Dengan banyaknya pemain yang terbiasa bermain di liga top Eropa, Senegal punya keunggulan dalam hal mental tanding. Sadio Mane dan kawan-kawan sudah terbiasa menghadapi pemain-pemain top sehingga tidak tampil kikuk. Wajar saja bila bomber Polandia, Robert Lewandowski tak berkutik ketika menghadapi Senegal karena pergerakannya terus diawasi oleh Koulibaly yang terbiasa menghadapi penyerang-penyerang top.Â
Tidak sekadar kejutan, tetapi konsistensi
Namun, ini adalah Piala Dunia. Bila ingin melangkah jauh, apalagi bisa menjadi juara dunia, membuat kejutan di satu pertandingan saja tidaklah cukup. Sepanjang sejarah Piala Dunia, ada banyak tim yang berhasil membuat kejutan di awal-awal turnamen, tetapi kemudian terhenti. Mengapa? Karena mereka hanya 'meledak' di satu laga.
Aliou Cisse pastinya memahami itu. Bahwa yang terpenting di Piala Dunia bukan hanya kejutan yang berlangsung sekali. Namun, kejutan yang berkali-kali. Pendek kata, kalaulah kemenangan Senegal dianggap sebuah kejutan, mereka wajib konsisten untuk terus membuat kejutan.
"Memenangi pertandingan pertama berarti kami mengawali turnamen dengan benar. Namun, pertandingan kedua dan ketiga juga penting," ujar Cisse.
Ya, bila ingin mengulang "cerita dongeng" seperti di Piala Dunia 2002 atau bahkan lebih hebat lagi, konsistensi adalah syarat utama bagi Senegal. Sebab, di Piala Dunia yang setiap pertandingannya sarat makna, bila sekali saja mengalami bad day alias tampil buruk, hukuman bisa datang tanpa diduga.
Tanpa konsistensi untuk terus bermain rapi, kalem (tidak gampang emosional), spirit tinggi dan bermain mematikan demi meraih kemenangan, rasanya mimpi Senegal dan tim-tim Afrika untuk meraih trofi Piala Dunia, dari zamannya Roger Milla hingga Sadio Mane, rasanya hanya menjadi seperti ungkapan 'ntar lebaran monyet' yang tidak pernah kesampaian. Salam  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H