Kesadaran bahwa ia terlempar ke dunia tidak pernah atas kehendak dirinya. Itulah fakta eksistensial dari hidup manusia. Sedangkan hidup bagi orang lain merupakan keterarahan setiap individu.Â
Keterarahan yang dimaksudkan oleh Løgstrup merujuk pada pemaknaan lebih terhadap kehidupan, dimana kehidupan dilihat sebagai sesuatu yang luhur.Â
Karena kehidupan itu dimaknai sebagai sesuatu yang luhur maka terdapat tuntutan etis di dalamnya. Løgstrup kemudian menunjukkan bahwa tuntutan etis itu terletak pada lapisan ontologis dan terekspresikan di dalam bentuk konkret yang dapat dirasakan dalam hidup seperti: cinta, belas kasihan, kepercayaan (trust), keterbukaan dalam percakapan, harapan, dan kemarahan dalam artinya yang positif (bdk. Yesus Menyucikan Bait Allah, Mat. 21:12-16).Â
Tuntutan etis yang terekspresi dalam cinta, belas kasihan, kepercayaan (trust), keterbukaan dalam percakapan dan kemarahan dalam artinya yang positif merupakan manifestasi kehidupan yang perlu diperjuangkan ketika berhadapan langsung dengan konflik.
Pelanggaran HAM yang terjadi di Papua ketika dilihat dari sudut pandang Løgstrup maka dapat dipahami sebagai konflik. Løgstrup melihat bahwa konflik merupakan bagian dari kehidupan namun tidak indentik karena di sana (dalam keadaan berkonflik) terjadi komunikasi yang gagal. Kegagalan yang terjadi dalam konflik tersebut disebabkan adanya unsur yang membebani dan memaksa di antara individu, masyarakat dan pemerintah (Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah) yang terlibat di dalamnya.Â
Realitas sosial terkait pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat militer terhadap warga sipil OAP (Orang Asli Papua) yang berujung pada kematian, merupakan tanda gagalnya komunikasi yang etis. Ketika realitas ini ditinjau dari perspektif etika komunikasi Løgstrup, maka dapat dilihat bahwa kehadiran orang lain itu tidak lagi menjadi penentu eksistensi dari manusia sebagai subyek.Â
Padahal seharusnya, manusia dapat melihat kehadiran sesamanya sebagai penentu makna eksistensinya, sebagaimana yang ditegaskan oleh Løgstrup dan Emmanuel Levinas. Konflik yang berkepanjangan di tanah Papua menunjukkan kurangnya komunikasi yang efektif antara pemerintah pusat, aparat militer dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) sebagai perwakilan warga sipil. Menurut Løgstrup konflik yang terjadi di Papua sesungguhnya menunjukkan adanya daya atau energi kehidupan yang perlu diolah agar komunikasi menjadi efektif.Â
Komunikasi yang efektif itu dapat terjadi apabila berbagai pihak terlebih mereka yang memiliki kekuasaan mampu memaknai tanggungjawab menurut Løgstrup. Dalam konteks ini pihak yang bertanggungjawab perlu memaknai kehidupan sebagai sesuatu yang luhur sehingga terdapat tuntutan etis di dalamnya. Tuntutan etis yang perlu diekspresikan di sini ialah keterbukaan dalam percakapan dan harapan.Â
Keterbukaan dalam percakapan dirasa sangat perlu demi menuju kesepakatan bersama. Keterbukaan untuk duduk bersama dan melakukan percakapan dua arah (dialogue) yang selanjutnya dapat mengantar masing-masing pihak pada penyelesaian masalah yang terjadi. Ekspresi dari tuntutan etis selanjutnya ialah harapan dari masing-masing pihak demi mencapai komunikasi yang efektif.
Dialog Sebagai Jalan Damai PapuaÂ
Pelanggaran HAM yang terjadi di Papua merupakan bentuk dari komunikasi yang gagal sehingga perlu dicarikan solusi atau jalan keluar yang baik dan tepat. Saya hendak memberikan pokok pemikiran atas masalah yang terjadi sebagai mahasiswa calon imam. Saya merasa tergerak dan kemudian tertantang untuk memberikan pokok pikiran atas problem yang terus berkelanjutan di tanah Papua sampai sekarang.Â