"Ayah, aku nggak mau main lagi sama anak depan rumah itu. Dia nggak asyik kalau diajak main bola," ujar Gaoqi, anak mbarep (sulung) saya ketika saya baru tiba di rumah di suatu sore beberapa hari lalu.
Bocah tujuh tahun ini melaporkan ketidakasyikan temannya yang disebutnya bila bermain bola selalu dipegang. Menurutnya, pas seru-serunya men-dribble bola, tiba-tiba temannya itu memegang bolanya.
Lain waktu, dia memprotes ulah temannya yang sembarangan dalam meminjam sepeda nya.Â
"Lihat ini Ayah, rem sepedaku rusak gara-gara dipinjam anak itu. Udah gitu abis pinjam nggak dikembalikan ke rumah. Pokoknya aku nggak mau main lagi sama dia," ujarnya.
Mau tahu bagaimana kelanjutan ceritanya?
Sampean (Anda) yang menjadi ayah dari bocah-bocah ataupun terbiasa mengamati perilaku anak-anak, pastinya tahu jawabannya. Mereka yang sebelumnya berkoar tidak mau main lagi dengan seorang temannya yang seolah-olah mengumumkan berperang, faktanya besoknya sudah baikan lagi. Seolah tidak pernah ada protes segala macam.
Begitu juga Gaoqi. Esoknya, dia malah antusias mengajak si anak yang sempat diprotesnya itu untuk bermain bola lagi. Pun kepada temannya yang katanya merusak rem sepedanya, mereka kembali bersepeda bersama, sembari tertawa. Seolah tidak pernah terjadi 'friksi' diantara mereka sebelumnya.
Begitulah asyiknya dunia anak-anak. Terutama anak-anak yang masih polos dan memang berjiwa anak-anak (karena ada lho anak-anak sekarang yang sudah teracuni perilaku sinetron sehingga bersikap lebay dan mendramatisir hal-hal sepele seperti tayangan sinetron). Bagi anak-anak yang masih polos ini, benci itu sekadar kata yang spontan terucap karena sedang kesal. Dan esoknya mereka sudah lupa. Begitulah Gaoqi dan Gaizan, adiknya.
Kita, orang dewasa, yang merasa lebih pintar dan tahu segalanya dibanding anak-anak, terkadang perlu belajar kepada anak-anak tentang bagaimana menjadikan benci hanya sekadar kata yang mudah lenyap.
Bukankah kita yang dewasa dan merasa lebih hebat dari anak-anak ini seringkali suka menyimpan kebencian kepada orang lain. Kebencian yang dirawat itu lantas tumbuh menjadi dendam. Bahkan ada yang diawariskan turun-temurun. Astaga.
Padahal, membenci itu bisa berpengaruh pada kesehatan. Dinukil dari IDN Times, Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence menuliskan sebuah penelitian menakjubkan pada tahun 1974 yang menceritakan sebuah temuan di Laboratorium School of Medicine and Dentistry, University of Rochester. Penelitian tersebut menulis ulang peta biologis tubuh.