Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merevolusi Mental Keluarga, Membentuk Remaja Ber-Kesehatan Reproduksi dan Bermental Kuat

22 Juli 2016   11:33 Diperbarui: 22 Juli 2016   11:36 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu, ketika bersekolah dasar di akhir tahun 80-an, generasi era saya adalah generasi penghafal Pancasila. Tak hanya kelima sila nya. Bahkan, 36 butir pengamalan Pancasila yang tertuang dalam setiap sila nya, saya dan kawan-kawan bisa menghafalnya. Meski, tak semua butir itu, kami tahu apa maksudnya. Semisal apa makna dari mengembangkan sikap tenggang rasa, atau mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan gotong-royong. 

Tetapi, oleh orang tua, nilai-nilai mulia dalam 36 butir Pancasila yang tidak semua nya saya pahami itu, disampaikan sebagai wejangan (pesan) sehingga mampu mewarnai perilaku kami dalam hidup bermasyarakat.

Saya diwejangi untuk menghormati teman lawan jenis, hidup sederhana, berbicara sopan terhadap yang lebih tua, tidak semena-mena, tidak boleh mengambil buah yang berbuah di pohon milik tetangga, juga diajak ke ladang untuk membantu memanen hasil tani. Bagi saya, itu adalah penerjemahan dari butir-butir Pancasila. Belakangan, saya jadi tahu, apa yang dilakukan orang tua itulah yang dinamakan pendidikan karakter.

Lalu, setelah hampir 30 tahun berlalu sejak era SD itu, masihkah keluarga di Indonesia mengamalkan nilai-nilai dalam butir-butir Pancasila itu sehingga memberi pengaruh dalam bersikap bagi anak-anak sekolah dan para remaja di era kekinian ?

Potret Buram Mental dan Kesehatan Reproduksi Remaja Era Kini

Berita di media massa tentang banyaknya anak di bawah umur yang jadi korban pencabulan dan pemerkosaan (oleh remaja di bawah umur yang terpengaruh minuman keras), juga remaja gadis yang melakukan aborsi karena hamil di luar nikah akibat pergaulan bebas, menjadi jawaban betapa nilai-nilai luhur Pancasila dan juga keluarga yang “hari lahirnya” sama-sama diperingati tiap tanggal 1 Juni, kini sudah terlupakan.  

Berita tentang Yuyun, gadis 14 tahun korban pemerkosaan dan pembunuhan oleh 12 pemuda di Bengkulu, lalu pengusaha di Kediri mencabuli terhadap 58 anak di bawah umur, juga gadis 18 tahun bernama Enno Parihah yang jadi korban pemerkosaan dan pembunuhan di Tangerang, menjadi gambaran potret buram tentang tidak sehatnya mental dan juga kesehatan reproduksi remaja masa kini.

Mungkin, bagi kita yang hidup di tengah komunitas masyarakat yang baik-baik saja, menganggap berita-berita efek pergaulan bebas dan kejahatan seksual itu terlalu dibesar-besarkan media. Masak iya, masalah mental dan kesehatan reproduksi remaja sudah sedemikian parah seperti itu. Karena, sehari-hari kita mungkin tidak menemukan hal-hal seperti itu di lingkungan tempat tinggal kita.

Namun, tidak pernah menemukan adanya kasus-kasus kejahatan seksual di sekitar tempat tinggal kita, bukan berarti kita bisa merasa aman dan menganggap hal-hal begituan masih jauh dari anak-anak kita. Justru, yang perlu kita lakukan adalah menciptakan sikap waspada bahwa fenomena mengerikan itu sudah sangat dekat dan tengah mengintai juga mengancam anak-anak kita.

Keluarga Bermasalah, Picu Kekerasan Anak dan Kejahatan Seks

Sikap waspada perlu dimunculkan. Sebab, banyak yang mungkin tidak sadar, sejatinya kita telah menjadi bagian dari maraknya kekerasan terhadap anak dan masalah seksual pada anak yang terjadi belakangan ini. Bahwa, kejadian yang dipicu karena labilnya mental remaja yang berujung pada masalah kekerasan anak dan kejahatan seks, justru berawal dari keluarga.

Ya, keluarga ternyata jadi penyebab kenakalan remaja yang bermula dari kejiwaan tidak stabil. Tentunya tidak semua keluarga. Tetapi keluarga yang tidak lagi menjadi keluarga sebenarnya. Keluarga yang bermasalah atau biasa disebut “keluarga berantakan”.

Istilah “keluarga berantakan” acapkali dipakai untuk menggambarkan keluarga tidak harmonis akibat konflik orang tuanya. Orang tua tidak lagi perhatian pada anak-anaknya. Dan itu berdampak pada perkembangan anak. Mereka bosan di rumah dan lebih senang berkumpul dengan teman-temannya. Tak hanya membaur bebas dengan teman lawan jenis, mereka juga tergoda mencoba hal-hal baru yang cenderung negatif sebagai pelampiasan atas tekanan mental yang mereka alami di rumah. Inilah awal penyebab terjadinya kenakalan remaja juga perilaku menyimpang dalam reproduksi.

Lalu, sebagai orang tua yang khawatir terhadap anak-anak nya, apa yang harus dilakukan? Yang paling mungkin dilakukan adalah melihat kembali bagaimana “wajah” keluarga masing-masing. Intropeksi. Bila ternyata keluarga kita masih menjadi “rumah panas” bagi anak-anak, belum terlambat untuk mengubahnya.

Merevolusi Mental Keluarga dengan Delapan Fungsi Keluarga

Potret keluarga bermasalah itulah yang membuat negara ikut turun tangan. Sejak dua tahun lalu, pemerintah menggaungkan tentang pentingnya menanamkan revolusi mental dalam keluarga. Dan, merevolusi mental keluarga agar menjadi “rumah menyenangkan” bagi anak-anak, tidaklah seperti berjalan di lorong gelap yang membuat kita bisa salah arah. Tetapi, ada panduannya untuk membangun keluarga yang harmonis. Yakni dengan melaksanakan delapan (8) fungsi keluarga yang dalam setiap fungsinya, terdapat nilai-nilai moral.

1. Fungsi Agama

Keluarga adalah tempat seorang anak mengenal agama. Keluarga juga menanamkan dan menumbuhkan nilai-nilai agama sehingga anak jadi manusia berakhlak dan bertaqwa. Beberapa nilai mulia dalam fungsi agama ini seperti iman, kejujuran, tenggang rasa, kesahlehan dan ketaatan, sabar dan ikhlas juga kasih sayang.

2. Fungsi Sosial Budaya

Keluarga sebagai bagian dari masyarakat diharapkan mampu mempertahankan dan mengembangkan sosial budaya setempat Dalam fungsi sosial budaya terdapat beberapa nilai dasar. Seperti gotong royong, sopan santun, kerukunan, peduli dan kebersamaan.

3. Fungsi Cinta dan Kasih Sayang

Mendapatkan cinta kasih adalah hak anak dan kewajiban orang tua untuk memenuhinya. Dengan kasih sayang orang tuanya, anak belajar bukan hanya menyayangi tapi juga belajar menghargai orang lain. Beberapa nilai dasar dalam fungsi cinta dan kasih sayang ini diantaranya empati, akrab, pemaaf, suka menolong dan pengorbanan.

4. Fungsi Perlindungan

Keluarga mempunyai fungsi sebagai tempat berlindung bagi anggota keluarga. Keluarga harus memberikan rasa aman, tenang dan tenteram bagi anggota keluarga. Beberapa nilai dasar dalam fungsi ini diantaranya aman, pemaaf, tanggap, tabah dan peduli.

5. Fungsi Reproduksi

Penerapan pemenuhan hak reproduksi bagi remaja antara lain pemberian informasi mengenai pentingnya fungsi reproduksi bagi remaja. Beberapa nilai dasar yang harus dipahami dalam fungsi reproduksi diantaranya tanggung jawab (mengetahui apa yang menjadi tanggung jawabnya), sehat (secara fisik, fungsi dan sistem reproduksi serta rohani) dan teguh (mampu menjaga kesucian organ reproduksi nya sebelum menikah).  

6. Fungsi Sosialisasi dan Pendidikan

Keluarga berfungsi sebagai sekolah dan guru yang pertama dan utama dalam mengantarkan anak-anaknya menjadi panutan masyarakat  dan dirinya sendiri. Nilai moral yang bsai diajarkan kepada anak, diantaranya bertanggung jawab dan kerja sama.

7. Fungsi Ekonomi

Keluarga menyiapkan anak untuk menjadi unit yang mandiri dan sanggup meningkatkan kesejahteraan lahir dan batinnya dengan penuh kemandirian. Nilai moral yang bisa diajarkan kepada anak yakni hemat dan ketelitian.

8. Fungsi Lingkungan

Keluarga siap dan sanggup untuk memelihara kelestarian lingkungan untuk memberikan yang terbaik kepada anak cucunya dimasa mendatang. Nilai moral yang diajarkan yakni kebersihan dan disiplin

menanamkan fungsi keluarga/planninggeneration.blogspot
menanamkan fungsi keluarga/planninggeneration.blogspot
Masalahnya, tidak semua keluarga mau dan mampu menjalankan delapan fungsi keluarga itu. Banyak orang tua yang karena sibuk bekerja demi masa depan anak-anaknya, justru tidak mampu memberikan asupan perhatian yang cukup kepada anak-anaknya. Ada banyak keluarga. Tetapi sedikit saja yang benar-benar menjadi keluarga. Karenanya, perlu untuk menghadirkan kembali “ruh keluarga”.

Hadirkan Kembali “Ruh keluarga”

Menghadirkan “ruh keluarga” tentunya bukan dimaknai memunculkan kembali ruh dari anggota keluarga yang telah meninggal. Bukan begitu. Menghadirkan ruh keluarga adalah bagaimana memunculkan kembali karakter keluarga yang benar-benar memiliki esensi sebenarnya sebagai keluarga yang selaras Pancasila.

Karena memang, banyak keluarga telah kehilangan “ruh” nya, tergantikan oleh kemajuan teknologi bernama sosial media. Masing-masing anggota keluarga telah memiliki dunia nya sendiri. Sehingga, meski terlihat dekat dan duduk bersama, pikiran dan hati mereka sejatinya berjauhan.

Saya pernah menyaksikan “potret” keluarga yang kehilangan ruh keluarga itu ketika makan bareng dengan istri dan dua anak saya di rumah makan. Ada keluarga, orang tua dan dua anak nya, terlihat kompak ketika duduk bersama dan menunggu makanan yang dipesan. Namun, bukannnya ngobrol satu sama lain, mereka malah sibuk dengan gadget masing-masing. Suasana nya hening.

Ada pula keluarga yang tidak punya kesempatan makan bareng di restoran karena saking sibuknya mencari uang demi kebutuhan hidup sehari-hari. Kerasnya perjuangan hidup ternyata membuat hati mereka ikut keras. Sehingga, anak-anak mereka tumbuh dalam kondisi serba keras. Teriakan dan bahkan kekerasan fisik acapkali mereka terima. Tidak ada fungsi keluarga sebagai “sekolah”.

Bukankah dua potret keluarga seperti itu sangat dekat dengan kehidupan kita? Atau malah jangan-jangan kita sudah menjadi bagian dari potret keluarga yang kehilangan ruh keluarga itu.

Karenanya, mari mengembalikan “ruh keluarga” dengan membangun kembali kedekatan dan komunikasi dengan anak. Orang tua perlu memposisikan dirinya sebagai pendengar dari anak-anak. Bukan sebaliknya. Orang tua juga mesti lebih peduli pada anaknya. Dengan mau lebih mendengar dan peduli, orang tua jadi tahu permasalahan yang dihadapi anak-anaknya.

Keluarga Terbuka, Mental Remaja Kuat dan Kesehatan Reproduksi Berkualitas

Urusan ini sebenarnya tidak sulit. Bila kita sebelumnya ketika pulang kerja, karena capek lantas langsung berisitirahat, mulailah meluangkan beberapa menit untuk mengobrol dengan anak. Menanyakan aktivitas mereka di sekolah, bagaimana guru dan teman-temannya. Termasuk menanyakan kehidupan pribadi mereka. Semisal bila mereka sudah memiliki teman dekat (pacar).

Ketika orang tua sering ngobrol dengan anak dan mau mendengar, anak-anak juga akan jadi lebih terbuka. Mereka jadi tidak takut bertanya kepada orang tua nya tentang segala hal. Sehingga ketika menghadapi permasalahan seperti putus pacaran, putus asa, atau ada teman yang ‘tidak benar’ di sekolahnya, serta penasaran terhadap hal-hal baru seperti soal seks, mereka akan mau membicarakannya dengan orang tua nya.

Keluarga hebat, mental remaja kuat dan kesehtaan reproduksi berkualitas/BKKBN
Keluarga hebat, mental remaja kuat dan kesehtaan reproduksi berkualitas/BKKBN
Dari situ, orang tua bisa memberikan motivasi sehingga anak tidak merasa sendirian menghadapi masalahnya. Dari situ, orang tua bisa memberikan informasi yang benar perihal pacaran hingga kesehatan seksual. Keterbukaan dalam keluarga inilah yang bisa menjadi pondasi terbentuknya mental remaja yang kuat. Keterbukaan dalam keluarga ini yang bisa meningkatkan kualitas kesehatan reproduksi remaja.

Sebab, ketika anak terbiasa mendapatkan pengetahuan yang benar serta motivasi dan penguatan mental dari orang tua nya, mereka tidak akan jadi anak bermental rapuh. Ketika mendapat masalah, mereka bisa tegar dan akan mengobrol dengan orang tua nya yang mereka percaya bisa memberikan solusi. Bukannya lari pada orang yang salah sehingga malah bertindak salah.  

Perhatian Pemerintah

Tentu saja, upaya membentuk remaja bermental sehat dan memiliki kesehatan reproduksi berkualitas, bukan hanya tugas keluarga. Tapi juga pemerintah. Dan kabar bagusnya, pemerintah memahami bahwa akar persoalan ini ada pada keluarga. Karenanya, pemerintah punya banyak program untuk mengembalikan ruh keluarga dan merekatkan kembali nilai-nilai keluarga yang hilang.

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebagai lembaga negara yang menaungi bidang kesehatan reproduksi, telah membuat program edukasi dini terutama wawasan terkait seks di kalangan remaja. Ada juga Gerakan Nasional Anti Kekerasan Seksual terhadap Anak (GN-Aksa) untuk mengatasi berbagai permasalahan kekerasan terhadap anak. Bahkan, ada Instruksi Presiden (Inpres) yang diharapkan akan mendorong para aparat penegak hukum agar lebih bernyali dalam memberantas kejahatan seksual terhadap anak sesuai dengan fungsi dan kewenangannya.

BKKBN punya kepedulian dalam mendorong keluarga Indonesia merevolusi mental melalui 8 Fungsi keluarga/kompasiana
BKKBN punya kepedulian dalam mendorong keluarga Indonesia merevolusi mental melalui 8 Fungsi keluarga/kompasiana
Lalu, pada peringatan kegiatan Hari Keluarga Nasional 2016, BKKBN me-launching Konferensi Keluarga Indonesia (KKI) dengan harapan keluarga di Indonesia dapat mulai menanamkan karakter pada anggota keluarganya agar memiliki nilai-nilai revolusi mental, yaitu integritas, beretos kerja dan gotong royong. Sehingga, setiap individu lebih mengenal karakternya agar berbagai tindakan yang tak diinginkan seperti pemerkosaan, seks sebelum menikah, pernikahan dini dan narkoba, bisa dihindari.

“KKI ini dapat dijadikan momentum kebangkitan keluarga sebagai lembaga pertama dan utama dalam melakukan revolusi mental berbasis keluarga berlandaskan Pancasila”. Begitu kata Kepala BKKBN Surya Chandra Surapary seperti termuat dalam websiten BKKBN (http://www.bkkbn.go.id/ pada 4 Juni lalu).

Semua program yang digalakkan pemerintah itu mengerucut pada satu hal, yakni penguatan nilai-nilai keluarga. Bahwa, tiap keluarga harus memiliki ruh sebagai keluarga. Ketika setiap keluarga telah merevolusi mental menjadi keluarga harmonis dengan “hiasan” kasih sayang, peduli, saling menghormati, bertanggung jawab yang selaras dengan Pancasila, maka akan muncul generasi anak muda yang memiliki kesehatan reproduksi berkualitas dan juga sehat mentalnya. Salam. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun