Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kita, Orang Dewasa yang Sering Kekanak-kanakan

11 Oktober 2018   10:29 Diperbarui: 17 Oktober 2018   08:53 1427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadi tua itu pasti, menjadi dewasa dan bijak itu pilihan. Anda mungkin sering mendengar ujaran tersebut. Dan, bila harus memilih, ada banyak orang pastinya akan memilih menjadi (tua) yang dewasa. Bukan sekadar menjadi tua karena bertambahnya usia. Benar kan?

Sebab, menjadi orang tua yang (bisa bersikap) dewasa itu jelas lebih keren daripada mereka yang sekadar menjadi tua. Apalagi mereka yang hanya menjadi tua tetapi ternyata tidak bertambah dewasa, malah menjadi kekanak-kanakan.

Ah ya, perihal makna dewasa menurut Kamus Besar Bahasa Indoensia (KBBI), memang terbagi menjadi beberapa makna. Ada yang bermakna sampai umur/akil baligh. Dan ada yang dimaknai matang pikiran dan pandangannya.

Nah, untuk menjadi tua yang lantas bermuara menjadi dewasa (secara kematangan pola pikir) atau kekanak-kanakan, itu terkadang tidak ada kaitannya dengan strata sosial maupun tingkat pendidikan. Bahwa, tidak ada jaminan mereka yang gelar pendidikan S nya lebih dari satu bahkan berderet panjang, bisa lebih bersikap dewasa dari mereka yang pendidikannya "biasa-biasa" saja.

Yang ada malah bersikap kenakak-kanakan. Semisal minta diagungkan dipanggil gelarnya (dan bahkan ngambek bila ada yang memanggilnya dengan sebutan "pak" saja). Padahal, dengan keilmuan yang dia miliki, tentu saja orang akan menghormatinya tanpa harus diminta.

Kalaupun ada yang memanggil tanpa menyebut gelarnya, boleh jadi karena tidak tahu. Dan, apa susahnya memaklumi kealpaan seperti itu tanpa harus dibawa baper.

Perihal hal ini, dulu ketika mengerjakan majalah di sebuah kampus, saya pernah mengetahui, ada seorang profesor yang marah hanya karena ada kawan yang memanggilnya tanpa embel-embel "prof" ketika hendak bertemu. Padahal, dia memanggilnya dengan penuh hormat dan intonasi suara pelan.

Padahal juga, yang memanggil itu memang tidak tahu beliaunya profesor karena dia bukan bagian dari keluarga besar kampus tersebut. Tetapi memang, hal beginian nyata adanya.

Nah, perihal mereka yang sudah tua apakah bisa bersikap dewasa atau justru kenakan-kanakan, ada beberapa parameter yang bisa dipakai untuk mengukurnya.

Dan, ternyata parameter ini mudah kita temukan di ruang publik seperti di acara televisi maupun dalam perilaku mereka sehari-hari.

Ketika sedang berkomunikasi dengan orang lain

Setiap hari kita terlibat pembicaraan dengan orang lain. Kita berkomunikasi dengan banyak orang.

Nah, dari cara kita berkomunikasi, bisa diketahui apakah kita bisa bersikap dewasa atau malah kekanak-kanakan.

Ketika berkomunikasi, orang dewasa akan memahami bahwa esensi berdialog adalah tahu waktu. Maksudnya, mereka akan tahu kapan waktunya mereka berbicara dan kapan waktunya mendengarkan ucapan orang lain. Malah, mereka akan lebih banyak mendengar daripada berbicara.

Sebaliknya, mereka yang kenakan-kanakan akan selalu ingin berbicara dan ingin didengar. Bahkan, ketika lawan bicaranya masih berbicara, mereka terbiasa memotong pembicaraan karena ingin kembali dirinya yang bicara.

Pun, ketika sedag berdebat, karena terbiasa mau mendengar, orang dewasa akan menciptakan percakapan yang produktif dan berkualitas.

Sementara mereka yang kekanak-kanakan akan selalu ingin tampil dan ingin menang ketika berargumen. Lucunya lagi bila sekadar berani tetapi substansi omongannya dangkal.

Ketika berhubungan dengan orang lain

Konteks berhubungan dengan orang lain ini luas. Ada hubungan personal dengan personal. Ada yang hubungan antara atasan dengan bawahan. Poin pentingnya adalah bagaimana kita memandang orang lai ketika berhubungan.

Andai ketika dipercaya menjadi atasan, orang dewasa akan bisa memahami bahwa setiap anak buahnya itu unik. Karenanya, dia akan mengutamakan pendekatan personal untuk bisa membangun sinergi dengan orang yang dipimpinnya.

Sementara mereka yang kekanak-kanakan, cenderung berpikir bahwa setiap orang harus punya kesamaan pikiran dan sikap dengan dirinya. Bila dia menjadi atasan, dia akan menjadi pemimpin yang memaksakan kehendak kepada siapa saja yang dipimpinnya.

Dalam menjalani hidup

Sampean (Anda) pernah membaca atau mendengar dongeng tentang Ali Baba dan kakaknya Qasim serta harta berlimpah di dalam gua. Itu salah satu dongeng yang disukai anak saya. Sebuah dongeng sarat pesan. Bahwa, dalam menjalani hidup, mereka yang serakah akan celaka, sementara yang mengambil secukupnya akan selamat.

Ali Baba yang apa adanya dan Qasim yang serakah, sama-sama tahu "kata password" untuk masuk/keluar ke gua yang menjadi temat penimbunan harta bagi kawanan pencuri. Ali Baba selamat karena hanya mengambil seperlunya.

Sementara Qasim yang tamak, dibutakan harta sehingga ingin membawa pulang semuanya. Dan, diapun lupa kata kuncinya sehingga tidak bisa keluar dari gua dan hidupnya berakhir ditangan kawanan pencuri.

Bahwa, mereka yang dewasa, akan lebih banyak mengedepankan rasa syukur meskipun mendapatkan sesuatu yang bernilai kecil. Mereka akan mudah berterima kasih kepada orang lain.

Sementara mereka yang kekanak-kanakan, cenderung selalu merasa kurang dan jarang mensyukuri dengan apa yang didapatnya. Karena selalu merasa kurang, hidupnya pun banyak dihabiskan dengan mengeluh, nyinyir dan iri pada orang lain.

Ketika berkonflik dengan orang lain

Hidup berkelompok dengan orang lain yang berbeda karakter dan perilaku, terkadang rentan memunculkan konflik. Bisa jadi hanya karena salah paham lantas ketidaksukaan pada orang lain pun tumbuh.

Mereka yang dewasa tidak akan mau membiarkan masalah berlarut-larut. Mereka mau memahami orang lain dan mudah untuk memaafkan maupun meminta maaf sehingga bisa segera kembali berbaikan. Sementara mereka yang kekanak-kanakan, cenderung mudah bawa perasaan, susah move on dan susah memaafkan orang lain. Terlebih bila suka mencari-cari kesalahan orang lain.

Pendek kata, menjadi dewasa atau kekanak-kanakan itu memang sebuah pilihan. Bukan ujug-ujug datang seperti halnya umur yang bertambah (ataupun berkurang jatahnya) setiap tahun. Tinggal kita mau memilih menjadi yang mana.

Dan pilihan tentunya harus selaras antara kata dan perbuatan. Orang disebut dewasa atau kekanak-kanakan karena sikap dan perilaku yang dipertontonkannya kepada orang lain. Karena penyebutan sikap dewasa dan kekanak-kanakan itu sejatinya hasil dari penilaian orang lain. Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun