"Nah, Pak, bukannya kami mau seenak kami sendiri, tetapi kami selalu memikirkan risiko-risikonya. Kita semua tidak mau berisiko, apalagi terpaksa rugi karena keputusan-keputusan yang keliru," ujar Sarwan.
"Kalau begitu, pekerjaan sebelumnya harus dahulukan, ya?"
"Oh, jelas, Pak," sahut Sarwan dengan nada agak tinggi. "Kita belum selesai membahas soal rencana gambar kerja berikut total harganya. Oji baru mencetak sesuai dengan gambar yang kemarin Bapak buat."
"Pak Oji bisa jelaskan pada saya?" Pandangan Demun beralih ke Oji.
"Baik, Pak," jawab Oji sambil membuka lembaran gambar yang tadi dicetak dengan meminjam printer di ruang pemasaran itu. "Ini gambar dari Bapak, dan ini yang saya benahi sekaligus lengkapi."
Suasana pun berubah drastis. Oji menerangkan perihal gambar awal, pembenahan, dan jenis materialnya. Selanjutnya Oji dan Demun sudah suntuk pada gambar perencanaan, termasuk foto-foto yang didapatkan oleh Demun di beberapa tempat entah di mana, seakan tidak lagi menggubris keberadaan orang-orang di sekelilingnya.
Tidak cukup begitu, Desy yang bertitel "Arsitek" terlibat urun rembug, meski gambar yang disuguhkannya berasal dari unduhan di internet. Itu pun berarti gambar dari Demun dan pembenahan dari Oji sama sekali tidak berlaku lagi.
Aduhai, berubah lagi, pikir Lia. Beginilah repotnya bekerja dengan developer yang terlalu kikir sehingga tidak sudi menggunakan jasa konsultan perencana.
Dengan kode telunjuk dan jari tengah di bibir, Lia diajak Sarwan keluar dari ruangan. Perlahan Sarwan meninggalkan ruangan dan duduk lesehan di teras samping, disusul oleh Lia.
Lia dan Sarwan sudah saling memahami mengenai semua pembahasan akan berujung pada harga. Kalau sudah sampai di ujung, negosiasi bisa terjadi dengan lompat-melompati. Kalau Sarwan bertahan dengan angka 50, Demun akan menghubungi Lia agar bisa mendapat angka di bawah bahkan jauh dari 50.
"Kok malah kita yang menyodorkan gambar detail dan harga, ya, Pak?" Lia agak lirih supaya tidak didengar oleh selain Sarwan.