Tidak adanya tulisan-tulisan beliau yang menunjukkan bahwa uang bisa menjadi komoditi, baik secara tekstual maupun kontekstual. Ini menunjukkan bahwa beliau sepertinya sangat faham bagaimana jika uang difungsikan sebagai komoditi, seperti yang sudah difahami oleh ekonom-ekonom muslim abad modern. Selain itu, Islam juga tidak mengakui jika uang itu diperbolehkan menjadi komoditi.
Bebeda dengan ekonomi kapitalis, dalam perekonomian kapitalis, uang tidak hanya sebagai alat tukar yang sah, melainkan juga sebagai komoditas. Menurut sistem kapitalis, uang juga dapat diperjualbelikan dengan kelebihan baik on the spot maupun secara tangguh. Lebih jauh, dengan cara pandang demikian, maka uang juga dapat disewakan (leasing).
Sedangkan menurut Ad-Dimasqi, apapun yang berfungsi sebagai uang, maka fungsinya hanyalah sebagai medium of change. Ia bukan suatu komoditas yang bisa diperjualbelikan dengan kelebihan baik secara on the spot maupun bukan. Satu fenomena penting dari karakteristik uang adalah bahwa ia tidak diperlukan untuk konsumsi, ia tidak diperlukan untuk dirinya sendiri, melainkan diperlukan untuk membeli barang yang lain sehingga kebutuhan manusia dapat terpenuhi.
Ketika uang diperlakukan sebagai komoditas oleh sistem kapitalis, berkembanglah apa yang disebut pasar uang. Terbentuknya pasar uang ini menghasilkan dinamika yang khas dalam perekonomian konvensional, terutama pada sektor moneternya. Pasar uang ini kemudian berkembang dengan munculnya pasar derivatif, yang merupakan turunan dari pasar uang. Pasar derivatif ini menggunakan instrumen bunga sebagai harga dari produk-produknya. Transaksi di pasar uang dan pasar derivatifnya ini tidak berlandaskan motif transaksi yang riil sepenuhnya, bahkan sebagian besar di antaranya mengandung motif spekulasi.Â
Maka tak heran jika perkembangan di pasar moneter konvensional begitu spektakuler. Menurut data dari sebuah NGO asal Amerika Serikat, volume transaksi yang terjadi di pasar uang (currency speculation dan derivative market) dunia berjumlah US $ 1,5 triliun hanya dalam sehari, sedangkan volume transaksi yang terjadi dalam perdagangan dunia di sektor riil US $ 6 triliun setiap tahun. Bayangkan dengan empat hari transaksi di pasar uang, nilainya sudah menyamai transaksi di sektor riil selama setahun. Inilah yang kemudian menciptakan satu kondisi perekonomian gelembung (bubble economic), suatu kondisi yang melibatkan transaksi keuangan yang besar sekali, namun sesungguhnya tidak ada isinya karena tidak dilandasi transaksi riil yang setara.
Jika dikomparasikan antara uang pada ekonomi kapitalis dan uang menurut Ad-Dimasqi, terlihat sekali pengaruh besar jika uang dijadikan komoditas seperti yang difahami kelompok kapitalis. Adanya kesenjangan antara peredaran uang di pasar uang dan peredaran di sektor riil, membuat ekonomi sebuah negara semakin sulit untuk dikontrol, sehingga hal ini bisa berpengaruh besar terhadap negara menuju inflasi yang luar biasa, dan tentunya ekonomi negara semakin hancur. Sepertinya, tidak adanya konsep uang bisa dijadikan sebagai komoditas pada pemikiran Al-Dimasqi, seakan-akan beliau tahu betul akibat-akibat buruk dari pengaruh jika uang dijadikan komoditas seperti yang difahami ekonom-ekonom muslim saat ini, yang mana menurut ekonom muslim yang mendalami ekonomi islam juga tidak sepakat bahwa uang boleh dijadikan komoditas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H