Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Selamat Pagi dalam Remang Senja

18 November 2019   02:21 Diperbarui: 18 November 2019   02:45 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setangkai anggrek bulan
Yang hampir gugur layu
Kini segar kembali
Entah mengapa

Lia tersenyum setelah membuka kiriman lagu lawas bergambar gerak berupa duet artis itu di layar ponselnya. Kiriman dari Demun sekaligus pemilik proyek pengembangan perumahan yang sedang dikerjakannya.

Dasar aki-aki, batinnya.

Pkl. 06.15 tertera di layar ponsel. Ia menutup layar ponsel, dan meletakkannya di atas bantal.

Ia segera bangkit dari ranjang kayu jati, beranjak ke arah jendela kaca yang tidak bening lagi. Begitu jendela kaca dikuakkan, udara sejuk langsung menerpanya.

Di luar jendela terhampar petak-petak persawahan yang kering kerontang dengan beberapa biri-biri sedang menyantap sarapan. Tidak ada saluran irigasi. Musim kemarau terlampau panjang.

Ia bergegas ke luar kamar sewanya menuju dapur. Nek Imah sang pemilik rumah sudah menyiapkan air panas dalam termos sebagaimana biasanya.

"Pagi."

"Pagi juga."

Sambil bertegur-sapa sejenak dengan Nek Imah yang sudah menjanda  dan berselisih usia sekitar lima-enam tahun dengannya, Lia menyeduh secangkir kopi. Nek Imah tidak terlalu meladeni obrolan karena sedang sibuk memasak sayur di atas tungku berkayu reranting jati.

Menikmati kopi pagi merupakan tradisi pagi Lia sebelum berangkat ke lokasi proyek yang jaraknya dua puluh meter tetapi areanya seluas tiga belas hektare. Di samping itu, ia akan ngobrol dengan Odang.

Kemarin sore ia didatangi oleh tiga kepala tukang yang mewakili dua belas anak buah. Harga jasa dan lain-lain sudah mereka sepakati. Hari ini pekerjaan yang akan dilaksanakan adalah pembuatan saluran dari bahan batu kali.

Akan tetapi hari ini Demun tidak akan datang ke lokasi, karena kemarin siang sudah datang beserta istrinya. Ketika obrolan mengenai pekerjaan proyek dibahas bersama dengan Sarwan, Odang, dan Oji di ruang pemasaran yang sempit, istrinya hanya duduk santai di teras bersama seorang petugas pemasaran yang cantik bernama Zaenab.

"Nanti kita lihat langsung hasil kerja kalian," kata Demun.

"Baik, Pak," sahut Lia.

"Ibu mau ikut juga? Jangan! Nanti kulit Ibu rusak gara-gara matahari panas ini. Lokasi juga masih banyak debu. Percuma Ibu pakai masker setebal apa pun."

Sambil menyeduh kopi dan mengingat pertemuan kemarin, Lia tersenyum kecil atas perhatian Demun itu. Ia juga membanding-bandingkan kondisi tubuhnya dengan istri Demun yang agak tambun dan berpenampilan tidak seperti ibu-ibu sosialita yang mentereng.

Dasar, aki-aki, batinnya.

Setelah menyeduh kopi dan membawa cangkir, Lia bergerak ke kamar untuk mengambil ponsel lalu menuju teras. Sebentar kemudian ia menelepon Odang.

***

Selamat dan semangat pagi
Selagi matahari masih terbit, tersenyumlah
Sebab asa selalu mengiringi usaha

Selain pesan pagi itu, Lia juga membuka-buka lagi pesan lainnya dari Demun. Ada bunga-bunga. Gambar hati, bahkan seorang gadis sedang berpakaian mini.

Geli hati Lia sendiri di teras rumah. Akan tetapi, lumayan untuk menghibur diri seusai bekerja di bawah terik matahari pada hamparan tanah terbuka, dan sebelum mandi sore.

Sementara matahari telah kewalahan menerangi hamparan persawahan di hadapan teras. Beberapa saat lagi azan magrib akan berkumandang dari masjid terdekat.

Ia tidak habis mengerti, mengapa laki-laki berusia delapan puluh tahun itu suka mengirimnya bingkisan bertabur bunga saban pagi.

Memang, ia sendiri tidak muda lagi. Sebagian kerutan di dekat mata, bibir, dan sebagian lehernya telah menunjukkan itu. Di KTP, usianya enam puluh lima tahun, meski masih memiliki gairah, dan menikah siri dengan Odang setelah menjanda selama empat belas tahun. 

Ya, sekarang bukan masa remaja dengan sapa pagi, ucapan berikut lambang dan bunga. Yang remaja itu justru cucunya, sedang giat berpacaran sekaligus merepotkan mamanya alias anaknya, karena khawatir tersesat dalam rimba pergaulan bebas.

"Nenek juga remaja," kata cucunya ketika Lia mengunjungi rumah anak sulungnya.

"Mana ada nenek remaja?"

"Remaja itu singkatan dari 'remang-remang senja', Nek."

Lia menahan tawa ketika mengingat pertemuan dan obrolan dengan cucunya tempo hari di rumah anaknya. "Remang-remang senja" itu sangat membekas. 

Memang terhitung senja, tetapi Demun telah sampai dalam senja. Kalau berbicara, suara Demun sudah bergetar. Menarik garis untuk perubahan gambar kerja juga gemetar, dan harus dibantu oleh tangan kiri.

Apakah ketika mengirim pesan aduhai itu Demun juga gemetar, ya? Aduhai, aki-aki!

Lia benar-benar berusaha menahan tawa. Apalagi diingatnya suara Demun bergetar di ponselnya, bahkan sehari bisa empat sampai enam kali. Ada saja alasan yang hendak dibicarakan Demun, dan sering kali hal-hal di luar urusan pekerjaan. 

Selama sekian tahun lalu menikah siri pun, ia tidak pernah peduli dengan cinta remaja semacam itu, sebab cintanya sudah berakhir di hati Odang. Bekerja lebih utama, apalagi masih diberi kekuatan fisik yang baik dalam situasi alam terbuka untuk sebuah proyek.

Ia menyadari bahwa dalam sisa usia yang tergolong tidak produktif lagi justru masih dipercaya oleh rekannya, Sarwan, yang merupakan bos kontraktornya. Sarwan baru empat puluhan tahun, tetapi masih memercayainya untuk bekerja sama dalam bidang jasa konstruksi.

Pertemuannya dengan Sarwan pun termasuk sebuah kebetulan. Proyek yang dikerjakannya ketika itu berada di dekat rumah Sarwan, dan ia pernah didatangi Sarwan untuk diajak bekerja sama karena ia memiliki anak buah yang terampil dan cekatan.

Proyek yang sekarang ditanganinya merupakan proyek pertama bersama Sarwan. Lia juga memberi tahu bahwa laki-laki berusia tujuh puluh tahunan bernama Odang merupakan suami sirinya, dan Sarwan tidak keberatan dalam kerja sama ini.

Sejak awal menangani proyek bersama Sarwan, ia tidak berniat berkomunikasi dengan si pemilik proyek alias Demun, karena tidak ada jalur koordinasi secara langsung antara ia dan bos developer itu. Urusannya tidak dengan Demun, titik. 

Akan tetapi, akhir-akhir ini dan saban pagi justru ia dikunjungi sapaan bertabur bunga-bunga oleh Demun. Ia tidak pernah membeberkan perihal tersebut kepada Sarwan, apalagi kepada Odang.  

Lia tidak mau direpotkan dengan apa pun yang tidak berhubungan dengan pekerjaan, terlebih waktu bekerja seharian sudah habis. Kalaupun harus berhadapan dengan preman setempat, ia sudah terbiasa dengan pergaulan semacam itu, bahkan baru saja beberapa preman pergi dari kontrakannya.

Saatnya di teras ia menunggu Odang yang sedang mandi sore di kontrakan. Keduanya memang berbeda kontrakan, karena untuk menghindari omongan orang-orang. Keduanya datang dengan satu tujuan, yaitu pekerjaan. Urusan rumah tangga, bisa dinomorsekiankan.

Tugas utama Lia berkaitan dengan pengelolaan tenaga kerja alias tukang dan kuli, sekaligus negosiasi untuk pembayaran jasa mereka. Kalau ada pekerja yang komplain mengenai pembayaran, ia selalu siap menunggu di kontrakannya.

Sementara tugas Odang berkaitan dengan pengukuran dan tata-kelola kavling. Odang dibantu oleh anak kandungnya, yaitu Bedul.

Masih ada lagi rekan sekerja mereka, yaitu Oji. Tugas Oji langsung berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan di lapangan secara teknis, selain urusan gambar dan perhitungan pembiayaan pekerjaan.

Bagi Lia, keberadaan Oji sangat mengurangi bebannya, karena Oji selalu berada di lokasi, dan petunjuk teknis bisa langsung berhubungan dengan para pekerja di lapangan. Para pekerja juga sudah mengetahui posisi Oji, sehingga kerja sama bisa lebih terkoordinasi dengan baik.

Semua memang perlu dikondisikan sesuai dengan tujuan utama, yaitu bekerja dan bekerja sama. Urusan perasaan dengan Odang, masih ada kesempatan berikutnya, dan bisa juga setiap hari, khususnya ketika malam.

Hanya saja sekarang ia harus ngobrol secara baik-baik dengan Odang. Tadi preman setempat sudah mengabarkan bahwa Odang sudah mengucapkan hal-hal menyinggung perasaan mereka, dan nyaris dikeroyok gara-gara kabar tentang semen yang hilang.

"Hanya karena kami memandang kebaikan Bu Lia sejak datang ke kampung ini," ujar seorang preman.

"Ini perasaan seorang ibu demi kebaikan bersama, Adik-adik," tanggap Lia. "Tidak seorang ibu pun yang senang pada keributan laki-laki. Kalau masih bisa diajak ngobrol santai sambil ngopi, nggak usah pakai ribut-ribut, 'kan?"

Meski begitu, toh Lia harus menggelontorkan uang untuk membeli beberapa bungkus rokok. Ya, semua itu berdasarkan pengalamannya bergaul di banyak lokasi pekerjaan dengan tujuan demi kebaikan bersama, dan sama sekali tidak pernah diketahui oleh Sarwan dan Oji.

***

Rembulan bertengger di atas atap rumah-rumah kampung dan hamparan persawahan. Senandung serangga-serangga malam semakin nyaring.

Sejak Odang datang, Lia sudah mematikan ponselnya. Ia khawatir apabila Demun tiba-tiba menghubunginya, karena Demun bisa saja sewaktu-waktu menghubunginya.

"Lain kali hati-hati kalau berbicara di warung."

"Iya, Lia."

Iya, hati-hati. Si pemilik warung di tengah lokasi proyek juga bukan rakyat biasa, melainkan preman juga, bahkan pernah membacok orang.

Bagi Lia, tidaklah sulit mendapat informasi tentang orang-orang di sekitar lokasi proyek, khususnya di kampung pelosok semacam ini. Sedikit menyentil soal kenakalan remaja dengan contoh cucunya, informasi langsung tercurah hingga obrolan dengan emak-emak berlangsung pada keesokan harinya.

Lia juga menerima permintaan para pemuda setempat yang mau terlibat dalam pekerjaan. Pekerjaan apa saja berikut berapa upahnya, akan tetapi sekian hari kemudian satu per satu mengundurkan diri karena tidak mampu melaksanakan pekerjaan dengan baik.

Bagi Lia, dengan pengunduran diri itu berarti para pekerja lokal tidak mampu menunaikan tanggung jawab dengan baik setelah kontraktor memberikan kesempatan kepada mereka. Hal swadaya masyarakat setempat telah diupayakan dan disepakati, bereslah semuanya.

Kemampuan mengelola orang-orang setempat pun yang membuatnya diandalkan sepenuhnya oleh Sarwan, bahkan Demun. Demun sudah menyaksikan sendiri, bagaimana Lia dihormati oleh gerombolan preman setempat, dan tidak seorang pekerja pun berani melawan perintah Lia ketika bekerja.

"Kalau laki-laki berurusan dengan laki-laki gara-gara hal sepele ditambah panasnya cuaca siang di lokasi, tidak mustahil jika berakhir dengan perkelahian. Mau bekerja atau mau berkelahi?"

"Iya, bekerja-lah."

"Makanya, sekali lagi, hati-hati. Kalau ada persoalan yang begitu lagi atau berhubungan dengan keamanan lingkungan, biar aku saja yang langsung menghadapinya. Mereka pasti mikir emak mereka di rumah kalau diperlakukan tidak baik oleh pemuda kampung."

Tetapi malam dan dingin tidak perlu lagi direcoki oleh persoalan seputar keamanan dan preman. Ada yang lebih perlu dilakukan oleh keduanya untuk menyatukan dingin dan hangat dalam kamar selagi harum sabun mandi masih menempel di tubuh masing-masing, dan Nek Imah sedang menginap di rumah anaknya.

***

Kejujuran adalah keutamaan dalam hidup
Kemujuran tidak pernah meninggalkan orang jujur
Selamat memulai pagi dengan senyum dari sisa embun

Lia mengingat sapaan pagi yang mendadak buyar ketika bertemu dengan Demun di ruang pemasaran pada suatu siang. Ia sama sekali tidak menyangka, secepat itu embun menjelma percikan ludah dari mulut Demun.

"Saya sudah berulang kali mengingatkan, dahulukan pekerjaan di Blok H!"

Selanjutnya Lia, Sarwan, dan Oji hanya mendengarkan luapan emosi Demun dengan nada tinggi dan rona merah membungkus wajahnya. Anaknya Demun yakni Desy, dan dua anak buah Demun terdiam. Zaenab sudah menyingkir ke teras.

"Sarwan! Bu Lia! Bisa mendengar kata-kata saya?!"

"Bisa, Pak," sahut Sarwan.

Demun melanjutkan bahwa Blok H harus menjadi prioritas, karena akan segera dibangun. Selain posisi blok berada paling ujung, juga merupakan proyek yang disubsidi oleh pemerintah, dan paling depan dalam pemasaran. Sedangkan blok lainnya bisa dinomorberikutnya, karena sudah tergolong proyek komersial.

Ketinggian permukaan lahan di blok itu pun harus dipangkas lagi. Tanah pangkasannya harus dialokasikan ke lahan yang masih memungkinkan untuk ditimbun.

"Kalian mau bekerja dengan saya atau mau seenak kalian sendiri?"

Tiba-tiba Sarwan bangkit dari kursi, lalu bergerak ke arah gambar besar rencana lokasi. Sarwan menerangkan perihal pekerjaan di Blok H beserta kendala-kendalanya.

Lia melirik ke Demun yang sedang menyaksikan Sarwan berargumentasi. Wajah Demun tidak merona merah lagi.

"Nah, Pak, bukannya kami mau seenak kami sendiri, tetapi kami selalu memikirkan risiko-risikonya. Kita semua tidak mau berisiko, apalagi terpaksa rugi karena keputusan-keputusan yang keliru," ujar Sarwan.

"Kalau begitu, pekerjaan sebelumnya harus dahulukan, ya?"

"Oh, jelas, Pak," sahut Sarwan dengan nada agak tinggi. "Kita belum selesai membahas soal rencana gambar kerja berikut total harganya. Oji baru mencetak sesuai dengan gambar yang kemarin Bapak buat."

"Pak Oji bisa jelaskan pada saya?" Pandangan Demun beralih ke Oji.

"Baik, Pak," jawab Oji sambil membuka lembaran gambar yang tadi dicetak dengan meminjam printer di ruang pemasaran itu. "Ini gambar dari Bapak, dan ini yang saya benahi sekaligus lengkapi."

Suasana pun berubah drastis. Oji menerangkan perihal gambar awal, pembenahan, dan jenis materialnya. Selanjutnya Oji dan Demun sudah suntuk pada gambar perencanaan, termasuk foto-foto yang didapatkan oleh Demun di beberapa tempat entah di mana, seakan tidak lagi menggubris keberadaan orang-orang di sekelilingnya.

Tidak cukup begitu, Desy yang bertitel "Arsitek" terlibat urun rembug, meski gambar yang disuguhkannya berasal dari unduhan di internet. Itu pun berarti gambar dari Demun dan pembenahan dari Oji sama sekali tidak berlaku lagi.

Aduhai, berubah lagi, pikir Lia. Beginilah repotnya bekerja dengan developer yang terlalu kikir sehingga tidak sudi menggunakan jasa konsultan perencana.

Dengan kode telunjuk dan jari tengah di bibir, Lia diajak Sarwan keluar dari ruangan. Perlahan Sarwan meninggalkan ruangan dan duduk lesehan di teras samping, disusul oleh Lia.

Lia dan Sarwan sudah saling memahami mengenai semua pembahasan akan berujung pada harga. Kalau sudah sampai di ujung, negosiasi bisa terjadi dengan lompat-melompati. Kalau Sarwan bertahan dengan angka 50, Demun akan menghubungi Lia agar bisa mendapat angka di bawah bahkan jauh dari 50.

"Kok malah kita yang menyodorkan gambar detail dan harga, ya, Pak?" Lia agak lirih supaya tidak didengar oleh selain Sarwan.

"Mungkin ini saatnya kita, Bu. Kita harus menyiasati situasi semacam ini. Untung Oji segera bergabung, dan berhitung. Kemarin-kemarin kita remuk, jangan sampai besok-besok kita jadi rongsokan, Bu."

Lia dan Sarwan tertawa lirih. Sesekali Lia meneguk minuman dalam kemasan botol tanggung yang selalu menemaninya. Begitu pula dengan Sarwan.

Matahari sudah tidak di tengah langit. Sebagian preman masih bergerombol di teras. Di situ juga duduklah Zaenab, sopirnya Demun, dua anak buah Demun untuk urusan lokasi, dan seorang calon kontraktor lainnya.

Lia menoleh ke teras ketika Oji sedang berjalan untuk mengirup udara luar. Dua anak buah Demun masuk ke ruang pemasaran.

"Bang Oji!" Lia memanggil dengan lirih sambil melambai ke arah Oji.

Oji  menoleh ke arah suara. "Sini," panggil Lia.

Lia menunggu Oji bergerak ke arahnya. Sebentar saja Oji sudah berada di dekatnya.

"Bang Oji, kata Zaenab, tadi Pak Demun marah-marah sambil menggebrak meja, ya? Emangnya ada masalah apa, sih?"

"Waduh, saya nggak terlalu menghiraukannya, Bu. Saya konsen dengan urusan nge-print gambar dan rencana anggaran. Seharusnya printer kita ada sendiri di bedeng."

Jangan-jangan Demun marah karena kehadirannya tidak dihiraukan oleh Oji, pikir Lia.

Tadi, sebelum Demun datang, Oji memang terpaksa meminjam printer di ruang pemasaran, dan tetap fokus dengan hasil cetakan agar memudahkan untuk dibahas. Pada saat bersamaan, Lia dan Sarwan sedang bersantapsiang di rumah kontrakan Lia.

Sementara bedeng alias direksi keet mereka memang belum ada, sehingga tidak bisa menjadi tempat bekerja selama berada di lokasi. Demun belum memberi dana untuk pembangunannya, padahal itu kewajiban developer, dan seharusnya tertuang dalam kontrak kerja di bagian Persiapan.

***

Seorang bos kontraktor diborgol. Dua aparat mendampinginya. Sinar lampu kamera awak media menerpa wajah-wajah mereka.

Berita pagi kiriman Demun tentang sebuah sekolah negeri yang ambruk itu diingat oleh Lia. Lia menganggap kiriman Demun sebagai peringatan supaya tidak bermain-main dengan pekerjaan.

Tentu saja Lia tidak suka bermain-main dengan pekerjaannya. Belum lama ini, ketika hujan besar melanda di sebuah tempat yang pernah menjadi proyeknya, ada pekerjaannya yang rusak berat karena hujan, meskipun para pekerja sudah menunaikan pekerjaan sesuai dengan perintah dan gambar dari pemberi kerja.

Maka, pada pagi menjelang siang dalam sebuah pertemuan mendadak di ruang pemasaran itu Lia memberi sinyal keseriusannya pada Demun. Kemarin sore Sarwan dan Demun sudah membahasnya, dan hari ini urusannya adalah kontrak kerja untuk pekerjaan baru berupa pembuatan selokan di kanan-kiri jalan utama.

Tidak ada Sarwan dan Oji yang biasa mendampingi Lia. Hanya Odang, karena pekerjaannya masih dalam proses. Sementara dua anak buah Demun duduk dengan sikap tegak di kursi sampingnya.

Lia berpikir, memang cukuplah dirinya untuk urusan kontrak kerja, karena hasil pertemuan dengan Demun kemarin sudah disampaikan Sarwan. Tinggal berapa nanti hasil negosiasi harganya dengan patokan yang sudah tidak mungkin ditawar lagi.

Selama ini Lia merasa timnya bekerja sebagai kuli, bukannya kontraktor umumnya. Kontraktor rasa kuli, dan developer rasa mandor.

Bagi Lia, Demun sangat keterlalu dengan selalu menyodorkan harga paling dasar, bahkan pada harga material yang langsung dari harga pabrik. Demun tidak pernah mau berpikir dan berhitung bahwa material dari pabrik tidaklah diangkut secara gratis untuk tiba di lokasi.

Kenyataannya, hari ini, babak baru dimulai. Angka sudah disepakati, dan harganya lebih bagus daripada sebelum-sebelumnya.

Lia pun senang sekali, karena dengan harga yang bagus, ia bisa lebih leluasa mengelola para pekerja dan preman-preman setempat. Yang terpenting baginya adalah pekerjaan bisa dilaksanakan dengan taburan senyum dari orang-orang di sekitarnya.

Kali ini tinggal penandatanganan kontrak kerjanya, dan sudah ditandatanganinya. Lia pun meyakini bahwa hari ini ia dan tim kontraktor bisa lebih bergairah untuk memenuhi permintaan Demun.

"Pak Odang," kata Demun sambil berpaling pada Odang.

Tak ayal Lia menoleh ke Odang sambil menunggu apa yang akan ditanyakan Demun pada Odang.

"Ya, Pak."

"Menurut Bapak, apakah sudah perlu mengerjakan selokan ini?"

"Begini, Pak. Sampai hari ini pekerjaan perapian lahan belum selesai. Eksa dan dumtruck juga masih bekerja. Timbunan tanah masih berbukit-bukit. Arti kata, belum waktunya dikerjakan."

Seketika Lia meraih lembaran kontrak di meja, lalu merobeknya di depan Demun dan Odang. Demun dan Odang melongo. Ruang mendadak hening.

*******
Ruang Lebur Cibubur, November 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun