Tidak bisa mengatur intonasi suara ketika bicara
Semakin banyak bergaul dengan banyak orang dari berbagai kalangan, kita akan semakin paham bahwa dalam berbicara, penting untuk menjaga intonasi suara. Semisal berbicara dengan eyang (kakek/nenek) dibandingkan berbicara dengan kawan kerja di kantin kantor, tentunya intonasinya berbeda. Mewawancara tokoh yang dihormati/dituakan dibanding mengobrol dengan kawan sepermainan di tempat olahraga, nuansanya juga jelas berbeda.
Nah, seseorang yang tidak bisa menjaga intonasi dalam bicara, seperti tidak bisa mengatur tinggi dan rendah suara dan suka menyamaratakan cara bicara pada siapapun, bisa mendapat label buruk dan membuat orang tidak respek. Terlebih bila tidak mampu memilah kosakata ucapan yang tepat dalam berbicara sesuai dengan lawan bicara maupun tempatnya.
Bicaranya "ketinggian"Â
Seseorang yang ketika berbicara bicaranya ketinggian, seperti meninggikan diri sendiri sehingga acapkali berbicara tidak sesuai fakta dan membual, ataupun suka menjanjikan sesuatu namun jarang ditepati alias gemar berbohong, tentunya membuat orang lain akan kehilangan respek.
Bahkan, yang paling buruk, bila sikap seperti ini berkelanjutan, orang akan kehilangan kepercayaan pada kebenaran yang dia bicarakan. Pada akhirnya, ucapan orang seperti ini hanya akan dianggap "angin lalu" yang tidak dipercaya.
Jadi, mari belejar merendah ketika berbicara. Lha wong langit saja tidak perlu menjelaskan bahwa dirinya tinggi, kenapa kita yang makhluk bumi bicaranya suka 'melangit'?
Suka Menggurui orang lain
Memiliki kawan yang pandai dan berwawasan luas, tentunya akan menyenangkan bila berbicara dengannya. Namun, rasa senang itu bisa seketika berubah ketika si orang dengan wawasan luas itu ternyata tidak mampu mengendalikan egonya ketika berbicara dengan orang lain.
Mungkin karena merasa pandai dan tahu banyak hal, dia jadi senang bersikap menggurui. Setiap ada orang yang curhat tentang urusan hidupnya, dia lantas tampil bak orang tua yang memberi wejangan untuk anaknya. Bahkan, merasa berhak menghakimi orang lain.
Bila seperti itu, orang tidak akan merasa nyaman dengan kehadirannya. Padahal, manusia yang baik adalah ketika dia hadir, orang lain akan senang dan ketika dia tidak ada, orang akan rindu. Bukan malah sebaliknya, ketika dia ada orang malah susah dan ketika dia tidak ada, orang menjadi senang.