***
Suatu malam ia dikunjungi kawannya, yang juga pekebun puisi. Tentu saja ia dan kawannya tidak akan memetik buah puisi yang khusus matang pada malam hari.
Di beranda rumah ia berbincang-bincang dengan kawannya mengenai puisi. Tidak lupa ia menyampaikan kegundahannya karena sejak sekian hari puisi-puisinya tidak laku.
Ia tidak perlu larut dalam muram dan gerah segala gundah, nasihat kawannya. Persoalan puisi tidak laku bukanlah hanya dialaminya seorang diri. Tidak sedikit pekebun puisi mengalami bahkan bangkrut lalu menggadaikan kebun puisi ke para pekebun politik atau pengelola iklan. Semua itu lumrah dan jamak.
Kawannya membagi kemungkinan yang sering dipungut dari mulut orang-orang. Kata kawannya, puisi yang manis meski layu masih digemari banyak orang. Puisi yang berkulit indah, juga masih diminati. Puisi yang hanya berakibat pusing. Puisi yang masam atau kecut dengan kulit tipis pun tidak pernah sekadar memenuhi keranjang lalu dibawa pulang lagi.
Kawannya pun menyebutkan contoh buah-buah puisi yang selalu laku di pasaran, baik di kalangan pengepul maupun secara satuan di kampung-kampung. Kawannya menyebutkan nama-nama pekebun puisi itu. ia mengangguk-angguk karena mengetahui siapa saja yang disebutkan oleh kawannya.
Lalu kawannya menyarankan ia mengelana sebentar ke daerah-daerah yang berkebun puisi dan selalu ramai pengunjung bahkan tengkulak puisi. Mungkin perlu mencari bibit puisi baru, yang unggul, dan paling diminati orang-orang. Sebab, kata kawannya, hidup dari puisi haruslah cermat mengamati kecenderungan minat pasar, dan cerdas mengatur strategi pemasaran.
***
Suatu waktu ia harus keluar dari kebunnya untuk mencoba saran kawannya. Dengan pakaian dan perlengkapan seorang pengelana, ia menyambangi satu wilayah ke wilayah lainnya. Buku catatan tidak pernah betah dalam ranselnya karena setiap saat selalu menampilkan dinamika bisnis puisi.
Ada wilayah yang selalu padat peminat puisi pagi. Ia mencicipi sebutir puisi pagi itu. Tetapi lidahnya menemukan rasa yang lain dari puisi pagi miliknya. Begitu juga ketika menyambangi wilayah lain dengan puisi siang, sore, dan malam.
Apakah ia pun akan menanam bibit pohon puisi semacam itu? Ia tidak berani bereksperimen di kebun puisinya nanti, meski saran kawannya pun bergema bahwa hidup dari puisi haruslah cermat mengamati kecenderungan minat pasar dan cerdas mengatur strategi pemasaran.