Setelah mengucapkan itu Puisi pun pamit. Ayam jago belum mau berhenti berkokok. Suara jangkrik sudah serak.
Aku bisa memahami dengan menduga bahwa Puisi sedang kecewa padaku. Kupikir, biasalah Puisi kecewa. Puisi biasa terluka. Puisi biasa berduka. Puisi biasa bergirang. Puisi terbiasa dengan segala suasana-suasini-suasitu. Antara kecewa dan tertawa, keduanya bisa terjadi dalam satu kesempatan melanda dirinya. Puisi memang kawanku yang paling tabah sedunia.
***
Secangkir kopi dan beberapa gabin mengorbankan diri di sudut lancip matahari. Terkadang memang begitulah persembahan pagi yang menyenangkan bagiku setelah aku tidur selama sedikit jam saja.
Kelakson motor para penjual bahan makanan bergantian menyusuri jalan aspal sempit di sekitar kompleks. Disusul teriakan penjaja ikan laut, dan obrolan beberapa pelajar hendak berangkat sekolah dengan berjalan kaki.
"Selamat pagi, Oji."
"Selamat pagi, Puisi. Tapi aku minta maaf sebelum telanjur panjang-lebar-tinggi," sahutku dengan nada agak pelan karena situasi pagi telah kupahami sebagai waktu terbitnya harapan, dan terlaksananya semua gagasan yang direncanakan orang-orang sebelum tidur tadi malam.
"Minta maaf untuk apa?" Puisi pun mendekatiku.
Aku segera menjauhkan kopi dan gabinku darinya supaya tidak dijangkaunya. Kebiasaan Puisi memang begitu : selalu menghabiskan hidangan sarapanku. Aku hafal tabiatnya. Ya, dua tahun pergaulan bebas dengannya secara intens bukanlah waktu yang singkat dalam pengenalan pribadinya.
"Cuma ingin kamu mengerti."
"Bukankah aku selalu mengerti, Oji?" Matanya sangat tajam dan runcing mengarah pada mataku. "Pada saat kamu mengalami hal-hal yang sangat menyengat perasaanmu, aku selalu kamu panggil untuk kamu ajak curhat. Terlebih jika kemudian sengatan itu menyiksamu melebihi sengatan selaksa lebah, akulah yang paling kamu butuhkan. Cinta sekerat sedang sekarat. Duka sedalam samudera sedang mendera. Entah berapa banyak lagi yang selama ini kumengerti."