Mohon tunggu...
Agustinus Nicolaus Yokit
Agustinus Nicolaus Yokit Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Bukan seorang Pujangga dan Bukan seorang Filsuf

Menjadi prehensi positif bagi perkembangan orang lain... Masih belajar untuk Altruis... Sedang berjalan dalam pencarian pada Kebijaksanaan Sejati...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Meninjau Realitas Pelanggaran HAM di Papua Seturut Pandangan Etika Komunikasi Logstrup

9 Agustus 2021   14:18 Diperbarui: 9 Agustus 2021   15:34 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer terhadap warga sipil di Papua, dapat diutarakan dalam beberapa catatan kasus yang terjadi dan dianggap “berat” di Provinsi Papua dan Papua Barat yaitu: (1). Kasus Biak Berdarah, 6 Juli 1999, (2). Kasus Wasior Berdarah, Juni 2001. (3). Kasus Wamena Berdarah, April 2003[2], (4). Kerusuhan Universitas Cenderawasih, di Jayapura 16 Maret 2006, (5). Kasus Paniai Berdarah, di Enarotali, 8 Desember 2014, (6). Kasus Deiyai pada 1 Agustus 2017, (7). Kasus Nduga, 2 Desember 2018. 

Saya melihat bahwa problem ini masih terus terjadi dan bahkan semakin masif sampai sekarang. Sebagaimana dilansir oleh Peneliti Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Arif Nur Fikri yang melaporkan bahwa catatan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua sepanjang tahun 2020 (Januari-November) mencapai 40 kasus baik di Provinsi Papua maupun Papua Barat.

[3] Salah satu dari 40 kasus selama tahun 2020 itu juga melibatkan saudara saya Oktovianus Betera Warip (18 tahun) yang dipukul dan dianiaya oleh empat anggota Satgas Pamtas Yonif 516/Caraka Yudha, hingga meninggal di desa Asiki, Kabupaten Boven Digoel, pada tanggal 24 Juli 2020.[4] 

Atas berbagai pelanggaran tersebut, para peneliti Kontras menemukan bahwa kasus-kasus yang terjadi lebih didominasi oleh kasus kekerasan berupa penembakan, penganiayaan, dan penangkapan sewenang-wenang oleh aparat militer terhadap warga sipil. Kontras mendokumentasikan bahwa dari 40 kasus tersebut setidaknya mengakibatkan 276 orang menjadi korban baik ditangkap, luka-luka maupun meninggal dunia. 

“Rata-rata korbannya adalah warga sipil. Dan ini terus terjadi secara berulang setiap tahunnya”, ucap Arif. Oleh karena itu, ia menilai bahwa penanganan kekerasan di tanah Papua dengan melibatkan militerisme sangatlah tidak efektif. Pelanggaran pun terus terjadi sehingga perlu diadakan evaluasi kembali oleh Pemerintah Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait penanganan kasus-kasus ini. Sehubungan dengan kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua, Jubi.co.id., 

Portal Berita Tanah Papua menegaskan bahwa sebagian besar kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di Papua tak pernah tuntas diselesaikan. Bahkan ketika dibawa pada level Kejaksaan Agung terkesan dibiarkan dengan alasan kurang adanya bukti lapangan yang kuat. 

Padahal banyak saksi yang masih ingat betul peristiwa tersebut dan terkadang suara korban tak didengar.[5] Media-media informasi di tanah Papua menunjukkan bahwa masih ada banyak kasus pelanggaran HAM yang perlu diselesaikan dengan solusi yang tepat tanpa harus mengorbankan salah satu pihak yang terkait, dalam hal ini para warga sipil.

Etika Komunikasi Løgstrup

Menurut Løgstrup, kehidupan adalah komunikasi. Apabila manusia tidak lagi berkomunikasi maka dapat dipastikan bahwa manusia tersebut sedang berada dalam proses menuju pada dunia kematian. Dengan kata lain, Løgstrup hendak menyatakan bahwa komunikasi ialah tanda akan adanya kehidupan.

 Di dalam komunikasi sebagai kehidupan itu, Løgstrup melihat lebih mendalam dimana setiap individu bermakna pada dirinya (Per Se) dan memiliki kualitas fundamental yaitu tanggungjawab. Tanggungjawab dipahami sebagai hidup bagi orang lain. Dalam konteks ini perlu dibedakan arti “hidup bagi orang lain” dan “hidup dengan orang lain”. 

Hidup dengan orang lain merupakan fakta eksistensial, dimana tak seorang pun dapat hidup seorang diri di tengah dunia karena sejak lahir ia sudah hidup berdampingan dengan orang lain baik di dalam keluarga maupun komunitas tertentu. Hal ini persis seperti yg dijelaskan oleh Heidegger (filsfuf Jerman) bahwa manusia adalah dasein, artinya manusia adalah “yang ada di sana” “yg terlempar ke dalam dunia”. 

Kesadaran bahwa ia terlempar ke dunia tidak pernah atas kehendak dirinya. Itulah fakta eksistensial dari hidup manusia. Sedangkan hidup bagi orang lain merupakan keterarahan setiap individu. 

Keterarahan yang dimaksudkan oleh Løgstrup merujuk pada pemaknaan lebih terhadap kehidupan, dimana kehidupan dilihat sebagai sesuatu yang luhur. 

Karena kehidupan itu dimaknai sebagai sesuatu yang luhur maka terdapat tuntutan etis di dalamnya. Løgstrup kemudian menunjukkan bahwa tuntutan etis itu terletak pada lapisan ontologis dan terekspresikan di dalam bentuk konkret yang dapat dirasakan dalam hidup seperti: cinta, belas kasihan, kepercayaan (trust), keterbukaan dalam percakapan, harapan, dan kemarahan dalam artinya yang positif (bdk. Yesus Menyucikan Bait Allah, Mat. 21:12-16). 

Tuntutan etis yang terekspresi dalam cinta, belas kasihan, kepercayaan (trust), keterbukaan dalam percakapan dan kemarahan dalam artinya yang positif merupakan manifestasi kehidupan yang perlu diperjuangkan ketika berhadapan langsung dengan konflik.

Pelanggaran HAM yang terjadi di Papua ketika dilihat dari sudut pandang Løgstrup maka dapat dipahami sebagai konflik. Løgstrup melihat bahwa konflik merupakan bagian dari kehidupan namun tidak indentik karena di sana (dalam keadaan berkonflik) terjadi komunikasi yang gagal. Kegagalan yang terjadi dalam konflik tersebut disebabkan adanya unsur yang membebani dan memaksa di antara individu, masyarakat dan pemerintah (Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah) yang terlibat di dalamnya. 

Realitas sosial terkait pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat militer terhadap warga sipil OAP (Orang Asli Papua) yang berujung pada kematian, merupakan tanda gagalnya komunikasi yang etis. Ketika realitas ini ditinjau dari perspektif etika komunikasi Løgstrup, maka dapat dilihat bahwa kehadiran orang lain itu tidak lagi menjadi penentu eksistensi dari manusia sebagai subyek. 

Padahal seharusnya, manusia dapat melihat kehadiran sesamanya sebagai penentu makna eksistensinya, sebagaimana yang ditegaskan oleh Løgstrup dan Emmanuel Levinas. Konflik yang berkepanjangan di tanah Papua menunjukkan kurangnya komunikasi yang efektif antara pemerintah pusat, aparat militer dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) sebagai perwakilan warga sipil. Menurut Løgstrup konflik yang terjadi di Papua sesungguhnya menunjukkan adanya daya atau energi kehidupan yang perlu diolah agar komunikasi menjadi efektif. 

Komunikasi yang efektif itu dapat terjadi apabila berbagai pihak terlebih mereka yang memiliki kekuasaan mampu memaknai tanggungjawab menurut Løgstrup. Dalam konteks ini pihak yang bertanggungjawab perlu memaknai kehidupan sebagai sesuatu yang luhur sehingga terdapat tuntutan etis di dalamnya. Tuntutan etis yang perlu diekspresikan di sini ialah keterbukaan dalam percakapan dan harapan. 

Keterbukaan dalam percakapan dirasa sangat perlu demi menuju kesepakatan bersama. Keterbukaan untuk duduk bersama dan melakukan percakapan dua arah (dialogue) yang selanjutnya dapat mengantar masing-masing pihak pada penyelesaian masalah yang terjadi. Ekspresi dari tuntutan etis selanjutnya ialah harapan dari masing-masing pihak demi mencapai komunikasi yang efektif.

Dialog Sebagai Jalan Damai Papua 

Pelanggaran HAM yang terjadi di Papua merupakan bentuk dari komunikasi yang gagal sehingga perlu dicarikan solusi atau jalan keluar yang baik dan tepat. Saya hendak memberikan pokok pemikiran atas masalah yang terjadi sebagai mahasiswa calon imam. Saya merasa tergerak dan kemudian tertantang untuk memberikan pokok pikiran atas problem yang terus berkelanjutan di tanah Papua sampai sekarang. 

Menurut saya, ketika kita berbicara tentang pelanggaran HAM di Papua, berarti akan terlibat juga di dalamnya Gereja Katolik lokal. Gereja-Gereja lokal yang dimaksudkan adalah Keuskupan-keuskupan di Tanah Papua, yang jumlahnya ada lima (5) Keuskupan, yang tergabung dalam Regio Papua. Bagi saya, peran Gereja Katolik lokal di tanah Papua sangatlah penting dan diperlukan oleh semua warga sipil teristimewa OAP (Orang Asli Papua).

 Gereja haruslah hadir dan kemudian berbicara serta juga terlibat aktif dalam penderitaan masyarakat lokal. Dalam konteks keterlibatan Gereja di tengah pelanggaran HAM yang terjadi, Gereja perlu memperhatikan dengan baik sikap dan posisinya ketika masuk dan turut bertanggung jawab atas permasalahan yang terjadi. Jangan sampai kehadiran imam Gereja Katolik di tengah ‘umat’ justru menimbulkan salah tafsir dari pemerintah atau negara, bahwa Gereja mendukung kelompok ‘separatis’. 

Menurut saya, hal ini perlu diperhatikan dan dipertegas, bahwa para imam Papua yang aktivis bukanlah imam OPM (Organisasi Papua Merdeka), mereka hadir untuk menjadi penyalur rahmat keselamatan bagi jiwa-jiwa. Pastor atau Uskup sebagai representasi Gereja, hadir di tengah umat dan menjadi ‘nabi’ yang menyuarakan kebenaran atas nama keadilan. Bukan ikut dalam pergerakkan politik yang jauh bahkan keluar dari arah Gereja universal. 

Oleh karena itu, kasus-kasus pelanggaran HAM yang sering terjadi di Papua haruslah dimediasi dengan baik oleh Gereja, bila perlu arahkan pada dialog sebagai jalan damai. Dialog yang dimaksudkan ialah dialog terbuka antara pemerintah pusat (Jakarta), aparat militer dan Gereja di Papua serta LSM yang ada. 

Gereja hadir menjadi mediator untuk menunjukkan berbagai masalah HAM yang terus berkembang sepanjang sejarah masyarakat Papua hingga saat ini. Tujuan yang hendak dicapai ialah kejelasan tentang berbagai pelanggaran HAM yang sering terjadi di Papua. Gereja sebagai mediator perlu bergerak untuk berpihak pada umat dan sekaligus mengikat diri pada jalur Gereja Universal yang sangat mengedepankan salus animarum. 

Gereja menjadi mediator yang memungkinkan terjadinya dialog antara berbagai pihak yang terkait. Dialog ini, diharapkan dapat mengarah pada penyelesaian masalah yang terjadi demi menyelamatkan jiwa dan raga bangsa Papua, terlebih generasi Papua yang akan datang.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun