Korupsi telah menjadi salah satu tantangan terbesar dalam pembangunan sosial, politik, dan ekonomi di Indonesia. Fenomena ini tidak hanya merusak tatanan hukum dan kepercayaan publik terhadap pemerintah, tetapi juga mengancam nilai-nilai moral yang menjadi fondasi kehidupan bangsa. Dalam konteks ini, ajaran Ranggawarsita tentang konsep tiga era memberikan perspektif yang sangat relevan dalam memahami dan menganalisis permasalahan korupsi di Indonesia. Melalui konsep ini, Ranggawarsita menyampaikan bahwa perubahan-perubahan dalam masyarakat yang dapat membawa dampak besar bagi stabilitas sosial dan keadilan. Dengan memahami konsep-konsep ini, maka akan muncul solusi-solusi dalam mengatasi fenomena korupsi di Indonesia.
Mengenal Ranggawarsita
Raden Ngabehi Ranggawarsita, lebih dikenal sebagai Ranggawarsita, merupuakan seorang pujangga besar dari Kasunanan Surakarta Hadingrat yang dianggap sebagai pujangga terakhir Tanah Jawa. Ranggawarsita disebut juga sebagai pujangga penutup atau terakhir, karena setelahnya tidak ada pujangga lainnya yang diangkat secara resmi untuk menggantikan Ranggawarista oleh keraton Surakarta. Â Lahir pada tanggal 15 Maret 1802 di Kampung Yasadipuran, Surakarta dengan nama kecil Bagus Burham.
Ranggawarsita (Bagus Burham) tumbuh dan besar dari keluarga yang akrab dengan dunia sastra dan tulisan, sesuatu yang dianggap langka pada kala itu. Ayahnya Panjangsworo atau Ranggawarsita II yang menjadi juru tulis kerajaan. Sedangan kakeknya, Sastronagoro atau Ranggawarsita I adalah pujangga kerajaan. Sedangkan kakek buyutnya Yasadipuro I adalah seorang pujangga besar. Namanya tercatat dalam tinta emas sejarah kesusastraan Jawa.
Ranggawarsita dikenal sebagai seorang intelektual yang cerdas dan produktif. Ia mampu menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan, termasuk sastra, filsafat, dan agama. Ranggawarsita memulai karirnya sebagai carik Kadipaten Anom, dengan gelar Mas Rangga Pajanganom pada tahun 1819. Lalu dinaikkan menjadi Mantri Carik dengan gelar Mas Ngabehi Sarataka (1822). Kemudian menggantikan jabatan ayahnya (Ranggawarsita II) sebagai Kliwon-Carik dengan gelar Raden Ngabehi Ranggawarsita pada tahun 1830. Setelah kakeknya Yasadipura II wafat Ranggawarsita dinobatkan menjadi pujangga istana (1845). Pada masa inilah Ranggawarsita melahirkan banyak karya sastra. Hubungannya dengan Pakubuwana VII juga sangat harmonis. Ia juga dikenal sebagai peramal ulung dengan berbagai macam ilmu kesaktian.
Namun jenjang kepangkatannya tetap sebagai Kliwon-Carik, suatu jabatan istana yang setingkat di pangkat tumenggung. Pangkat tumenggung anumerta baru dianugerahkan oleh Paku Buwana VII pada tahun 1952, sebagai penghargaan terhadap jasa-jasa almarhum Ranggawarsita.
Ranggawarsita meninggal dunia pada tanggal 5 Dulkaidah 1802, pukul 12.00 siang tahun Jimakir, Windu Sancaya. Akhir-akhir kematian R. Ng. Ranggawarsita sering dihebohkan karena kematiannya bukan atas kehendak Tuhan Yang Mahakasih, melainkan karena dibunuh oleh Sunan Paku Buwana IX atas persetujuan pemerintah colonial Belanda.