Mohon tunggu...
Haditya Endrakusuma
Haditya Endrakusuma Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Equilibrium

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kritik atas Artikel "Sejarah Keganasan Wahabi"

22 Juni 2013   06:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:37 1873
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Selain mendapat sambutan "positif", disisi lainnya, dakwah Ibn Abdul Wahhab itu pun banyak mendapat kecaman negatif dari kabilah-kabilah yang merasa praktik "keislaman"nya mendapat kritik komparatif yang dilakukan secara persuasif dalam konteks diskursus studi keilmuan oleh Ibn Abdul Wahhab dan pengikut-pengikutnya. Sayangnya, penyikapan para Kabilah yang tersinggung oleh hasil kerja studi komparatif Ibn Abdul Wahhab dan murid-muridnya itu berlebihan, yakni dengan "membalas" kritik itu dengan "teror-teror" baik fisik maupun fitnah. Penyikapan yang "berlebihan" itulah yang kemudian "dikeluh"kan oleh Ibn Abdul Wahhab kepada Syarief Mekkah dan para Ulama di Hijaz dalam klarifikasi-klarifikasinya.

Salah satu penyikapan "berlebihan" itu seperti yang dilakukan oleh Kabilah al-Jaza'il (yg notabene adalah penganut Syiah yang menguasai kawasan Karbala). Kabilah ini punya pengaruh kuat di Iraq dan Mesir, yang kala itu dipimpin oleh "Warlord"nya Turki Utsmani yakni Sulaiman Pasha dan Ali Pasha. Mereka kemudian menghasut penguasa Mesir dengan memberikan informasi bahwa gerakan "wahhabi" itu menyelisihi tradisi Islam dan melakukan "bughot" terhadap kekhalifahan Turki Utsmani.

Sehingga, pada tahun 1798 M, Sulaiman Pasha pun menyiapkan pasukan bermaksud untuk menyerang "Wahhabi" yang dianggap "memberontak" itu. Pasukan itu kebanyakan terdiri dari Kabilah al-Jazail itu kemudian dipimpin oleh Ali Pasha, yang notabene adalah Gubernur Mesir.

Sasaran pertama mereka adalah Kabilah Ahsaa, para penduduk Ahsaa pun "bertahan" walaupun banyak menerima kerugian baik nyawa maupun harta. Ketika pasukan Ali Pasha dalam perjalanan pulang selesai meyerbu kabilah Ahsaa, barulah pasukan dari Dir’iyyah yang dipimpin Sa'ud bin Abdul Aziz sampai ke Ahsaa dan langsung mengejar pasukan Ali Pasha untuk melakukan balasan terhadap kezaliman pasukan Ali Pasya terhadap penduduk Ahsaa. Pertempuran pun berjalan imbang, hingga akhirnya baik Ali Pasha dan Sa'ud pun mengakhiri pertempuran itu dengan "perjanjian perdamaian".

Namun, pada tahun 1799 M, kabilah Al-Jaza’il mengkhianati perjanjian damai itu. Mereka melakukan penyerangan terhadap Najaf (salah satu daerah yang berafiliasi pada "Wahhabi"). Maka Abdul Aziz, penguasa Dir'iyyah ketika itu, meminta pertanggungjawaban atas pengkhianatan terhadap perjanjian yang dilakukan oleh orang-orang Syi’ah itu, namun Diyah itu tidak diindahkan sampai hampir dua tahun lamanya.

Akhirnya, pada bulan April ditahun 1802 M, fihak "Wahhabi" di Dir'iyyah pun melakukan balasan kepada Kabilah al-Jazail di Karbala dipimpin oleh Sa'ud bin Abdul Aziz. Balasan penyerangan itu ditujukan sebagai Qishas terhadap penyerangan dan pengkhianatan "perjanjian damai" yang dilakukan oleh Kabilah al-Jaza'il yang menguasai Karbala.

Poin Keempat.

Pada artikel yang ditulis oleh pak Agus Sunyoto pula, didapatkan kesan kekhalifahan Turki Utsmani itu menjadikan "Wahhabi" itu sebagai pemberontak, musuh bersama. Dengan pandangan itu kemudian Pak Agus Sunyoto menganggap Sulthan Mahmud II yang merupakan penguasa tertinggi kekhalifahan Turki Utsmani tersebut "gagal" merespon peristiwa Karbala dan "Wahhabi". Beliau menulis:

"..Khalifah Turki, Mahmud II, dikecam banyak pihak karena gagal menjaga makam Imam Husein dari keganasan kaum Wahabi.."

Pandangan bahwa kekhalifahan Turki Utsmani itu menjadikan "Wahhabi" sebagai "musuh", "pemberontak" inilah yang sebetulnya perlu ditelisik, apakah benar demikian?. Poin ini menjadi penting, sebab hal ini erat kaitannya dengan sikap Kekhalifahan yang terkesan "membiarkan" peristiwa penyerangan fihak "Wahhabi" ke Karbala.

Perlu diketahui, ketika Sa'ud bin Abdul Aziz diangkat menjadi penguasa Dir'iyyah. Sa'ud bin Abdul Aziz sempat berkorespodensi dengan pemerintahan pusat Turki Utsmani. Dalam korespondensinya itu, Sa'ud bin Abdul Aziz menyatakan bahwa Daulah-nya mengakui Kekhalifahan Turki Utsmani sebagai kekhalifahan representasi Ummat Islam, sehingga Ia menyatakan bahwa Daulah-nya adalah bagian dari kekhalifahan. (Kupasan lanjut tentang hubungan setia antara "Wahhabi" dengan khilafah Turki Utsmani tersebut dapat dirujuk di dalam karya Dr. Nasir bin Abdul Karim al-Aql, Hanya Islam Bukan Wahhabi, Darul Falah, Jakarta, 2006, hal. 352-361). Ini poin pertama yang penting untuk diketahui untuk melihat sikap Pemerintah Pusat Kekhalifahan pada waktu itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun