Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menangkap Pesan "Who Moved My Cheese?"; Agar Bonus Demografi Menjadi Berkah

21 September 2016   17:26 Diperbarui: 21 September 2016   17:30 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bonus Demografi, bisa menjadi berkah/masnm.blogspot.co.id

Sekira 18 tahun lalu, Dr Spencer Johnson menggambarkan tentang pentingnya beradatapsi menghadapi perubahan yang ia gambarkan dengan sangat manis lewat buku “Who Moved My Cheese?”. Spencer menginspirasi banyak orang lewat penokohan dua tikus, Sniff dan Scurry. Serta Hem dan Haw, kurcaci sebesar tikus.

Who Moved My Cheese? adalah cerita tentang perubahan yang terjadi pada suatu tempat dengan lorong-lorong yang ruwet di mana empat karakter mencari keju. Keju ini merupakan metafora tentang apa yang kita inginkan dalam hidup. Setiap kita boleh punya bayangan tentang apa itu keju yang kita anggap patut didapat dan bisa membuat kita bahagia.

Oleh Spencer Johnson, keempatnya dirupakan sebagai representasi dari bagian sederhana dan kompleks diri kita. Sniff dan Scurry yang hanya berpikir sederhana dengan menggunakan metode trial and error dalam mencari keju. Lalu Hem yang meski diberi kelebihan dari tikus berupa akal pikiran, tetapi bersifat kaku dan Haw yang berpikir aman. Di akhir cerita, Sniff dan Scurry unggul dari Hem dan Haw. Bukan karena kepintaran mereka, tetapi karena mau menjalani situasi sulit hingga berhasil.

Sejak kemunculan pertama buku itu, ada banyak perubahan terjadi di negeri ini. Generasi yang lahir berbarengan dengan karya Dr Spencer ini pun telah memasuki usia produktif: 18 tahun. Bahkan, dalam beberapa tahun ke depan, jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) di Indonesia, terus bertambah. Periode inilah yang disebut dengan bonus demografi atau ledakan penduduk usia produktif. Malahan, pada periode tahun 2020-2030 mendatang, jumlah usia produktif diperkirakan akan mencapai angka 70 persen dibandingkan usia tidak produktif.

Pertanyaan nya, mereka yang masuk usia produktif itu apakah akan menjadi seperti Sniff dan Scurry yang mau menerima keadaan sulit dengan terus menjalaninya juga mau berubah menyesuaikan perubahan di sekitarnya hingga berhasil. Ataukah menjadi seperti Him dan Hew yang sebenarnya cerdas tetapi terpaku pada kesuksesan masa lalu  tanpa menyadari bahwa itu semua telah berubah.

Bila ada banyak generasi usia produktif seperti Sniff dan Scurry yang mau berproses menjadi berhasil dengan bekerja keras dan menjalani perubahan terlebih dulu, bonus demografi rasanya akan menjadi berkah. Sebaliknya, bila kebanyakan generasi produktif merupakan “jelmaan” Him dan Hew yang berpikir kecerdasan akademisi adalah segalanya sehingga enggan melakukan tindakan inovatif sesuai perubahan zaman, bonus demografi akan menjadi ‘bencana’. Seperti ucapan Thomas Alfa Edison, bahwa seorang yang jenius itu 99 persen karena kerja keras dan hanya satu (1) persen bakat.

Untuk menjadikan bonus demografi itu bisa menjadi sebuah berkah, tidak bisa dengan sekadar berharap. Tetapi harus ada langkah nyata sedari sekarang. Langkah nyata yang dilakukan oleh semua pihak. Dari mulai keluarga, pihak sekolah dan pemerintah.  

Dorong Edukasi Berbasis Skill, Bukan Nilai

Pada kenyataannya, ada yang salah dalam pola pikir (mind set) di kebanyakan masyarakat kita. Utamanya, perihal penyebutan anak-anak cerdas. Ada banyak orang tua yang masih menganggap kecerdasan hanyalah tentang nilai akademisi. Tentang nilai ulangan, nilai rapor ataupun nilai ujian nasional. Sehingga, bila anaknya mendapat nilai tidak bagus di rapor ataupun ujian akhir, banyak orang tua merasa malu dan menganggap anaknya tidak pandai.

Celakanya, karena stigma umum tersebut, anak-anak kemudian akan berpikir yang penting mendapat nilai bagus, bagaimanapun caranya. Bahkan, beberapa pendidik karena alasan gengsi bila sekolah nya mendapat nilai buruk ketika ujian nasional, lantas menghalalkan segala cara.

Kita tentu masih ingat kejadian memalukan “contek massal” yang pernah terjadi di Surabaya beberapa tahun lalu. Bahwa agar anak-anak di sekolah tersebut mendapat nilai bagus pada ujian akhir demi citra sekolah, mereka lantas diberi peluang untuk mencontek bersama-sama. Atau juga kejadian di Lamongan dua tahun lalu ketika polisi berhasil menangkap jaringan pembocor jawaban ujian nasional tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Itu terjadi nyata.

Seharusnya, anak-anak diberi peluang untuk menemukan bakatnya. Bahwa pendidikan bukan hanya orientasi nilai. Sebab, tidak setiap anak diberkahi kecerdasan akademisi. Tetapi, setiap anak punya skill berbeda. Pengajar punya kewajiban untuk memantau, memberi tahu, lantas mengarahkan anak didiknya untuk memaksimalkan skill dan potensi mereka. Seperti kata Albert Einstein, "everybody is genius. But if you judge a fish by its ability to climb a tree, it will leave its whole life believing that is is stupid".  

Saya tidak menutup mata, sudah ada banyak pendidik dan sekolah yang telah mampu menerjemahkan ucapan Einstein tersebut. Bahwa mereka telah melakukan pendekatan benar dengan mendorong anak didiknya untuk berproses menjadi berhasil dengan memaksimalkan kelebihan/skill yang mereka miliki. Pendekatan seperti inilah yang seharusnya dikedepankan dalam dunia pendidikan kita.

Dimulai dari Keluarga

Sebagai ayah, saya seringkali direngeki dua anak saya ketika mereka tidak mampu melakukan apa yang mereka ingin lakukan. Semisal anak kedua saya, Gaizan Ahza (3,5 tahun) ketika mendapati kesulitan dalam merangkai mainan puzzle nya. Dia merengek yang secara tidak langsung berharap agar saya membantunya. Bila sudah seperti itu, saya hanya menasihatinya. Bahwa dia hanya perlu mencobanya lagi. Lantas, saya memotivasinya untuk kembali mengulang pekerjaan yang dirasanya sulit tersebut.

Saya sengaja untuk tidak membantunya. Sebab, bila membantu, saya berarti telah mematikan daya kreativitasnya. Dia tidak akan mencoba berupaya lebih keras karena terbiasa meminta bantuan dan cukup dengan merengek maka bantuan datang.

Kisah pengalaman anak saya itu mungkin terdengar sepele. Tetapi bagi saya, itu bukan hal yang remeh temeh. Justru, itu sangat penting dalam membentuk karakternya. Dalam hal mendidik anak, saya dan istri sepakat untuk mengedepankan proses belajar. Bukan sekadar tentang dia menjadi bisa/pintar atau tidak. Tetapi agar dia menjadi bisa dan pintar karena berproses/mencoba. Bukan bisa karena jalan pintas berupa bantuan.

Menurut saya, nilai-nilai pengajaran karakter yang berbasis pada “berproses berhasil” ini perlu untuk ditanamkan secara dini kepada anak-anak. Tak hanya tentang kecerdasan intelektual, juga kecerdasan emosional dan spiritual. Juga tentang integritas, etos kerja, dan gotong royong. Ketika ruang otak mereka masih mudah untuk mengingat ucapan, perbuatan dan pengajaran yang disampaikan, itu akan tertancap kuat dalam ingatan mereka dan berwujud dalam karakter mereka.

Harapannya, ketika usia mereka produktif, mereka sudah menjadi manusia unggul.  Mereka akan punya karakter seperti Sniff dan Scurry yang mau berproses menjadi berhasil dengan bekerja keras dan menjalani perubahan terlebih dulu. Mereka tidak akan mudah menyerah menghadapi persaingan.  

Peran Pemerintah: “Membangun Manusia” Tak Hanya Membangun Infrastruktur

Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Surya Chandra Surapaty dalam seminar nasional Investasi pada Remaja Perempuan Pendewasaan Usia Perkawinan Pendidikan Seksual dan Kesehatan Reproduksi Remaja di Jakarta pada 22 Agustus silam mengatakan, dalam menghadapi bonus demografi tersebut, pemerintah telah melakukan program KKBPK (Kependudukan Keluarga Berencana Pembangunan Keluarga) yang berfokus pada kualitas dan kuantitas penduduk yang harus dikendalikan serta mobilitas penduduk yang harus diarahkan.

Bahwa kuantitas penduduk harus direncanakan. Dan kualitas penduduk harus dibangun. Ya, pemerintah dari tingkat pusat hingga daerah, perlu menomorsatukan pembangunan manusia ketimbang pembangunan infrastruktur.  

Membangun manusia untuk menjadi generasi unggul itulah yang saya lihat telah dilakukan dengan baik di Surabaya. Di Surabaya, pemerintah kota nya tak hanya membangun taman-taman kota ataupun jalan-jalan dan pedestrian baru. Sejak dua tahun lalu, menghadapi era masyarakat Ekonomi Asean (MEA), Pemerintah Kota Surabaya memberikan banyak akses agar warga usia produktif, “siap tarung” di era MEA. Agar warga Surabaya bisa menjadi tuan dan nyonya di kotanya. Bukan menjadi babu.

Akses tersebut dirupakan dalam bentuk membangun Rumah Bahasa yang memberikan kemudahan bagi warga untuk belajar bahasa asing secara gratis. Pemkot bekerja sama dengan pihak swasta juga membangun Broadband Learning Center di beberapa taman kota dan taman baca. Tujuannya, aak-anak muda dan ibu-ibu muda bisa melek internet. Selain dimanfaatkan anak-anak untuk mencari bahan tugas sekolah, ibu-ibu juga memaksimalkan keberadaan fasilitas tersebut untuk berjualan produk Usaha Kecil Menengah (UKM) secara online.

Pemerintah kota juga mendukung terselenggaranya acara untuk anak muda. Tahun 2014 lalu, ada event Surabaya Youth Carnival (SYC). Event kepemudaan independen ini mengusung tema industri kreatif dengan membawa lima elemen industri kreatif, yakni musik, kuliner, crafting, design dan film. Melalui SYC 2014, ada banyak anak muda diharapkan terinspirasi untuk menjadi penggiat industri kreatif.

Tahun 2015 lalu, Pemkot Surabaya juga memberikan kemudahan anak-anak muda untuk berkembang melalui program Start Surabaya. Ada banyak pakar berpengalaman di bidang industri kreatif yang didatangkan untuk “menjadi guru” bagi anak-anak muda di Surabaya. Harapannya, anak-anak muda itu tidak hanya berorietasi untuk mencari pekerjaan dengan gaji tinggi. Tetapi bagaimana menciptakan lapangan pekerjaan dengan skill yang mereka miliki. Anak muda Surabaya diajak berpikir tidak hanya kreatif, tetapi sekaligus memberi manfaat bagi sesama.

Semoga bonus demografi bener-benar akan menjadi berkah. Ketika penduduk usia produktif menjadi generasi unggul yang memiliki kualitas dan kompetensi serta menjadi manusia seutuhnya. Tentunya itu hanya akan terjadi dengan keterlibatan dari semua pihak. Mulai dari keluarga, pihak pendidik dan juga pemerintah. Seperti kisah Sniff dan Scurry di Who Moved My Cheese?. Salam.

Twitter: https://twitter.com/HadiSantoso08

Facebook: https://www.facebook.com/hadi.santoso8

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun