Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Kala Garuda Muda "Menjemput Impian" ke Piala Dunia

28 Oktober 2018   08:26 Diperbarui: 28 Oktober 2018   09:14 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu".

Manis sekali cara Andrea Hirata mengajak kita agar memiliki cita-cita setinggi langit. Oleh Hirata, cita-cita itu disebutnya sebagai mimpi. Ajakan itu diwujudkannya dalam buku yang dia beri nama "Sang Pemimpi". 

Pria yang namanya ngetop lewat karya fenomenal "Laskar Pelangi" yang sudah dialihbahasakan ke dalma bahasa ibu beberapa negara ini memang rajin mengajak pembacanya tentang pentingnya memiliki mimpi (cita-cita).

"Sebab, berhenti bercita-cita adalah tragedi terbesar dalam hidup manusia," ujar Hirata.

Dan, setiap kali Piala Dunia disebut, maka kita pun seolah diingatkan kembali akan mimpi-mimpi lama bangsa ini. Mimpi bernama  menyaksikan Timnas Indonesia tampil di Piala Dunia.

Setiap gelaran Piala Dunia datang (baik di level senior maupun level kelompok umur), di tengah keasyikan menyaksikan pemain-pemain negara lain 'menari gembira' dengan bola di lapangan, kita lagi-lagi teringat pada pertanyaan: "kapan ya Indonesia bisa main di Piala Dunia?".

Mimpi itu sebenarnya sudah terngiang lama di telinga kita. Dan, Timnas Indonesia (di level senior), sebenarnya sudah mencoba meraih mimpi itu. Namun, kita selalu dihadang 'tembok tebal" bernama kualifikasi. Rentetan cerita gagal, seolah selalu menjadi ending cerita perjuangan Tim Merah Putih menuju Piala Dunia.  

Bahkan, pada awal Oktober 2018 lalu, Timnas Indonesia U-16 sempat sudah sangat dekat dengan Piala Dunia. Timnas U-16 yang dilatih Fakhri Husaini, hanya butuh satu kemenangan untuk bisa lolos ke Piala Dunia U-17 2019 tahun depan. Apa daya, Timnas U-16 yang tahun ini menjadi juara ASEAN, kalah 2-3 dari Australia di perempat final Piala Asia U-16 2018 di Malaysia. Indonesia pun gagal melaju ke semifinal. Dan, mimpi ke Piala Dunia pun buyar.

Entah kapan, mimpi itu akan benar-benar menjadi kenyataan. Mungkin seperti kata penyanyi Ebiet G Ade, bahwa kita harus menanyakannya pada rumput yang bergoyang.

Sampai-sampai, penyair kharismatik, Taufik Ismail, pernah menuangkan ketidakbisaan kita tampil di Piala Dunia lewat paduan kata ironi dalam puisinya "Malu (aku) Jadi Orang Indonesia" yang ia tulis pada tahun 1998 silam.

Di negeriku rupanya sudah diputuskan

Kita tak terlibat Piala Dunia demi keamanan antar bangsa

Lagipula, Piala Dunia itu cua urusan negara-negara kecil

Karena China, India, Rusia dan kita tak turut serta

Sehingga cukuplah Indonesia jadi penonton lewat satelit saja

Sebenarnya, jejak Indonesia pernah tampil di Piala Dunia, pernah ada di Piala Dunia 1938 yang digelar di Prancis. Meski, Indonesia waktu itu bernama Dutch East Indies (Hindia Belanda) dan langsung kalah 0-6 dar Hungaria di pertandingan penyisihan yang dimainkan di Kota Reims.

Toh, peta negara Indonesia sudah ditandai oleh induk organisasi sepak bola dunia (FIFA) sebagai negara yang pernah tampil di Piala Dunia. Tak percaya? Silahkan mampir ke Wikipedia dan baca keterangan tentang Piala Dunia 1938.

 Namun, apalah arti mengenang kejayaan masa lalu. Keasyikan mengenang hanya akan membuat kita hidup dalam mimpi dan mungkin akan menolak dibangunkan dari mimpi indah itu. Jika sudah begitu, kita lupa ternyata mimpi itu sudah jauh tertinggal di belakang.

Sebenarnya, jika Tuhan tengah memeluk mimpi rakyat negeri ini seperti kata Andrea Hirata, lalu mengapa Tuhan seolah lama sekali "membolehkan" Tim Garuda bisa tampil di Piala Dunia? Ah, mungkin kita masih belum dianggap layak oleh "Sang Pemeluk Mimpi" untuk merasakan mimpi itu jadi kenyataan.

Mungkin karena Tuhan ingin kita berkaca. Bahwa kita masih seringkali mengumbar ketidaksabaran di sepak bola. Kita belum bisa bersikap kalem. Itu terlihat dari kegemaran kita berganti-ganti pelatih. Orientasi keberhasilan sepak bola kita seringkali masih hasil jangka pendek yang dinilai per turnamen. Karenanya, jika gagal meraih target, kita merasa gagal. Padahal, masih ada target yang lebih besar. Maka, pergantian pelatih pun dianggap sebagai solusi.

Padahal, ketika ada pelatih baru, cenderung akan terjadi pergantian beberapa pemain yang membela timnas, sesuai strategi pelatih. Pun, juga muncul perubahan pola permainan sesuai yang diterapkan pelatih baru. Pendek kata, kita seolah kembali memulai dari nol.

Selain itu, sejak dulu kita juga masih sering kegenitan mencampur adukkan sepak bola dengan kehidupan di luar bola. Di sini, beberapa orang pernah latah mengklaim sukses timnas karena jasanya. Mereka maunya mengeksploitasi keberhasilan timnas untuk kepentingan diri dan kelompok tertentu. Sepak bola sudah seperti tambang emas yang tak pernah habis untuk dieksploitasi. Sepak bola terkadang direkayasa sedemikian rupa untuk 'kendaraan' politik.

Dan, harus diingat, impian untuk sampai pada nirwana bola (Piala Dunia) itu bukanlah mimpi tanpa sebab. Ia sebuah proses panjang. Ketika Kroasia, negara tak terkenal yang tahu-tahu jadi juara III Piala Dunia 1998 silam, itu bukan karena keberuntungan. Pemain-pemain Kroasia telah bermain bersama, bahkan sebelum negara itu merdeka pada tahun 1991 silam. Separoh pemain di tim Kroasia yang tampil di Piala Dunia 1998, merupakan inti kekuatan tim Yugoslavia U-20 kala menjuarai Piala Dunia U-20 1988 di Chile.

Begitu juga sukses Italia ketika menjadi juara dunia 2006. Terlepas dari semangat besar untuk menormalkan nama baikpasca skandal di Liga Italia, tetapi tim itu adalah foto copy tim Italia U-20 yang memenangi Piala Eropa U-21 dengan Andrea Pirlo dan Gennaro Gattuso adalah pasangan sehati di balik sukses itu.    

Garuda Muda Tak Gentar Melawan Jepang

Bicara mimpi ke Piala Dunia, Timnas Indonesia sejatinya masih belajar meraih mimpi itu. Dan dalam belajar, jangan dilupakan bahwa esensi belajar tidaklah melulu untuk mengejar dan membuktikan sesuatu. Dalam hal belajar untuk menjadi besar, yang terpenting adalah penghargaan pada diri sendiri. Penghargaan yang berwujud pada merayakan kegembiraan bermain sepak bola di lapangan.

Nah, malam nanti, Timnas Indonesia U-19 akan mencoba meraih mimpi menuju "surga bola". Timas U-19 yang akan tampil di perempat final Piala Asia U-19, hanya butuh satu kemenangan untuk lolos ke semifinal sekaligus mengamankan tiket lolos ke Piala Dunia U-20 tahun depan di Polandia.

Namun, mimpi itu tidak akan mudah digapai. Sebab, lawan yang dihadapi adalah Timnas Jepang yang merupakan juara bertahan. Di Piala AFC U-19 2016 silam, Jepang menjadi juara untuk kali pertama setelah memenangi adu penalti 5-3 atas Arab Saudi.

Tak hanya sekadar status juara bertahan, Jepang juga tampil ganas di Piala AFC U-19 2018. Dari 16 tim yang tampil, Jepang adalah tim yang "paling rakus" gol. Mereka mencetak 13 gol dalam tiga pertanadingan. Mereka mengalahkan Korea Utara 5-2, menang 3-1 atas Thailand dan menang telak 5-0 atas Irak.

Jepang yang dilatih Akiba Tadahiro, tidak hanya mengandalkan sosok Takefusa Kubo, pemain bernomor punggung 9 yang oleh media-media disebut sebagai "Messi" nya Jepang. Mereka juga punya penyerang Saito Koki bernomor 18 yang sudah mencetak tiga gol.

Namun, seberapa ganas dan hebatnya Timnas Jepang, Garuda Muda tidak boleh gentar. Meski Jepang lebih diunggulkan, tetapi sepak bola tidak selalu memihak tim yang diunggulkan. Justru, sepak bola itu akrab dengan kejutan. Kejutan-lah yang telah menyelamatkan sepak bola dari kehambaran seakan-akan urusan di lapangan selesai dengan 'mantra' statistik.

Ya, Garuda Muda tidak boleh gentar. Seperti yang sering disampaikan pelatih Indra Sjafri: 

"Saya percaya tidak ada yang tidak bisa dikalahkan kecuali Tuhan. Saya tidak mendahului Tuhan. Tetapi saya ingin membuang jauh-jauh mental penakut yang terlalu akut menyerang hati bangsa Indonesia".

Toh, secara tim, Indonesia sebenarnya tidak berbeda jauh dari Jepang. Bila Jepang punya Takefusa Kubo, Garuda Muda punya Egy Maulana Vikri yang juag dijuluki "Messi". Timnas U-19 juga punya Witan Sulaeman dan Todd Rvaldo yang sama-sama mencetak tiga gol.  

Salah satu nilai minus Garuda Muda boleh jadi adalah absennya bek Nurhidayat Haji Harris yang terkena skorsing tampil imbas kartu kuning kedua (kartu merah) saat melawan Uni Emirat Arab di laga terakhir Grup A. Toh, Indra Sjafri pastinya sudah punya pengganti. Bisa memainkan Indra Mustafa. Atau mungkin ada kejutan yang disiapkan.

Terpenting, Garuda Muda harus menghadapi Jepang tanpa beban. Mereka tidak boleh tampil di lapangan bak menggendong monyet di punggung. Sebaliknya, Witan Sulaeman dkk harus bermain dengan kegembiraan.

Katanya anak-anak Indonesia itu mudah tersenyum. Seharusnya, permainan bola membuat mereka tersenyum, seperti halnya anak-anak Brasil yang bisa menari dan anak-anak Afrika yang bisa bernyanyi lewat sepak bola. Ya, bermainlah dengan gembira. Tak perlu terbebani dengan mimpi tampil di Piala Dunia.

Bila Jepang menjadikan bola sebagai teman, seperti  ucapan figur manga Captain Tsubasa yang menginspirasi anak-anak Jepang untuk bermain sepak bola, maka anak-anak Garuda Muda bermain bola dengan iringan doa dari penjuru negeri dan kepasrahan pada Tuhan.

Seperti yang dulu sering mereka lakukan setelah mencetak gol: mencium rumput lapangan. Bersujud syukur. Itu sebagai tanda berterima kasih kepada Tuhan. Tidak perlu ada selebrasi pongah tanda keangkuhan. Ya, kesederhanaan sikap, kerja keras, doa dan kepasrahan pada Tuhan itulah yang akan membuat anak-anak Garuda Muda tidak gentar menghadapi Jepang.  

Selamat berjuang Garuda Muda. Doa terbaik untuk perjuangan kalian. Semoga kalian adalah awal dari mimpi negeri ini untuk bisa tampil di Piala Dunia. Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun