Ia duduk dengan gamang di beranda. Gundah sedang membuncah. Antara kecewa, sedih, berusaha bersyukur, menerima kenyataan tetapi tetap berharap, dan entah apa lagi.
Beberapa hari ini puisi-puisinya tidak laku. Padahal ia sudah menambah wilayah berjualan keliling. Tidak seorang pun berminat untuk membeli, meski hanya sebutir. Bahkan, ia sudah menjual dengan sistem paket, yaitu beli satu dapat satu.
Mungkin orang-orang sudah tidak membutuhkan puisi, pikirnya.
Di sudut rumahnya senja mengelupas kencana. Temaram semakin mengepung. Ia pun beranjak untuk masuk. Sementara satu pohon puisi sedang berbuah matang dekat beranda, dibiarkannya.
***
Ia pekebun sekaligus penjaja puisi. Orang-orang di sekitarnya sangat mengenalnya sebagai pengusaha puisi, meski hanya tinggal di rumah puisi yang berada di sebuah lahan yang ditanaminya dengan aneka pohon puisi.
Ia memang hidup dari puisi. Lahan miliknya di sekeliling rumah dikelolanya menjadi kebun puisi. Pohon-pohon puisi ditanam dan dirawatnya dengan sepenuh hati. Pupuk rutin diberikan. Penghalau hama selalu siaga.
Ada kalanya ia suntuk pada beberapa pohon puisi yang tengah berputik. Ia memangkas ranting dan daun agar nutrisi tidak sia-sia. Nutrisi harus benar-benar mengalir ke bakal buah sehingga buah bisa menampung nutrisi, menjadi lebih besar, dan lezat.
Ia berprinsip bahwa beberapa pohon puisi unggulan haruslah berbuah puisi, bukannya beranting dan berdaun puisi. Kalau ranting dan daun cenderung melahap nutrisi, buahnya bisa kalah dan, tentu saja, sayang sekali.
Ya, setiap pohon berbuah pada waktu atau situasi tertentu. Ada pohon puisi subuh, pohon puisi pagi, pohon puisi siang, sore, dan malam. Ada pohon puisi musiman, misalnya pohon puisi hujan, kemarau, peristiwa, dan lain-lain. Ada pohon puisi suasana, misalnya pohon puisi luka, duka, sepi, gembira, kelakar, marah, dan lain-lain.
Selain itu beberapa pohon lainnya dibiarkan rimbun. Ranting dan daun bebas memenuhi pohon. Di situ burung-burung liar dan aneka serangga sering singgah dan bersenandung. Ada juga yang membuat sarang. Kalaupun berbuah, ia sengaja berbagi kehidupan.
***
Suatu malam ia dikunjungi kawannya, yang juga pekebun puisi. Tentu saja ia dan kawannya tidak akan memetik buah puisi yang khusus matang pada malam hari.
Di beranda rumah ia berbincang-bincang dengan kawannya mengenai puisi. Tidak lupa ia menyampaikan kegundahannya karena sejak sekian hari puisi-puisinya tidak laku.
Ia tidak perlu larut dalam muram dan gerah segala gundah, nasihat kawannya. Persoalan puisi tidak laku bukanlah hanya dialaminya seorang diri. Tidak sedikit pekebun puisi mengalami bahkan bangkrut lalu menggadaikan kebun puisi ke para pekebun politik atau pengelola iklan. Semua itu lumrah dan jamak.
Kawannya membagi kemungkinan yang sering dipungut dari mulut orang-orang. Kata kawannya, puisi yang manis meski layu masih digemari banyak orang. Puisi yang berkulit indah, juga masih diminati. Puisi yang hanya berakibat pusing. Puisi yang masam atau kecut dengan kulit tipis pun tidak pernah sekadar memenuhi keranjang lalu dibawa pulang lagi.
Kawannya pun menyebutkan contoh buah-buah puisi yang selalu laku di pasaran, baik di kalangan pengepul maupun secara satuan di kampung-kampung. Kawannya menyebutkan nama-nama pekebun puisi itu. ia mengangguk-angguk karena mengetahui siapa saja yang disebutkan oleh kawannya.
Lalu kawannya menyarankan ia mengelana sebentar ke daerah-daerah yang berkebun puisi dan selalu ramai pengunjung bahkan tengkulak puisi. Mungkin perlu mencari bibit puisi baru, yang unggul, dan paling diminati orang-orang. Sebab, kata kawannya, hidup dari puisi haruslah cermat mengamati kecenderungan minat pasar, dan cerdas mengatur strategi pemasaran.
***
Suatu waktu ia harus keluar dari kebunnya untuk mencoba saran kawannya. Dengan pakaian dan perlengkapan seorang pengelana, ia menyambangi satu wilayah ke wilayah lainnya. Buku catatan tidak pernah betah dalam ranselnya karena setiap saat selalu menampilkan dinamika bisnis puisi.
Ada wilayah yang selalu padat peminat puisi pagi. Ia mencicipi sebutir puisi pagi itu. Tetapi lidahnya menemukan rasa yang lain dari puisi pagi miliknya. Begitu juga ketika menyambangi wilayah lain dengan puisi siang, sore, dan malam.
Apakah ia pun akan menanam bibit pohon puisi semacam itu? Ia tidak berani bereksperimen di kebun puisinya nanti, meski saran kawannya pun bergema bahwa hidup dari puisi haruslah cermat mengamati kecenderungan minat pasar dan cerdas mengatur strategi pemasaran.
Waktu pengelanaan yang panjang. Buku catatannya selalu habis hingga bertumpuk memenuhi ranselnya. Ia berterima kasih pada kawannya, meski terucap dalam hati. Ia pun bersyukur atas pengalaman-pengalaman selama pengelanaan berlangsung.
Cukuplah dulu pengalaman itu. Akhirnya ia memutuskan untuk pulang.
***
Rumah dan kebun puisi terbayang-bayang dalam perjalanan pulangnya. Meski sudah melihat puisi-puisi yang diminati banyak orang, ia tetap enggan membeli bibit-bibit puisi semacam itu. Barangkali ia memang seorang pekebun puisi paling keras kepala.
Mendekati wilayah perkebunan puisi ia berfirasat bahwa telah terjadi sesuatu pada rumah dan kebun puisinya selama ia berkelana. Namun firasat itu dienyahkannya karena niat semula mengelana bukanlah untuk mempertahankan diri dalam kemungkinan yang disimpulkan secara mutlak tanpa peluang pada suatu kesempatan berbeda.
Sesampai di gerbang kebun puisi, ia tercengang. Beberapa pohon puisi hanya menampilkan daun dan ranting. Padahal, biasanya, pohon-pohon itu selalu berbuah.
Ah, mungkin karena posisi pohon-pohon itu di pinggir jalan sehingga orang bisa leluasa memetik buahnya, gumamnya.
Ia mencoba untuk meredakan ketercengangan, meski pada jalan setapak menuju rumahnya terlihat pohon-pohon puisinya mengalami nasib yang sama. Ia terus mencoba menekan tumbuhnya tunas-tunas gundah yang baru.
Bukankah ketabahan selalu menjadi bagian penting bagi seorang pekebun puisi, pikirnya.
Tetapi ia mengalami kegagalan menahan laju pertumbuhan gundah ketika ditemukannya rumah puisinya tinggal kerangka. Segala perabotannya pun tanpa tersisa. Hanya terlihat buku-buku catatannya yang berantakan dengan kondisi mengenaskan. Tidak luput pula ia menemukan kotoran orang di beranda rumahnya.
Ia rebah dalam tindihan gundah yang tidak bisa ditanggungnya. Sebatang tunas puisi tumbuh begitu cepat dari tubuhnya. Sebentar saja sudah terlihat daun dan ranting. Lalu berputik, dan berbuah puisi pisau berkilau-kilau.
*******
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H