Bahkan tidak hanya itu, Woodrow Wilson pada tahun 1887 dalam The Study of Administration telah mengemukakan konsep dikotomi politik dan administrasi untuk menciptakan pemerintahan yang efisien. Selain Wilson, ada Max Weber (1922) dengan teori The Ideal Type of Bureucracy, Luther Gullick (1937) dengan konsep POSDCORB, Frank J. Goodnow (1900) dengan konsepnya yang tertuang dalam makalahnya Politics and Administration, Frederick W. Taylor (1912) dengan konsepnya Scientific Management, Herbert A. Simon (1946) dengan konsepnya The Proverbs of Administration, dan masih banyak lagi yang ikut memberikan kontribusi konsep dan teori dalam optimalisasi pelayanan publik.
Sedangkan gagasan Reinventing Government yang dicetuskan oleh David Osborne dan Ted Gaebler (1992) adalah gagasan mutakhir yang mengkritisi dan memperbaiki konsep-konsep dan teori-teori klasik tersebut untuk optimalisasi pelayanan publik. Gagasan David Osborne dan Ted Gaebler tersebut tertuang dalam karyanya yang berjudul Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector yang dipublikasikan pada tahun 1992 dan buku karya David Osborne dan Peter Plastrik yang berjudul Banishing Bureaucracy: The Five Strategies for Reinventing Government, yang dipublikasikan pada tahun 1997.
Gagasan yang dikemukakan oleh David Osborne dan Ted Gaebler pada tahun 1992 tersebut sangat mempengaruhi mulai munculnya gerakan reformasi di dunia. Awalnya, gagasan Osborne dan Gaebler tersebut berkaitan dengan solusi atas fenomena birokrasi pemerintahan di Amerika Serikat yang dianggap sangat gemuk dan memberatkan anggaran negara. Ternyata pemikiran Osborne dan Gaebler tersebut telah mengilhami gerakan reformasi birokrasi di berbagai negara di dunia (Hamdi dan Khairi, 2014: 76).
Ide utama dari reformasi Osborne dan Gaebler ini adalah mengurangi peran negara terhadap hal-hal yang seharusnya dapat dilakukan oleh swasta serta memaksimalkan peluang yang ada untuk memperoleh penerimaan selain pajak. Konsekuensi dari pemikiran tersebut melahirkan perampingan birokrasi (Osborne dan Plastrik, 2004, dalam Hamdi dan Khairi, 2014: 76).
Rangkaian pemikiran tersebut menginspirasi timbulnya reformasi birokrasi baik melalui privatisasi, seperti yang dicanangkan Inggris semasa kepemimpinan Perdana Menteri Margaret Thatcher, maupun melalui penerapan praktik birokrasi pemerintah bergaya bisnis seperti di Amerika Serikat. Secara umum, prinsip-prinsip pelayanan publik dalam New Public Management (NPM) di era Margaret Thatcher meliputi restrukturisasi organisasi, reformasi penganggaran, manajemen yang berorientasi pada penerima pelayanan, aparatur pemerintahan yang profesional, demokratisasi, dan pelibatan partisipasi masyarakat (Denhardt & Denhardt, 2007, dalam Hamdi dan Khairi, 2014: 76).
Konsep pemerintahan entrepreneur Osborn dan Gaebler yang mencoba menemukan nilai-nilai baru (reinventing) di bidang pemerintahan ternyata mempunyai kekuatan dan sekaligus kelemahan. Kritik terhadap konsep pemerintahan entrepreneur adalah karena terlalu bias pada “new administrative values” yang lebih banyak menitik beratkan pada orientasi goal governance dengan meminggirkan nilai-nilai administrasi klasik yang sebenarnya masih potensial yang berbasis pada rule governance (Muskamal, 2014).
Gerald E. Caiden, seorang pakar reformasi administrasi dari University of Southern California, dalam buku karyanya yang berjudul Administrative Reform Comes of Age (1991), mengatakan bahwa reformasi sistem administrasi tidak pernah mencapai inti permasalahan, karena seringkali hanya sebatas formalitas semata. Reformasi yang dilakukan oleh pemerintah biasanya tidak cukup luas dan tidak mendalam. Bahkan, cukup banyak negara yang tidak memiliki perhatian terhadap reformasi birokrasi (Caiden, 1991, dalam Dwiyanto, 2015: 105).
Gerald E Caiden (dalam Nugroho, 2013) mengungkapkan, bahwa banyak negara berkembang yang hampir selalu gagal melakukan reformasi birokrasi karena tidak mempunyai faktor-faktor yang dimiliki negara maju, yang sukses melakukan reformasi birokrasi, yakni (1) sistem administrasi yang berjalan dengan baik dari generasi ke generasi, (2) masyarakat dan birokrasi sudah saling menyesuakan diri menjadi sebuah relasi produktif, (3) lembaga pemerintahan yang kuat, terutama karena warganegara menghormati lembaga pemerintahan, dan (4) mempunyai sumberdaya yang mencukupi untuk mendukung reformasi birokrasi, termasuk di dalamnya manusia, teknologi, dan anggaran (Nugroho, 2013: 2-3).
Dari sudut tinjauan yang lain, Komarudin (2014: 1) mengemukakan bahwa reformasi birokrasi merupakan perubahan signifikan secara mindset dan culture set atas elemen-elemen birokrasi, yaitu kelembagaan, sumberdaya manusia aparatur, ketatalaksanaan, akuntabilitas, pengawasan, dan pelayanan publik. Sementara Riant Nugroho merumuskan, bahwa secara umum reformasi birokrasi merupakan bagian dari strategi besar dalam ilmu perilaku organisasi yang lebih dikenal sebagai manajemen perubahan, dimana melaksanakan reformasi birokrasi sama dengan melakukan manajemen perubahan dalam birokrasi (Nugroho, 2013: 15).
Manajemen perubahan adalah sebuah pendekatan proaktif untuk memahami bagaimana seharusnya perubahan dilaksanakan dalam suatu organisasi. Menurut Bernis Walmsley, dalam bukunya Managing Change, manajemen perubahan memahami bahwa perubahan harus direncanakan, diorganisasikan, dipimpin, dan dikendalikan (Nugroho, 2013: 4).
Reformasi birokrasi memang dinyatakan dalam banyak istilah, yang pada dasarnya berkaitan dengan upaya membangun pemerintahan agar benar-benar memiliki kemampuan untuk memenuhi tujuannya, yakni mewujudkan kehidupan rakyat yang sejahtera, adil, dan bermartabat (Hamdi dan Khairi, 2014: 76).
Dengan berbagai istilah tersebut - antara lain reformasi administratif, reformasi administrasi publik, dan reformasi sektor publik - kebutuhan akan reformasi birokrasi secara umum bertujuan untuk mengatasi kelemahan yang dimiliki oleh birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, seperti birokrasi yang dipandang lamban, kaku, tidak efisien, berbelit-belit, korup, tidak responsif terhadap tuntutan masyarakat, serta berbagai patologi birokrasi lainnya.
Khusus untuk kondisi Indonesia, menurut Muskamal (2014), birokrasi Indonesia perlu melakukan reformasi secara menyeluruh. Reformasi itu sesungguhnya harus dilihat dalam kerangka teoritik dan empirik yang luas, mencakup didalamnya penguatan masyarakat sipil (civil society), supremasi hukum, strategi pembangunan ekonomi dan pembangunan politik yang saling terkait dan mempengaruhi. Dengan demikian, reformasi birokrasi juga merupakan bagian tak terpisahkan dalam upaya konsolidasi demokrasi. Namun, peralihan dari sistem otoritarian ke sistem demokratis dewasa ini merupakan periode yang amat sulit bagi proses reformasi birokrasi. Apalagi, kalau dikaitkan dengan kualitas birokrasi pemerintahan maupun realisasi otonomi daerah, serta maraknya penyalahgunaan wewenang pada birokrasi pemerintahan yang diperkirakan semakin sistemik dan bahkan merata ke daerah-daerah.