Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Membenci itu Melelahkan, Mulailah Memaafkan

19 September 2018   21:56 Diperbarui: 22 September 2018   02:06 3528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ayah, aku nggak mau main lagi sama anak depan rumah itu. Dia nggak asyik kalau diajak main bola," ujar Gaoqi, anak mbarep (sulung) saya ketika saya baru tiba di rumah di suatu sore beberapa hari lalu.

Bocah tujuh tahun ini melaporkan ketidakasyikan temannya yang disebutnya bila bermain bola selalu dipegang. Menurutnya, pas seru-serunya men-dribble bola, tiba-tiba temannya itu memegang bolanya.

Lain waktu, dia memprotes ulah temannya yang sembarangan dalam meminjam sepeda nya. 

"Lihat ini Ayah, rem sepedaku rusak gara-gara dipinjam anak itu. Udah gitu abis pinjam nggak dikembalikan ke rumah. Pokoknya aku nggak mau main lagi sama dia," ujarnya.

Mau tahu bagaimana kelanjutan ceritanya?

Sampean (Anda) yang menjadi ayah dari bocah-bocah ataupun terbiasa mengamati perilaku anak-anak, pastinya tahu jawabannya. Mereka yang sebelumnya berkoar tidak mau main lagi dengan seorang temannya yang seolah-olah mengumumkan berperang, faktanya besoknya sudah baikan lagi. Seolah tidak pernah ada protes segala macam.

Begitu juga Gaoqi. Esoknya, dia malah antusias mengajak si anak yang sempat diprotesnya itu untuk bermain bola lagi. Pun kepada temannya yang katanya merusak rem sepedanya, mereka kembali bersepeda bersama, sembari tertawa. Seolah tidak pernah terjadi 'friksi' diantara mereka sebelumnya.

Begitulah asyiknya dunia anak-anak. Terutama anak-anak yang masih polos dan memang berjiwa anak-anak (karena ada lho anak-anak sekarang yang sudah teracuni perilaku sinetron sehingga bersikap lebay dan mendramatisir hal-hal sepele seperti tayangan sinetron). Bagi anak-anak yang masih polos ini, benci itu sekadar kata yang spontan terucap karena sedang kesal. Dan esoknya mereka sudah lupa. Begitulah Gaoqi dan Gaizan, adiknya.

Kita, orang dewasa, yang merasa lebih pintar dan tahu segalanya dibanding anak-anak, terkadang perlu belajar kepada anak-anak tentang bagaimana menjadikan benci hanya sekadar kata yang mudah lenyap.

Bukankah kita yang dewasa dan merasa lebih hebat dari anak-anak ini seringkali suka menyimpan kebencian kepada orang lain. Kebencian yang dirawat itu lantas tumbuh menjadi dendam. Bahkan ada yang diawariskan turun-temurun. Astaga.

Padahal, membenci itu bisa berpengaruh pada kesehatan. Dinukil dari IDN Times, Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence menuliskan sebuah penelitian menakjubkan pada tahun 1974 yang menceritakan sebuah temuan di Laboratorium School of Medicine and Dentistry, University of Rochester. Penelitian tersebut menulis ulang peta biologis tubuh.

Membenci itu melelahkan, mulailah memaafkan/Foto: pinterest.com/thebearscout
Membenci itu melelahkan, mulailah memaafkan/Foto: pinterest.com/thebearscout
Robert Ader, seorang ahli psikologi menemukan jalur biologis yang membuat otak, emosi dan tubuh itu tidak terpisah, melainkan terjalin dengan erat. 

Temuan ini yang kemudian membuktikan dan dijadikan dasar sebab-sebab beberapa kasus gangguan kesehatan yang kita alami, berawal karena emosi yang tidak mampu ter-manage dengan baik. Nah, membiarkan diri terus membenci orang lain merupakan salah satu wujud ketidakmampuan menata emosi.

Memang, 'godaan' untuk benci itu bisa datang kapan saja. Sebab, kita memang tidak bisa lepas dari interaksi sosial. Baik interaksi sosial di dunia nyata maupun di dunia maya. Dan, tak semua interaksi tersebut berjalan menyenangkan. Terkadang, hubungan dengan orang lain membuat kita marah dan sakit hati. Tak jarang, akhirnya kita akan mengorbankan hubungan itu dengan membenci.

Terkadang, membenci mereka yang pernah menyakiti hati kita seolah dibenarkan. Namun, kita sejatinya bisa memilih: mau terus membenci atau memaafkan. Sebab, hidup tak seharusnya habis hanya untuk membenci dan memikirkan mereka yang membuat hidup kita susah.

Nah, jika sampean (Anda) masih butuh diyakinkan untuk mulai berhenti membenci, ada beberapa gambaran betapa tidak enaknya kehidupan orang yang dibakar benci.

Jangan buang energi dengan membenci orang

Konon, untuk marah untuk membutuhkan energi yang lebih besar dibanding tersenyum. Begitu juga membenci seseorang, itu membutuhkan energi yang sama dengan mencintai. Membenci orang lain itu membuat kita merasa lelah. Lelah karena membuang energi percuma.

Betapa tidak melelahkan, semisal setiap kali bertemu dengan orang yang dibenci, kita akan sibuk mencela, uring-uringan dan menggerutu tentang orang tersebut. Sampai kita lupa urusan kita sendiri. Padahal, masih banyak hal penting yang bisa dilakukan dibandingkan menghabiskan energi untuk memikirkan hal yang tidak menguntungkan.

Ah, tanpa membenci orang lain saja, hidup ini terkadang sudah cukup melelahkan untuk dipikirkan. Apalagi bila harus ditambahi membenci orang lain yang membuat kita dikuasai emosi jahat.  

Membenci orang lain itu hanya membuang waktumu 

Ketika pulang ke kampung lantas melihat sawah di belakang rumah ibu, lamunan tentang masa kecil bermain layangan di sawah, mencari jangkrik, memanen padi lantas bermunculan. Seolah baru kemarin. Padahal itu sudah puluhan tahun lalu. Bahkan, sawah itu pun sudah berganti menjadi kompleks perumahan.

Bahwa hidup itu berjalan sangat cepat. Hidup itu singkat. Lalu, apa iya kita mau membuang waktu untuk terus membicarakan orang yang dibenci.

Pun, dalam soal pilihan politik yang sejatinya soal pilihan, lantas kita membenci orang yang tidak sama pilihannya dengan kita. Apa iya kita mau terus berdebat dan berargumen yang didorong kebencian karena sikap fanatik akibat berbeda pilihan itu.  

Malah, terkadang kita sampai lupa untuk memperhatikan orang-orang yang kita cinta karena terlalu sering menggerutu tentang orang yang kita benci. Padahal, hidup itu terlalu singkat untuk membalas kebaikan orang-orang yang mencintai kita. Lalu, kenapa kita harus menghabiskan waktu untuk membenci orang lain? Mengapa kita merusak hubungan yang sudah baik hanya karena hal-hal yang sejatinya tidak perlu dimasukkan hati.

Benci akan membuat kita 'terpenjara'

Ketika membenci seseorang, kita akan lebih memilih menghindari orang itu. Ogah bertemu. Sebab, emosi kita mendorong kita merasa tidak nyaman ketika dia ada di dekat kita. Bial seperti itu, ruang gerak pun menjadi terbatas karena ulah sendiri.

Bayangkan saja, semisal di kampus, ketika hendak ke kantin atau ke perpustakaan, karena melihat ada orang yang dibenci, niat itu pun diurungkan. Pun di lingkungan tempat tinggal, semisal ada tetangga yang tidak disuka, ketika hendak jogging di pagi hari, bisa saja batal hanya karena orang yang dibenci itu ternyata berada di depan rumahnya dan kita malas bertemu dengannya. Bukankah itu sama artinya dengan kita terpenjara oleh ulah sendiri.

Ya, membenci itu melelahkan. Jangan terbiasa mencaci, jangan sisakan ruang di hati untuk membenci. Mulailah memaafkan. Mulailah dengan berdamai dengan dirimu sendiri. Sebab, hati kita berhak akan kedamaian. Hidup kita akan bahagia bial mengingat kebaikan orang lain, bukan sebaliknya. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun