Panggung bulu tangkis Indonesia ditinggal oleh salah satu pemain terbaiknya. Salah satu pemain panutan di sektor ganda campuran, Debby Susanto, menyatakan undur diri dari dunia yang telah membesarkan namanya. Turnamen Indonesia Masters 2019 yang tengah berlangsung di Istora, Senayan, Jakarta, menjadi kejuaraan terakhir baginya.
Keinginan untuk lebih fokus ke keluarga, terlebih setelah dirinya menikah pada Oktober 2017 lalu, menjadi pertimbangan utama bagi atlet kelahiran Palembang berusia 29 tahun ini untuk memutuskan gantung raket. Debby ingin merasakan quality time bersama keluarganya.
Ya, berkumpul bersama keluarga bak sebuah 'kemewahan' yang memang jarang ia rasakan sejak usia belasan tahun merantau jauh dari rumah demi mengejar cita-cita menjadi pebulu tangkis top. Sejak tahun 2006 atau ketika usianya baru 16-17 tahun, pebulu tangkis bertubuh mungil yang oleh penggemarnya biasa disapa Cici ini sudah bergabung dengan PB Djarum di Kudus, Jawa Tengah. Â
Dalam wawancara seusai pertandingan babak 32 besar Indonesia Masters, Selasa (22/1/2019) seperti dikutip dari badmintonindonesia.org, Debby menyebut akan memberikan surat pengunduran diri ke PBSI pada akhir Januari ini.
"Mau fokus ke keluarga, untuk badminton sudah dulu. Apalagi saya sudah menikah, jarang pulang ke rumah. Ibaratnya main rumah tangga-rumah tanggaan, tidak kayak rumah tangga beneran. Mau fokus ke orangtua, dari kecil sudah merantau, jauh dari orangtua, jadi sekarang mau quality time dulu sama keluarga," ujarnya.
Menjalani turnamen terakhir, siapapun pastinya ingin meraih hasil yang manis. Hanya saja, kenyataan terkadang tidak sesuai harapan. Begitu pula yang dialami Debby. Berpasangan dengan Ronald yang merupakan 'pasangan dadakan', Debby harus langsung tersingkir di babak awal. Ronald/Debby takluk straight game dari ganda Jerman, Mark Lamfsuss/Isabel Herttrich 15-21, 13-21 di putaran pertama Indonesia Masters 2019, Selasa (22/1/2019).
Debby menyebut hasil yang diraih di Indonesia Masters 2019 tersebut memang di luar ekspektasinya. Sebab, bermain di rumah sendiri dan di turnamen terakhir, tentunya ingin meraih hasil yang terbaik. Terlebih, sebelumnya, dengan pasangan berbeda, dia pernah beberapa kali bertemu ganda Jerman tersebut dan masih menang head to head.
"Hasilnya tidak sesuai yang kami mau, pola main tidak keluar. Di game kedua banyak misskomunikasi. Kecewa pasti ada, main di rumah sendiri, ibaratnya terakhir kali ikut kompetisi," ujar Debby. Â
Tetapi memang, dalam setahun terakhir, karier Debby bak sebuah ironi. Dia lebih sering merasakan kekalahan dibandingkan mencicipi manisnya kemenangan. Apalagi gelar.
Sejak "diceraikan" PBSI dari Praveen Jordan pada akhir tahun 2017 silam, Debby seperti belum menemukan pasangan yang mampu membuat dirinya menjadi "kembali muda" seperti di masa jayanya dulu. Kondisi ini yang banyak disesalkan oleh pecinta bulu tangkis mengingat Debby sebenarnya punya potensi dashyat.
Sepanjang tahun 2018 lalu, oleh PBSI, Debby dipasangkan bersama Ricky Karanda Suwardi. Sementara Praveen dicoba berpasangan dengan Melati Daeva Oktavianti. Debby/Praveen dipisah karena penampilan mereka dianggap menurun pada tahun 2017 lalu. Padahal, PBSI berharap Praveen/Debby bisa sering bertemu Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir di final pertandingan-pertandingan penting BWF.
Bongkar pasang tersebut diharapkan bisa menjadi penyegaran dan menghadirkan motivasi baru. Hasilnya, Debby malah tidak mampu meraih satupun gelar. Bahkan tidak pernah masuk ke final turnamen BWF.
Hingga akhir masa baktinya di lapangan bulu tangkis, Debby mengaku masih ada beberapa 'mimpi' yang belum tercapai. Di antaranya medali olimpiade dan juga medali kejuaraan dunia. Toh, 'mimpi ynag tak terbeli' itu tidak membuatnya sampai menyesali kariernya di bulu tangkis.
"Saya tidak mau fokus ke sana, saya merasa puas dengan apa yang saya dapat dari nol sampai sekarang. Bukan hasil yang didapat, tapi proses yang sudah saya lalui yang lebih saya banggakan," ujarnya.
Debby benar. Di olahraga, kepuasan tidak selalu diukur dengan hasil ataupun raihan medali. Ada banyak hal lainnya yang bila disyukuri, bisa menjadi sumber kebanggaan bagi sang atlet. Salah satunya perihal perjuangan dari awal hingga di titik sekarang.
Bahkan, Debby mau berbesar hati di turnamen terakhirnya ini tidak berpasangan dengan Praveen. Dia tidak egois. Padahal, ada banyak yang berharap melihat dirinya tampil bersama Praveen seperti dulu. Siapa tahu, bila tampil bersama Praveen, Debby bisa mengakhiri Indonesia Masters 2019 dengan lebih manis. Apa kata Debby?
"Jordan harus fokus perolehan poin olimpiade, dia harus mengumpulkan poin dan mengikuti turnamen sebanyak-banyaknya bersama Melati. Biarkan Jordan cari poin, supaya lebih konsisten dan lebih padu," ujarnya.
Praveen/Melati memang menjadi salah satu dari dua pasangan ganda campuran Indonesia selain Hafiz Faizal/Gloria Widjaja yang oleh PBSI diprioritaskan untuk berjuang merebut 'tiket' tampil ke Olimpiade 2020. Syaratnya, mereka harus ada di rangking 16 besar dunia.
Menurut Debby, meski belum mampu meraih gelar sejak dipasangkan pada awal tahun 2018 lalu, Praveen/Melati telah memperlihatkan progress bagus. Utamanya dalam hal komunikasi di dalam dan luar lapangan. Debby yakin, ke depannya, mereka bisa berkembang lebih baik.Â
"Saya doakan mudah-mudahan bisa melebihi apa yang saya raih bersama Praveen. Sebenarnya mereka hanya kurang di konsisten saja, kalau sudah bisa konsisten mereka sudah jadi pemain papan atas," tutur Debby. Â
Nama Debby Susanto mulai dikenal publik pada tahun 2007 ketika usianya baru 18 tahun. Kala itu, dia berhasil meraih medali emas di Kejuaraan Asia Junior 2007 di Malaysia. Debby tampil di ganda putri bersama Richi Puspita Dili. Debby juga ikut membawa tim putri Indonesia meraih perunggu di nomor beregu.Â
Di tahun 2007 itupula, Debby meraih medali perunggu kejuaraan dunia junior yang berlangsung di Selandia Baru. Dia tampil di ganda campuran bersama Afiat Yuris Wirawan.Â
Di tahun 2009, Debby meraih gelar pertamanya di level senior saat bermain di Vietnam International Challenge bersama Pia Zebadiah. Itu satu-satunya gelar di nomor ganda putri di level senior. Sebab, di tahun berikutnya, dia dimainkan di ganda campuran.
Pasangan pertama Debby adalah Muhammad Rijal. Bersama pebulu tangkis yang juga asal klub PB Djarum tersebut, Debby tampil lima kali di final turnamen BWF Grand Prix dengan satu raihan gelar di Taiwan Open 2013.Â
Mereka juga meraih medali perunggu SEA Games 2011 dan dua tahun kemudian meraih medali emas SEA Games 2013 di Myanmar. Medali emas SEA Games 2013 itu sekaligus menjadi 'hadiah' terakhir bagi pasangan ini. Rijal kemudian memutuskan mundur dari Pelatnas PBSI.
Di tahun 2014, Debby yang kala itu berusia 25 tahun, lantas dipasangkan dengan pemain muda, Praveen Jordan yang baru berusia 20 tahun. Bersama Praveen-lah, Debby dikenal sebagai salah satu ganda campuran top dunia. Indonesia punya dua pasangan ganda campuran kelas dunia selain Tontowi/Liliyana yang lebih dulu menjadi juara dunia 2013.
Pasangan Debby/Praveen langsung melejit. Mereka meraih medali perunggu Asian Games 2014 setelah kalah di semifinal dari ganda top Tiongkok, Zhan Nang/Zhao Yunlei yang merupakan juara dunia 2011, 2014 dan peraih medali emas Olimpiade 2012. Setahun berikutnya, mereka meraih medali emas di SEA Games 2015 dengan mengalahkan ganda top Malaysia, Chan Peng Soon/Goh Liu Ying.
Sepanjang tampil di turnamen BWF, mereka mampu enam kali tampil di final BWF Grand Prix dengan satu gelar di Syed Modi International pada 2016. Juga lima kali tampil di final BWF Superseries (level tertinggi). Gelar Korea Open 2017 lewat kemenangan atas ganda papan atas Tiongkok, Wang Yilyu/Huang Dongping.
Namun, gelar paling prestisius yang bisa mereka raih adalah All England 2016. Di final turnamen bulu tangkis tertua di dunia itu, Praveen/Debby mengalahkan ganda Denmark, Joacim Fischer Nielsen/Christinna Pedersen.
Ah, mengulas pencapaian masa lalu Debby malah memunculkan penasaran. Ya, kita pastinya penasaran, kapan lagi Indonesia memiliki pebulu tangkis putri berkelas seperti Debby.
Apalagi, setelah Debby, salah satu ikon bulu tangkis Indonesia, Liliyana Natsir juga akan memutuskan gantung raket. Turnamen Indonesia Masters 2019 akan menjadi kejuaraan terakhir bagi pebulu tangkis putri Indonesia yang paling kaya gelar juara ini bermain bersama Tontowi Ahmad.
Ditinggal Debby dan Liliyana, PBSI tentunya pekerjaan rumah yang tidak mudah. Mereka harus segera menemukan bibit baru dan memoles pasangan yang sudah ada. Terlebih, Tiongkok kini tengah mendominasi lewat dua pasangan top, Zheng Siwei/Huang Yaqiong dan Wang Yilyu/Huang Dongping.
Melihat dua ganda campuran top Tiongkok tersebut, kita seolah dibawa kembali ke masa lalu. Ke masa ketika di awal 2010-an dulu, Tiongkok juga punya dua pasangan ganda campuran top, Zhang Nan/Zhao Yunlei dan Xu Chen/Ma Jin. Bedanya, kala itu kita punya Tontowi/Liliyana dan Praveen/Debby yang bisa mengimbangi bahkan mengalahkan mereka.
Bagaimana kali ini? PBSI perlu mendengar saran dari Debby agar segera menciptakan nama-nama baru di ganda campuran. Bahwa regenerasi perlu secepatnya menyusul bakal tidak adanya Liliyana yang selama ini menjadi 'monster' di ganda campuran bersama Tontowi.
Pada akhirnya, sebuah perpisahan tentu saja mengharukan. Debby mengaku akan merindukan suasana Istora yang menurutnya tidak ada tempat (venue) di dunia yang bisa menyamainya. Dia juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada fans yang telah mendukungnya ketika sukses maupun dalam kondisi terpuruk.Â
"Tanpa mereka saya bukan siapa-siapa. Saya tidak pernah mimpi bisa seperti sekarang, banyak yang mendukung. Terima kasih yang sudah mendukung, dalam keadaan terpuruk dan tidak selalu di atas, sering chat kasih dukungan".
Terima kasih Cici Debby!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H