Sampai kapan benua Afrika akan menunggu wakilnya bisa menjadi juara Piala Dunia? Jangan bilang "ntar lebaran monyet" lho ya. Ungkapan menggelitik ini sudah lama muncul saat almarhum Benyamin S berduet dengan Ida Royani menyanyikan lagu "Siapa Punya". Di ujung lagunya, Ida Royani bilang "ntar lebaran monyet". Ingat nggak lagunya?
Anda yang lahir dan besar di Jakarta atau lama tinggal di Jakarta, mungkin juga pernah mendengar ungkapan ini. Kalau dalam gurauan orang Betawi, ungkapan itu artinya kurang lebih "sampai kiamat pun nggak bakalan"!!Â
Tetapi memang, bicara Piala Dunia dan wakil dari benua Afrika, seperti membahas monyet yang tidak mungkin akan berlebaran. Tim-tim Afrika seolah ditakdirkan tidak berjodoh dengan Piala Dunia. Padahal, secara kualitas tim dan juga skill individu pemain, Afrika adalah "pabriknya" pemain bertalenta yang jasanya lantas dipakai oleh banyak klub top Eropa.
Fakta yang terjadi, tahun demi tahun penyelenggaraan Piala Dunia, wakil-wakil Afrika belum mampu mengangkat trofi yang hanya bergantian diraih negara-negara Eropa dan Amerika Latin. Pun, di edisi 2010 lalu ketika Piala Dunia untuk kali pertama digelar di benua Afrika ( Afrika Selatan), tim-tim Afrika juga tidak mampu berjaya di rumahnya sendiri.
Kamerun, Senegal dan Ghana pernah mencoba mendaki tangga menuju juara di Piala Dunia edisi 1990, 2002 dan 2010, tetapi ketiganya hanya mampu 'mendaki' hingga perempat final. Bagaimana di Piala Dunia 2018?
Nasib Afrika di Piala Dunia 2018
Di Piala Dunia 2018 yang digelar di Rusia, ada lima wakil benua Afrika yang tampil. Ada Mesir, Maroko, Nigeria, Tunisia dan Senegal. Dari lima wakil ini, hanya Senegal yang masih punya peluang besar untuk lolos ke babak 16 besar.
Mesir yang sempat digadang-gadang bisa melangkah jauh dengan kebintangan Mohamed Salah, malah jadi tim pertama yang tersingkir. Maroko juga menyusul out setelah kalah 0-1 dari Iran (15/6) dan kalah 0-1 dari Portugal, Rabu (20/6) tadi malam.
Sementara Nigeria dan Tunisia akan "meregang nyawa" di laga kedua usai kalah di pertandingan pertama. Nigeria akan menghadapi Islandia di laga kedua Grup D, Jumat (22/6) dan Tunisia bertemu Belgia di Grup G, Sabtu (23/6). Bila kembali kalah, keduanya akan menyusul Mesir dan Maroko. Bila begitu, Afrika tinggal berharap pada Senegal.
Ya, Senegal yang sejatinya merupakan "newbie" alias anak baru di Piala Dunia bila dibandingkan dengan keempat wakil Afrika lainnya, mampu meraih hasil bagus di pertandingan pertama di Piala Dunia 2018. Sadio Mane dan kawan-kawan menang 2-1 atas Polandia di laga pertama Grup H, Selasa (19/6).
"Senegal mewakili seluruh benua Afrika. Kami memakai jersey Senegal tetapi seluruh Afrika mendukung kami. Setelah kemenangan atas Polandia, saya mendapat banyak ucapan selamat dari mereka yang bangga dengan kami. Dan, kami bangga bisa mewakili Afrika," ujar Aliou Cisse, pelatih tim Senegal dikutip dari independent.co.uk.
Senegal memang masih newbie. Piala Dunia 2018 merupakan partisipasi kedua bagi negara yang merdeka dari Prancis ini. Bandingkan dengan Mesir yang sudah tiga kali tampil, lalu Maroko dan Tunisia sudah lima kali. Nigeria bahkan sudah enam kali tampil di Piala Dunia.
Namun, lewat permainan yang rapi, kalem tanpa marah-marah dan mengusung spirit tinggi khas Afrika, Senegal yang awalnya tidak dipandang, kini mampu memaksa banyak orang untuk melihat mereka. Ya, meski tidak difavoritkan karena berada satu grup dengan dua tim yang lebih punya "jam terbang" di Piala Dunia, Polandia dan Kolombia, tetapi Senegal mampu tampil mengejutkan. Senegal kini layak dianggap sebagai salah satu tim "kuda hitam" di Piala Dunia 2018.
Senegal bisa mengulang "cerita dongeng" di Piala Dunia 2002 Â
Dan, bicara tim kuda hitam, Senegal pernah sangat sukses memainkan peran itu di partisipasi pertama mereka di Piala Dunia pada 16 tahun silam. Ya, di Piala Dunia 2002 yang untuk kali pertama digelar di Asia (Jepang dan Korea Selatan), Senegal berhasil membuat plot cerita ala dongeng. Mereka membuat kejutan hebat dengan mengalahkan juara bertahan Prancis di pertandingan pembukaan. Senegal bahkan lolos hingga perempat final sebelum dihentikan Turki.
Mungkinkah Senegal akan mengulang cerita hebat 16 tahun silam di Rusia?
Aliou Cisse, enggan jumawa. Pelatih termuda di Piala Dunia 2018 yang menjadi kapten tim Senegal di Piala Dunia 2002 ini lebih memilih membumi. Dia berharap tim asuhannya bisa terus berproses menjadi lebih matang dari pertandingan ke pertandingan berikutnya. "Terlalu cepat membandingkan tim ini dengan tim di Piala Dunia 2002) lalu," ujarnya.
Dia juga tidak mau membandingkan kemenangan Polandia seperti halnya kemenangan atas Prancis 16 tahun lalu. Sebab, Senegal dan Prancis disebutnya punya kedekatan sejarah. Prancis pernah menjajah Senegal. Karenanya, begitu mendapat kesempatan bertemu Prancis, 'meledak' lah semangat pemain-pemain Senegal. "Itu bukan hal yang sama, rasanya berbeada. Namun, yang terpenting adalah kami meraih tiga poin," ujarnya. Â Â
Mayoritas pemain Senegal bermain di Liga top Eropa
Sebenarnya, apa yang membuat Senegal mampu tampil apik ketika bermain menghadapi Polandia? Apakah sekadar mengandalkan semangat? Tidak. Senegal tak hanya bermodal semangat. Tim ini punya kualitas. Mayoritas pemain Senegal bermain di Liga top Eropa.
Saat melawan Polandia, 11 pemain inti Senegal yang dimainkan Aliou Cisse, semuanya bermain di Liga top Eropa seperti di Premier League Inggris, Serie A Liga Italia, Ligue 1 Prancis hingga Bundesliga Jerman.
Dengan banyaknya pemain yang terbiasa bermain di liga top Eropa, Senegal punya keunggulan dalam hal mental tanding. Sadio Mane dan kawan-kawan sudah terbiasa menghadapi pemain-pemain top sehingga tidak tampil kikuk. Wajar saja bila bomber Polandia, Robert Lewandowski tak berkutik ketika menghadapi Senegal karena pergerakannya terus diawasi oleh Koulibaly yang terbiasa menghadapi penyerang-penyerang top.Â
Tidak sekadar kejutan, tetapi konsistensi
Namun, ini adalah Piala Dunia. Bila ingin melangkah jauh, apalagi bisa menjadi juara dunia, membuat kejutan di satu pertandingan saja tidaklah cukup. Sepanjang sejarah Piala Dunia, ada banyak tim yang berhasil membuat kejutan di awal-awal turnamen, tetapi kemudian terhenti. Mengapa? Karena mereka hanya 'meledak' di satu laga.
Aliou Cisse pastinya memahami itu. Bahwa yang terpenting di Piala Dunia bukan hanya kejutan yang berlangsung sekali. Namun, kejutan yang berkali-kali. Pendek kata, kalaulah kemenangan Senegal dianggap sebuah kejutan, mereka wajib konsisten untuk terus membuat kejutan.
"Memenangi pertandingan pertama berarti kami mengawali turnamen dengan benar. Namun, pertandingan kedua dan ketiga juga penting," ujar Cisse.
Ya, bila ingin mengulang "cerita dongeng" seperti di Piala Dunia 2002 atau bahkan lebih hebat lagi, konsistensi adalah syarat utama bagi Senegal. Sebab, di Piala Dunia yang setiap pertandingannya sarat makna, bila sekali saja mengalami bad day alias tampil buruk, hukuman bisa datang tanpa diduga.
Tanpa konsistensi untuk terus bermain rapi, kalem (tidak gampang emosional), spirit tinggi dan bermain mematikan demi meraih kemenangan, rasanya mimpi Senegal dan tim-tim Afrika untuk meraih trofi Piala Dunia, dari zamannya Roger Milla hingga Sadio Mane, rasanya hanya menjadi seperti ungkapan 'ntar lebaran monyet' yang tidak pernah kesampaian. Salam  Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI