami akan rindu "gaya merajukmu" kala hendak ditinggal pergi ke luar kota. Kami akan rindu caramu berlari menghampiri begitu tahu kami kembali ke rumah selepas pergi.
Kami akan rindu pose manjamu yang mendadak tiduran di kaki ketika sedang asyik menulis. Dan, tentu saja kami akan rindu pose tiduran mematung sembari mengibaskan ekormu ketika ayat Alquran dilantunkan. Ya, you'll be missed. Kamu akan dirindukan, Boni.
Pesan saya, buat sampean yang masih punya binatang peliharaan, jaga dan sayangilah dia sebaik mungkin. Sebab, kau tidak tahu kapan akan berpisah dengannya. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H