Untuk bisa ngomong yang enak didengar banyak orang itu ternyata ada ilmunya. Tentunya ini bukan jenis ngomong santai seperti di warung kopi yang bisa dilakukan sambil tertawa ngakak, ngemil pisang goreng atau nyeruput kopi. Ini jenis bicara yang jika keliru, bisa berakibat gawat bagi yang bicara.
Di beberapa kota, ada kelas kursus yang namanya kelas public speaking. Muridnya kebanyakan para pengusaha muda, mahasiswa ataupun entertainer. Sesuai namanya, kelas ini mengajari mereka cara benar ketika berbicara di depan publik.
Dalam buku The Power of Public Speaking (2008), presenter senior Charles Bonar Sirait, mengulas banyak hal tentang kemampuan berbicara di depan publik ini. Tentang bagaimana cara menyiapkan materi bicara agar tidak membosankan, bagaimana mengatasi grogi ketika bicara di depan banyak orang, atau cara membuat audience bisa tertarik dengan apa yang kita bicarakan dan sebagainya.
Menurut Charles Bonar Sirait, kemampuan berbicara di depan publik sejatinya bisa dikuasai oleh semua orang. "Kemampuan public speaking itu bisa dipelajari. Ini bukan soal seseorang berbakat atau tidak," ujarnya di buku tersebut.
Bicara soal public speaking, mereka yang terbiasa bicara di depan banyak orang, rasanya harus belajar tentang teknik ini untuk menghindari yang namanya keseleo lidah.
Ya, keseleo lidah, entah siapa yang kali pertama mengenalkan istilah aneh ini. Aneh karena bagaimana bisa lidah yang katanya tak bertulang itu keseleo. Tentu saja ini bukan makna sebenarnya. Sekadar istilah yang sering dipakai teman-teman jurnalis untuk menggambarkan seseorang yang (tidak sengaja) salah ketika bicara.
Efek keseleo lidah ini malahan lebih bahaya daripada keselo kaki atau keselo tangan. Kalau keseleo kaki, cukup diolesi balsem sudah sembuh. Tapi kalau keseleo lidah, efeknya sulit hilang kecuali orang yang mendengar omongan itu sudah lupa. Apalagi kalau yang keseleo lidah itu pejabat publik terkenal yang jadi sorotan banyak orang. Urusannya bisa panjang.
Namun, selain kemampuan berbicara di depan banyak orang agar tidak keseleo lidah, ada "skill" dalam berbicara yang jauh lebih penting untuk dikuasai. Dan untuk menguasai skill ini, kita tidak harus mengikuti kelas public speaking. Sebab, kuncinya sebenarnya bergantung mau atau tidak.
Skill ini berkaitan dengan sikap kita ketika berbicara dengan orang lain. Bahwa, sikap kita ketika berbicara dengan orang lain, akan menentukan kesan orang lain terhadap diri kita.
Semakin baik kita bersikap ketika berbicara, orang di sekeliling kita juga akan merasa nyaman bila berinteraksi dengan kita. Sebaliknya, bila kita tidak bisa menjaga etika ketika berbicara, banyak orang akan menjadi ilfeel dan tidak respek dengan kita. Ujung-ujungnya, kita akan "dipersona non-gratakan" alias tidak disukai.
Nah, agar tidak menjadi orang yang dipersona non-gratakan dalam komunitas pergaulan, ada beberapa sikap yang harus kita jauhi ketika berbicara. Apa saja?
Oleh karena itu kamu perlu sekali menghindari 5 sikap di bawah ini agar orang lain bisa merasa nyaman jika sedang bersamamu.
Terlalu 'narsis' dalam bicara, enggan mendengar perkataan orang lain
Kepada dua anak saya, saya sering menyampaikan bahwa Tuhan memberi kita sepasang telinga dan satu mulut, itu bukannya tanpa maksud. Kita diberi satu mulut dan dua telinga, itu sejatinya pesan tersirat agar kita mau lebih banyak mendengar dibanding terus berbicara.
Karenanya, dua bocah itu saya wanti-wanti untuk tidak terlalu narsis ketika berbicara dengan teman sebaya maupun orang lain. Narsis dalam artian terlalu ingin tampil sehingga terus saja berbicara tanpa memberikan kesempatan orang lain berbicara.
Padahal, seseorang yang terlalu banyak ambil bagian dalam bicara dan tidak memberi kesempatan bagi yang lain untuk bicara, bisa membuat orang lain jadi bad mood alias tidak nyaman. Terlebih, bila yang dominan berbicara itu lebih banyak bercerita tentang dirinya sendiri. Bukan tidak mungkin orang yang mendengarkan akan kapok berbicara dengan orang seperti ini sehingga memilih menghindar.
Ironisnya, tipikal orang yang narsis bicara seperti ini, kini semakin mudah ditemui. Jenis orang-orang yang maunya hanya didengar, tetapi jarang mau mendengarkan pendapat orang lain.
Suka memotong pembicaraan orang lain
Poin ini sejatinya bagian dari yang pertama. Karena saking inginnya tampil ketika berbicara, dai seperti tidak rela "panggung"nya diambil orang lain. Karenanya, ketika orang lain berbicara, belum selesai pun langsung dipotong olehnya.
Padahal, dipotong ketika berbicara (apalagi bila berulang-ulang) itu rasanya tidak enak. Bahkan, rasa tidak enaknya mungkin melebihi poin pertama yang sekadar jenuh mendengar pembicaraan orang narsis bicara.
Sampean (Anda) mungkin pernah merasakan bagaimana rasanya dipotong ketika berbicara. Karena itu, dalam berbicara, penting untuk belajar berempati pada lawan bicara. Jangan bersikap egois.
Satu hal yang saya sering pesankan ke anak mbarep (sulung)--yang memang suka bertanya dan berani bicara---jangan pernah memotong ucapan guru di sekolah. Meskipun tujuannya mungkin baik semisal bertanya ketika ada yang tidak dia mengerti saat guru menerangkan tentang suatu hal. Namun, ada baiknya bila menunggu guru selesai bicara lantas bertanya. Bukan memotong pembicaraan. Sebab, itu etika ketika bicara.
Tidak bisa mengatur intonasi suara ketika bicara
Semakin banyak bergaul dengan banyak orang dari berbagai kalangan, kita akan semakin paham bahwa dalam berbicara, penting untuk menjaga intonasi suara. Semisal berbicara dengan eyang (kakek/nenek) dibandingkan berbicara dengan kawan kerja di kantin kantor, tentunya intonasinya berbeda. Mewawancara tokoh yang dihormati/dituakan dibanding mengobrol dengan kawan sepermainan di tempat olahraga, nuansanya juga jelas berbeda.
Nah, seseorang yang tidak bisa menjaga intonasi dalam bicara, seperti tidak bisa mengatur tinggi dan rendah suara dan suka menyamaratakan cara bicara pada siapapun, bisa mendapat label buruk dan membuat orang tidak respek. Terlebih bila tidak mampu memilah kosakata ucapan yang tepat dalam berbicara sesuai dengan lawan bicara maupun tempatnya.
Bicaranya "ketinggian"Â
Seseorang yang ketika berbicara bicaranya ketinggian, seperti meninggikan diri sendiri sehingga acapkali berbicara tidak sesuai fakta dan membual, ataupun suka menjanjikan sesuatu namun jarang ditepati alias gemar berbohong, tentunya membuat orang lain akan kehilangan respek.
Bahkan, yang paling buruk, bila sikap seperti ini berkelanjutan, orang akan kehilangan kepercayaan pada kebenaran yang dia bicarakan. Pada akhirnya, ucapan orang seperti ini hanya akan dianggap "angin lalu" yang tidak dipercaya.
Jadi, mari belejar merendah ketika berbicara. Lha wong langit saja tidak perlu menjelaskan bahwa dirinya tinggi, kenapa kita yang makhluk bumi bicaranya suka 'melangit'?
Suka Menggurui orang lain
Memiliki kawan yang pandai dan berwawasan luas, tentunya akan menyenangkan bila berbicara dengannya. Namun, rasa senang itu bisa seketika berubah ketika si orang dengan wawasan luas itu ternyata tidak mampu mengendalikan egonya ketika berbicara dengan orang lain.
Mungkin karena merasa pandai dan tahu banyak hal, dia jadi senang bersikap menggurui. Setiap ada orang yang curhat tentang urusan hidupnya, dia lantas tampil bak orang tua yang memberi wejangan untuk anaknya. Bahkan, merasa berhak menghakimi orang lain.
Bila seperti itu, orang tidak akan merasa nyaman dengan kehadirannya. Padahal, manusia yang baik adalah ketika dia hadir, orang lain akan senang dan ketika dia tidak ada, orang akan rindu. Bukan malah sebaliknya, ketika dia ada orang malah susah dan ketika dia tidak ada, orang menjadi senang.
Pendek kata, penting untuk memiliki "rem" ketika berbicara. Dengan punya rem, kita akan bicara secukupnya. Kita tidak akan tergoda untuk bersikap menggurui orang lain apalagi menghakimi orang lain.
Tukang mengeluh
Bercerita kepada orang lan perihal masalah yang kita hadapi itu bagus. Bagus bila efek dari bercerita itu membuat kita lega dan serasa bebannya terangkat. Namun, hati-hati, jangan terlalu sering mengumbar cerita masalah kepada orang lain. Apalagi bila dibarengi dengan mengeluh.
Sebab, bila sering mengeluh, orang lain yang mendengarkan bukannya iba dan bersimpati, tetapi malah jadi malas mendengarkan. Sebab, tidak semua orang mau untuk ikut 'merasakan' masalah orang lain, terlebih bila frekuensinya sering.
Pada akhirnya, orang akan punya stigma negatif terhadap kita gara-gara sering mengeluh. Orang lain akan merasa tidak nyaman berbicara karena tidak ingin ketularan 'energi negatif' dari keluhan tersebut.
Mengutip nasehat Sahabat Ali Bin Abi Thalib, "Jangan menjelaskan tentang dirimu kepada siapapun. Karena yang menyukaimu tidak butuh itu, dan yang membencimu tidak percaya itu". Semoga, kita bisa lebih mengendalikan diri dan mau memahami orang lain ketika berbicara. Salam. Barokallah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H