***
Di beranda pada malam itu istri saya membelikan tiket penerbangan secara daring senilai Rp1.309.500,00. Saya pun lega, karena tiket penerbangan berarti pula sebagai awal yang pasti untuk memasuki gerbang perantauan selanjutnya.
Aku akan kembali, Barat, pikir saya sambil mengulum senyuman.
Keesokan harinya saya memberi tahu ibu saya yang berbeda pulau bahwa saya mau merantau lagi. Bagi saya, ibu "wajib" mengetahui kepergian saya supaya tidak terkejut lantas menanyakan perihal kepergian saya lagi seakan ada "sesuatu" dalam hubungan suami-istri yang telah direstui oleh keluarga besar.
"Hati-hati di perantauan, ya," pesan ibu.
Ke mana pun merantau, saya juga selalu memberi tahu ibu, bahkan ketika saya akan pindah ke seberang pulau yang berada di pertengahan jarak untuk menikah dan menetap. Barat, tengah, dan timur selalu sepengetahuan ibu. Saya tidak sampai hati jika ibu merisaukan saya di tempat jauh.
Dengan rencana perantauan ke wilayah barat kali ini, ibu senang sekali karena jarak lebih dekat dengan kampung halaman saya. Ibu malah berharap bahwa suatu waktu saya pindah ke barat, sehingga bisa lebih dekat dengan ibu.
Dengan berat hati saya mengatakan kepada ibu bahwasannya saya tidak mungkin menetap di barat. Saya tetap akan kembali ke tengah untuk bergabung dengan istri saya, karena mustahil istri saya akan pindah ke barat dengan ikatan leluhur yang sudah menetap di wilayah tengah.
***
Malam sebelum keberangkatan, saya dibelikan sebuah ponsel baru seharga Rp2.300.000,00 oleh istri saya. Meski sejak lima tahun terakhir produktivitas ponsel mutakhir selalu tinggi dan terjangkau, saya masih menggunakan ponsel lama yang bisa sepenuhnya tergenggam, tidak berlayar sentuh, dan selalu menjadi media komunikasi paling cepat antara saya dan ibu.
"Hape ini untuk mendukung Mas bekerja di lapangan. Kapasitas baterainya besar. Lima ribu em-a-ha," katanya sambil menunjukkan buku pedoman pemakaian. "Biar baterainya awet, usahakan dicas kalau tinggal dua puluh persen."