Globalisasi tak hanya menuntut peningkatan peran sektor swasta, tetapi juga menuntut sektor publik untuk memperbaiki kinerjanya dalam rangka melayani kebutuhan pasar global. Hal ini telah berlangsung di Thailand, Singapura, Malaysia, dan Filipina. Di Singapura, misalnya, munculnya pasar global ditanggapi pemerintah dengan meningkatkan kompetensi civil service agar mereka mampu menjawab tantangan zaman dan lebih kompetitif di dunia internasional. Birokrasi di Malaysia lebih diorientasikan ke bisnis untuk menggantikan peran aktif birokrasi dalam pembangunan dan meredefinisi perannya sebagai fasilitator dalam aktivitas sektor swasta. Dalam kasus di Thailand, munculnya peran birokrasi publik adalah untuk memfasilitasi kebijakan pro-pasar seperti privatisasi dan berbagai aktivitas yang berkaitan dengan sektor swasta seperti business licensing, perdagangan internasional, dan pengawasan fiskal (Muskamal, 2014).
Perubahan birokrasi di Thailand belakangan ini juga lebih menempatkan dirinya sebagai katalisator untuk memfasilitasi aktivitas ekonomi yang civil service-nya berperan sebagai pendukung dan bukannya pemimpin. Hal yang sama juga dilakukan di Filipina. Hal ini dengan jelas menunjukkan bahwa perubahan birokrasi itu menekankan perlunya keterbukaan struktural untuk memungkinkan terjadinya pertukaran gagasan dan perubahan inovasi. Meski demikian, tidak semua negara berhasil melakukan perubahan birokrasi. Singapura dan Malaysia tergolong cukup efektif mewujudkan beberapa reformasi administrasi, antara lain karena stabilitas politik dan kerja sama yang baik antara birokrasi dan pemimpin politik. Sementara itu, Indonesia, Thailand, dan Filipina kurang efektif dalam mewujudkan perubahan administrasi karena dominannya aparat birokrasi dan adanya konflik atau kolusi antara birokrasi dan elite politik.
Berkenaan dengan orientasi baru birokrasi yang lebih melihat ke pasar, kelak diharapkan keputusan didasarkan pada analisis Iogis dan melihat secara jeli implikasi dari kebijakan pro-pasar untuk legitimasi birokrasi publik, moralitas, dan motivasi pegawai negeri, serta mempertimbangkan manfaat dan kerugiannya bagi penduduk. Untuk itu, pembuat kebijakan perlu mempertimbangkan perbedaan mendasar antara sektor publik dan sektor swasta dalam hal tujuan, struktur, norma-norma, meneliti secara kritis pelaksanaan ekonomi, sosial, dan keuntungan serta kerugian administrasi dalam transisi birokrasi, mengidentifikasi siapa saja yang diuntungkan dan siapa yang tidak diuntungkan dari perubahan birokrasi.
Pola birokrasi yang cenderung sentralisitik, dan kurang peka terhadap perkembangan ekonomi, sosial dan politik masyarakat harus ditinggalkan, dan diarahkan seiring dengan tuntutan masyarakat. Harus diciptakan birokrasi yang terbuka, profesional dan akuntabel, serta dapat memicu pemberdayaan masyarakat, dan mengutamakan pelayanan kepada masyarakat tanpa diskriminasi. Birokrasi demikian dapat terwujud apabila terbentuk suatu sistem di mana terjadi mekanisme birokrasi yang efisien dan efektif dengan menjaga sinergi yang konstruktif di antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat (Muskamal, 2014).
Dengan makin besarnya peran yang dijalankan oleh masyarakat, maka seharusnya peran birokrasi lebih cenderung sebagai agen pembaharuan, pelayanan dan pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu, fungsi pengaturan dan pengendalian yang dilakukan oleh Negara adalah perumusan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang berfungsi sebagai motivator dan fasilitator guna tercapainya swakarsa dan swadaya masyarakat termasuk dunia usaha. Peran lain yang seharusnya dijalankan oleh birokrasi adalah sebagai consensus building, yaitu membangun pemufakatan antara negara, sektor swasta dan masyarakat (Muskamal, 2014).
Peran ini harus dijalankan oleh birokrasi mengingat fungsinya sebagai agen pembaharuan dan faslitator. Sebagai agen perubahan, birokrasi harus mengambil inisiatif dan memelopori suatu kebijakan atau tindakan. Sedangkan sebagai fasilitator, birokrasi harus dapat memfasilitasi kepentingan-kepentingan yang muncul dari masyarakat, sektor swasta maupun kepentingan negara. Selain itu, pemisahan peran yang melekat pada aparatur pemerintah menjadi suatu keharusan. Aparatur pemerintah adalah pelayan publik yang harus melayani masyarakat apapun latar belakangnya. Perbedaan ideologi maupun pilihan politik tidak boleh menghalangi birokrasi dalam mengemban perannya sebagai pelayan masyarakat. Dalam rangka optimalisasi peran birokrasi tersebut, maka kebijaksanaan debirokratisasi, deregulasi, dan desentralisasi perlu dilanjutkan dan dikawal pelaksanaannya, serta peningkatan pelayanan kepada masyarakat harus terus menerus ditingkatkan dan diusahakan (Muskamal, 2014).
Oleh karenanya, menurut Muskamal, reformasi birokrasi menjadi suatu keharusan, mengingat implikasinya yang begitu luas bagi masyarakat dan negara. Perlu usaha-usaha serius agar pembaharuan birokrasi menjadi lancar dan berkelanjutan.
Reformasi birokrasi merupakan pekerjaan besar karena menyangkut sistem besar negara yang telah mengalami tradisi buruk selama kurun waktu yang cukup lama. Untuk dapat memutus tradisi lama dan menciptakan tatanan dan tradisi baru, perlu kepemimpinan yang kuat dan yang patut diteladani. Kepemimpinan yang kuat berarti hadirnya pemimpin-pemimpin yang berani dan tegas dalam membuat keputusan. Sedangkan keteladanan adalah keberanian dalam memberikan contoh kepada bawahan dan masyarakat.
Reformasi birokrasi diharapkan dapat berdampak langsung pada masyarakat, karena peran birokrasi yang utama adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pada tataran ini masyarakat dapat dilibatkan untuk mengawasi kinerja birokrasi. Patut rnenjadi perhatian semua pihak bahwa birokrasi merupakan kekuatan yang besar sekali, dimana kegiatannya menyentuh hampir setiap kehidupan warga negara. Maka kebijakan yang dibuat oleh birokrasi sangat mempengaruhi sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dikarenakan warga yang hidup dalam suatu negara terpaksa menerima kebijaksanaan yang telah dibuat oleh birokrasi. Selain itu, memang birokrasi merupakan garis terdepan yang berhubungan dengan pemberian pelayanan umum kepada masyarakat (Muskamal, 2014).
Dengan ungkapan yang lain, reformasi birokrasi yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah reformasi yang dapat memberikan solusi secara menyeluruh dan terintegrasi terhadap semua persoalan yang dihadapi birokrasi Indonesia yang cenderung semakin kompleks, seperti praktik korupsi yang semakin meluas, struktur birokrasi yang rigid, kompleks, dan terfragmentasi, budaya kekuasaan yang berlebihan, politisasi birokrasi yang semakin meluas, kualitas aparatur yang buruk, serta kualitas pelayanan yang buruk. Sehingga kebijakan reformasi yang hanya mengandalkan pada perbaikan remunerasi, pembobotan jabatan, dan penataan organisasi, tentu tidak memadai untuk menjawab masalah birokrasi pemerintah di Indonesia, karena Indonesia membutuhkan kebijakan reformasi birokrasi yang visioner, holistik, dan koheren, dan bukannya kebijakan reformasi birokrasi yang tambal sulam, berdurasi pendek, dan tidak partisipatif (Dwiyanto, 2015: 105).
Menurut Agus Dwiyanto, apa yang termuat dalam Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025, perlu untuk ditinjau kembali secara menyeluruh. Visi, sasaran, area perubahan, dan strategi implementasi dari kebijakan reformasi birokrasi tersebut perlu didiskusikan secara terbuka dengan para pemangku kepentingan. Selama ini kepemilikan publik terhadap kebijakan reformasi birokrasi sangat rendah, karena mereka tidak dilibatkan, dan kepentingan publik tidak menjadi arus utama dalam reformasi birokrasi, berhubung reformasi birokrasi tampaknya masih terbatas pada persoalan internal birokrasi, masih cenderung sebagai proyek pemerintah, dan belum menjadi gerakan sosial (Dwiyanto, 2015: 106).
4. Metode (Methods)
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan dimensi studi kasus dan paradigma naturalistik, dengan antara lain menggunakan teori Reinventing Government dari Osborne dan Gaebler (1992) maupun teori Banishing Bureaucracy dari Osborne dan Plastrik (1997). Penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2015, dengan melakukan wawancara mendalam, observasi, dan penggunaan data sekunder, untuk mengungkap kasus pelaksanaan road map reformasi birokrasi di Sekretariat Jenderal MPR-RI pada periode 2010-2014.