Unsur lain yang juga mengalami proses belandanisasi di Sumatera Barat adalah rupa bumi, seperti pulau dan gunung atau bukit.
Belandanisasi toponimi di Sumatera Barat adalah sebuah proses yang menarik dan memiliki dinamika yang khas.
Proses penamaan itu dimulai dari kawasan pantai, di mana Belanda pertama kali mulai hadir di daerah tersebut. Setelah itu dilanjutkan untuk penamaan di daerah pedalaman.
Terjadinya pembelandaan toponimi di daerah pedalaman seiring dengan perluasan kekuasaan Belanda di daerah tersebut.
Pada awalnya belandanisasi toponimi berhubungan erat dengan kampanye militer. Sehubungan dengan itu penamaan yang diberikan dikaitkan dengan nama sebuah benteng (fort) yang didirikan di sebuah kota yang baru saja ditaklukan.
Jadi ada pengindentikan nama benteng dengan nama kota/permukiman. Bahkan, kata benteng (fort) dilengketkan dengan penamaan tersebut.
Belandanisasi tipe ini pertama kali dilakukan dengan penamaan Fort Vredenburg (Benteng Perdamaian) kepada kota Pariaman.
Penamaan ini diberikan tahun 1712 (lebih tua dari nama yang diberikan kepada benteng dengan nama yang sama di Yogyakarta, yakni tahun 1760).
Benteng itu didirikan dalam rangka mempertahankan kota tersebut dari 'gangguan' penduduk setempat yang tidak bersahabat dengan VOC. Padahal, kata sumber Belanda, 'kompeni ini hidup damai berdampingan dengan penduduk setempat'.
Nama selanjutnya adalah Fort Buuren (nama sebuah permukiman kecil di Provinsi Utrecht, bagian tenggara Belanda) yang diberikan kepada kota Padang tahun 1751.
Nama ini diberikan karena di kota itu didirikan sebuah benteng, sebuah benteng terbesar yang pernah didirikan VOC di pantai Sumatera.