Problem keseimbangan tim utamanya dalam menghadapi perubahan mendadak dari situasi menyerang ke bertahan inilah yang acapkali menjadi kelemahan City. Itupula yang menjadi penyebab hancur lebur nya City kala menghadapi Everton yang piawai mengandalkan serangan balik. Dan Pep menyadari itu. Karenanya, dia merasa menemukan “sambungan rantai yang hilang” kala melihat Gabriel Jesus bermain.
Jadi, lebih bagus mana, Gabriel Jesus atau Sergio Aguero?
Perihal pengalaman dan kualitas, tidak ada yang meragukan Aguero yang pernah jadi top skor Premier League 2014/15 dan membawa City juara Premie League dua kali. Dalam hal ini, Gabriel Jesus memang kalah dari seniornya itu.
Namun, bukankah pengalaman bisa dikejar seiring berjalannya waktu. Bukankah kualitas bisa raih dengan terus belajar mengoptimalkan potensi dan belajar dari kesalahan. Yang terpenting sejatinya adalah adanya semangat besar untuk mau bekerja keras. Semangat untuk mau belajar. Juga attitude yang benar. Dan semangat mau belajar juga perilaku yang bagus itulah yang ditunjukkan Gabriel Jesus.
Bagaimana jadinya bila Gabriel Jesus yang punya potensi bagus itu ternyata tidak punya perilaku bagus atau sekadar jadi ‘pemain salon’ di lapangan yang malas berlari dan enggan membantu tim kala bertahan? Rasanya akan sulit membuatnya untuk sekadar main sebagai starter.
Branding diri itulah yang dilihat oleh banyak orang. Karena memang, orang lain akan punya penilaian terhadap diri kita dari branding diri yang kita tampilkan. Ya, kita bisa belajar dari cara Gabriel Jesus membranding dirinya. Bahwa, kalah pengalaman bukanlah akhir cerita menuju sukses. Karena, kualitas dan pengalaman bisa dikejar, tetapi kebiasaan mau bekerja keras itu yang tidak dimiliki setiap orang. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H