A.Pendahuluan
Hari ini, setiap orang memiliki akan segala sesuatu, lebih dari sekedar makanan yang mereka makan, dan juga sekedar pakaian yang mereka kenakan, umumnya memiliki sejumlah uang.
Dari semua bentuk kekayaan, uang adalah yang paling luas peredarannya. bahkan, peredaran uang di pasar (sektor riil) tidak sebanding dengan uang yang tersimpan di bank atau yang beredar di pasar uang. Bahkan pencetakan uang juga tidak sebanding dengan berkurangnya ketersediaan barang dan jasa.
Di dalam sistem ekonomi modern, tentunya, tidak mungkin hidup tanpa menggunakan uang. Karakteristik penting dari ekonomi modern yang kompleks adalah “kehususan” atau spesialisasi. Seiring berjalannya waktu, setiap individu yang bekerja bertujuan untuk memiliki uang sebanyak-banyaknya, yang mana masyarakat zaman dahulu menurut Karl Marx, setiap individiu bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan seperti bertani dengan menanam padi, atau bercocok tanam buah-buahan untuk memenuhi kebutuhan vitamin bagi tubuh mereka. Lain dengan hari ini, uang menjadi target utama mereka, tanpa memikirkan ketersediaan uang berbanding lurus atau tidak dengan ketersediaan makanan sebagai kebutuhan hidup mereka.
Begitulah hakikat uang hari ini, yang mana kebanyakan manusia bukan hanya memahami uang sebagai alat tukar, akan tetapi uang dijadikan sebagai alat menimbun kekayaan. Dalam arti lain, siapa yang mempunyai banyak uang, maka dialah yang dianggap paling kaya.
Lalu, bagaimana para ekonom muslim melihat uang. Apa esensi uang dalam kehidupan. Apakah menurut mereka uang dijadikan sebagai penimbun kekayaan ataukah hanya sebagai alat tukar. Pembahasan berikut akan memaparkan konsep uang menurut Al-Dimasqi.
B.Mengenal Al-Dimasqi
Abul Fadhl Ja’far bin Ali ad-Dimasqi (w. 570/1175) adalah seorang ulama ekonom besar yang hidup antara abad lima dan enam Hijriah. Beliau hidup di Tripoli, dulu merupakan bagian wilayah Syam, dan kini masuk wilayah Libanon. Riwayat hidup ad-Dimasqi tidak begitu dikenal, bahkan tanggal kelahiran dan kematiannya tidak dapat ditelusuri, yang ada hanyalah penjelasan di bukunya bahwa beliau adalah ulama abad keenam hijriah.
C. Uang menurut Al-Dimasqi
Bertolak dari pengertian kontemporer tentang uang, uang adalah benda-benda yang disetujui oleh masyarakat sebagai alat perantara untuk mengadakan tukar menukar atau perdagangan dan sebagai standard nilai. Taqyudin al-Nabhani menyatakan, nuqud adalah standard nilai yang dipergunakan untuk menilai barang dan jasa. Oleh karena itu uang didefinisikan sebagai sesuatu yang dipergunakan untuk mengukur barang dan jasa. Jadi uang adalah sarana dalam transaksi yang dilakukan dalam masyarakat baik untuk barang produksi maupun jasa, baik itu uang yang berasal dari emas, perak, tembaga, kulit, kayu, batu besi, selama itu diterima masyarakat dan dianggap sebagai uang.
Fungsi uang yang difahami di abad modern ini, hakikatnya sudah dibahas segamblang munkin oleh pemikir-pemikir muslim pada zaman dahulu. Meskipun mereka tidak membuat judul yang berhubungan dengan ekonomi secara langsung pada buku mereka, akan tetapi intisari-intisari dalam buku mereka memperlihatkan bahwa pembahasan-pembahasan ekonomi yang berkembang pada abad modern sudah terlebih dahulu mereka tuliskan.