Waktu pengelanaan yang panjang. Buku catatannya selalu habis hingga bertumpuk memenuhi ranselnya. Ia berterima kasih pada kawannya, meski terucap dalam hati. Ia pun bersyukur atas pengalaman-pengalaman selama pengelanaan berlangsung.
Cukuplah dulu pengalaman itu. Akhirnya ia memutuskan untuk pulang.
***
Rumah dan kebun puisi terbayang-bayang dalam perjalanan pulangnya. Meski sudah melihat puisi-puisi yang diminati banyak orang, ia tetap enggan membeli bibit-bibit puisi semacam itu. Barangkali ia memang seorang pekebun puisi paling keras kepala.
Mendekati wilayah perkebunan puisi ia berfirasat bahwa telah terjadi sesuatu pada rumah dan kebun puisinya selama ia berkelana. Namun firasat itu dienyahkannya karena niat semula mengelana bukanlah untuk mempertahankan diri dalam kemungkinan yang disimpulkan secara mutlak tanpa peluang pada suatu kesempatan berbeda.
Sesampai di gerbang kebun puisi, ia tercengang. Beberapa pohon puisi hanya menampilkan daun dan ranting. Padahal, biasanya, pohon-pohon itu selalu berbuah.
Ah, mungkin karena posisi pohon-pohon itu di pinggir jalan sehingga orang bisa leluasa memetik buahnya, gumamnya.
Ia mencoba untuk meredakan ketercengangan, meski pada jalan setapak menuju rumahnya terlihat pohon-pohon puisinya mengalami nasib yang sama. Ia terus mencoba menekan tumbuhnya tunas-tunas gundah yang baru.
Bukankah ketabahan selalu menjadi bagian penting bagi seorang pekebun puisi, pikirnya.
Tetapi ia mengalami kegagalan menahan laju pertumbuhan gundah ketika ditemukannya rumah puisinya tinggal kerangka. Segala perabotannya pun tanpa tersisa. Hanya terlihat buku-buku catatannya yang berantakan dengan kondisi mengenaskan. Tidak luput pula ia menemukan kotoran orang di beranda rumahnya.
Ia rebah dalam tindihan gundah yang tidak bisa ditanggungnya. Sebatang tunas puisi tumbuh begitu cepat dari tubuhnya. Sebentar saja sudah terlihat daun dan ranting. Lalu berputik, dan berbuah puisi pisau berkilau-kilau.