Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Caleg dan Pemain Bola Terbaik Dunia

19 Oktober 2018   07:45 Diperbarui: 22 Oktober 2018   08:31 1437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para caleg bisa belajar dari pemain sepak bola/Foto: AdaKita News

Selamat datang di "negeri baliho". Jelang pemilihan calon anggota legislatif (caleg) seperti sekarang ini, aneka atribut para caleg mulai bertebaran di mana-mana. Baliho yang memajang wajah mereka, mudah ditemui di banyak tempat. Bahkan, semakin mendekati hari H pencoblosan nanti, jumlahnya dipastikan semakin berlipat.

Wajah mereka---dari yang memasang tampang serius, tersenyum manis hingga yang terlihat kaku karena mungkin masih malu-malu sebab jarang difoto---nampang di tempat wajar dan "tempat terlarang" seperti di area trotoar pinggir jalan, di area taman kota, di paku di pohon, di jembatan penyeberangan, malah dulu ada yang ditaruh di atas tiang menara iklan.

Wajah mereka  juga nongol di kaca belakang angkutan kota hingga di warung kopi di gang-gang kampung. Pokoknya, semua tempat, selama itu masih terlihat oleh mata, ada foto caleg. Itu belum termasuk "baliho" mereka yang berkelindan di media sosial. Mereka telah mengibaratkan dirinya sebagai produk yang dijual bebas di pasar terbuka.

Hampir semua caleg mengenalkan dan mempromosikan diri sebagai figur yang santun, jujur, tegas, cerdas, bersih, alim, tidak korupsi, peduli wong cilik dan lain-lain. Ada yang sengaja memakai peci dan senyum merekah untuk lebih menguatkan kesan bagus itu.

Malah, dari pengamatan saya pada Pileg lima tahun lalu, ada juga calon memasang spanduk nyeleneh bertuliskan kalimat "jangan pilih saya". Dan yang tambah nyeleneh lagi, ada foto caleg yang fotonya sengaja dipasang terbalik. Tujuannya ya agar orang tertarik menengok dan melihat wajahnya (dan harapannya kelak memilih dia). 

Bagaimanapun, semua itu wajar sebagai bagian promosi untuk menarik perhatian orang. Masalahnya, citra kesalehan dan kebersahajaan lewat poster dan baliho tersebut, seringkali hilang ketika para caleg ini sudah terpilih jadi anggota legislatif. 

Malahan, ada anekdot yang membandingkan figur caleg dengan pil KB (keluarga Berencana). Bahwa kalau pil KB, bila "lupa maka akan jadi", sementara kalau caleg berlaku sebaliknya "kalau jadi akan lupa".

Tapi memang, memilih caleg yang benar-benar berkualitas itu tidak gampang. Sebagian orang bisa saja tinggal pilih, tinggal coblos atau tinggal contreng foto caleg karena dia masih tetangga dekat atau kenalan. Tapi, bagi sebagian yang lain, memilih caleg ini ternyata sulit.

Bagaimana tidak sulit, lha wong banyak pemilih tidak tahu orang yang mereka pilih itu baik atau tidak, apakah orang itu mau kerja atau tidak, perilaku nya baik atau tidak. Mereka hanya disodori foto atau gambar wajah, tanpa tahu gambar orang tersebut layak atau tidak untuk mewakili mereka.

Dalam konteks tersebut, memilih caleg yang memang layak dipilih ini bahkan bisa jadi lebih sulit dari memilih pemain terbaik dunia di sepak bola.

Sama seperti kita yang punya hak memilih caleg tiap lima tahun, para pelatih dan kapten tim nasional negara-negara anggota FIFA (Federasi Sepak Bola Dunia) serta wartawan sepak bola, juga punya hak memilih pesepak bola yang pantas dinobatkan jadi pemain terbaik dunia pada setiap akhir tahun.

Bukan tugas yang sulit. Toh, para pelatih dan kapten Timnas ini sekadar memilih nama-nama yang sudah masuk nominasi. Mereka tidak perlu bingung karena sudah tahu bagaimana penampilan pemain yang masuk nominasi tersebut selama kompetisi sebelumnya. Palingan, pelatih dan kapten Timnas itu baru akan kesulitan milik kalau disuruh milih caleg.  

Dalam beberapa tahun terakhir, Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi adalah dua nama yang bergantian memenangi gelar pemain terbaik dunia. Baru tahun ini, ada "nama baru" yang memenanginya: Luka Modric.

Siapapun pemenangnya, baik Ronaldo, Messi dan Modric dipilih tentu bukan karena mereka rajin memasang iklan di televisi yang tayang pada jam prime time ataupun di halaman depan koran-koran terkenal agar pelatih dan kapten Timnas itu mau memilihnya.

Mereka juga tidak memasang baliho atau banner bertuliskan "pilih saya" di stadion manapun. Dan, mereka juga tidak menyewa konsultan iklan ternama untuk menasehatinya perihal pencitraan dirinya agar bisa terpilih jadi pemain terbaik.

Ronaldo, Messi dan Modric terpilih karena yang memilih, tahu bahwa mereka punya keistimewaan yang membuat mereka lebih spesial dibandingkan ribuan pemain lainnya. Mereka dipilih karena terbukti telah bermain luar biasa dan bisa bekerja sama dengan teman-teman setimnya untuk meraih kejayaan.

Ambil contoh Messi, konon dia disukai karena punya attitude (sikap) yang bersahabat di lapangan. Dia bukan pemain arogan yang merasa lebih hebat dari lainnya (meski banyak yang menjulukinya 'alien' karena kemampuan olah bolanya berbeda dari manusia kebanyakan). 

Dia juga tidak pernah begadang semalaman di klub malam karena tahu besok dia harus bangun pagi untuk berlatih. Messi tahu kewajiban dan hal yang tak boleh dilakukannya. Messi-lah representasi pemain bola yang mau bekerja keras karena tidak ingin mengecewakan fansnya.

"I made sacrifices leaving Argentina. Leaving my family. All for football, to achieve my dream. That's why I didn't go out partying," ujar Messi dalam sebuah wawancara dengan media Spanyol, Marca.

Inspirasi Sepak Bola untuk Para Caleg

Seharusnya, para caleg yang ingin terpilih, juga bisa belajar dari Messi tentang etos kerja, disiplin dan perlunya attitude yang baik. Seharusnya, para caleg ini bisa mengambil pelajaran hidup dari sepak bola.

Coba lihat, di manapun, pemain sepak bola itu rajin. Di lapangan, mereka rajin berlari, tidak ada yang malas-malasan. Pemain bola, baik itu di liga top Eropa maupun di Liga Indonesia, sadar bahwa mereka memikul amanah sebagai "wakil suporter".

Karenanya, ketika di lapangan, mereka tidak ingin mengecewakan suporter yang telah datang ke stadion dan membayar tiket berharga mahal. Mereka ingin meraih kebanggaan untuk diri mereka sendiri, untuk suporter dan juga timnya.

Maka, tidak ada pemain bola yang malas dan acuh ketika berada di lapangan. Semuanya rajin berlari. Mereka tidak egois. Mereka mau bekerja sama demi meraih hasil terbaik untuk tim nya.

Pemain bola sadar, bahwa waktu mereka di lapangan sangatlah terbatas untuk bisa berprestasi. Ketika peluit wasit berbunyi tanda berakhirnya pertandingan, tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan. Karena itu, pemain bola selalu bergerak dinamis menjalani peran mereka di lapangan.

Mantan kapten Timnas Inggris dan Arsenal, Tony Adams pernah bilang begini: pesepak bola itu bermain mewakili nama di kostum depan mereka, tetapi orang akan mengenang nama di kostum belakang mereka.

Artinya, seorang pesepak bola itu berlatih keras dan bermain sampai rela "makan rumput" demi membela klubnya. Mereka mendedikasikan semua kemampuan terbaik mereka demi klub yang telah menggaji dan menjadi bagian keluarga mereka. Dan puluhan tahun kemudian, suporter mungkin lupa mereka pernah bermain di klub itu karena mereka bisa saja berpindah-pindah klub. Tapi, orang akan mengingat nama mereka.

Sama saja dengan para caleg, seharusnya mereka tidak bermalas-malasan baik ketika masih "promosi" menjadi calon legislator ataupun kelak ketika sudah terpilih. Sebagai orang yang terpilih mewakili kepentingan rakyat, mereka seharusnya sudah tahu apa yang hendak mereka perbuat demi mewakili aspirasi masyarakat yang mereka wakili.

Seperti permainan sepak bola yang dibatasi waktu, harusnya mereka tahu bahwa waktu mereka untuk menikmati empuknya kursi dewan, juga terbatas. Belum tentu, pada periode lima tahun berikutnya, mereka akan kembali terpilih. Maka, mumpung "pertandingan belum berakhir", silahkan tampil sebaik mungkin, buat rakyat bangga. Jangan malah seperti sindiran anekdot pil KB itu. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun