Mungkin sekitar dua tahun inilah aku baru bergaul dengan Puisi secara intens. Padahal, seingatku, aku mengenal Puisi secara lumayan dimulai sewaktu SMP dengan "Aku Binatang Jalang". Tapi, waktu itu aku lebih jalang. Aku pernah dikeluarkan dari kelas oleh guru Bahasa Indonesia dan disuruh membersihkan toilet karena aku tidak mengerjakan PR Bahasa Indonesia.
"Ah, kamu bikin pengakuan dosa lagi," komentar Puisi pada waktu layar komputer jinjingku menunjukkan angka 02:35.
"Dosa itulah yang membuatku menjadi tergila-gila padamu."
"Kamu memang gila, Oji."
"Ah, kamu selalu bilang begitu kalau sudah begini."
Ya, selama dua tahun ini, aku menduga Puisi selalu bilang begitu kalau sudah begini dalam suasana tanpa repot melakukan banyak hal. Orang-orang di sekitarku sudah terlelap dalam beragam mimpi. Yang selalu terlihat repot di dekatku hanyalah cecak.
Dan, aku memang tergila-gila pada Puisi. Bagiku, Puisi penuh pukauan. Kalau tidak sedang ngobrol dengan Puisi, aku selalu mencari apa saja yang berkaitan dengan Puisi. Dari pendapat orang-orang, misalnya Mario F. Lawi, Aan Mansyur, Hasta Indriyana, Ali Arsy, Cunong Nunuk suraja, Saut Situmorang, Joko Pinurbo, Sapardi Djoko Damono, Afrizal Malna, W.S. Rendra, Remy Silado, dan lain-lain, aku selalu mencari informasi tentang Puisi.
***
Ayam tetangga sudah berkokok. Pukul 02.55. Jangkrik belum berhenti bernyanyi. Seekor-dua ekor nyamuk mencuri kesempatan.
"Kamu sedang menulis apa lagi?" tanya Puisi tiba-tiba.
"Tentang hubungan kita."
"Untuk apa kamu tuliskan? Bukankah itu berarti kamu mengumbar kisah perselingkuhan kita?"
"Seperti yang sering kamu komentarkan itu. Pengakuan dosa."
"Jadi, kamu menganggap hubungan kita ini merupakan dosa?" Matanya melotot seakan hendak membetot isi kepalaku.
Ayam masih berkokok. Aku malah teringat pada Simon Petrus. Ya, dalam kesendirian menyiasati waktu dan gagasan, terkadang kokok ayam langsung mencokok Simon Petrus untuk berdiri di hadapanku. Serta-merta aku menjelma terdakwa di hadapan pengganti Pontius Pilatus itu.
"Kamu jangan ngarang, Ji. Dari mana sumber bacaanmu, Simon Petrus menggantikan posisi Pontius Pilatus?"
"Dari fiksi yang sedang kutuliskan ini."
"Janganlah kamu anggap fiksi itu boleh begini-begitu. Riset harus memadai, Ji."
Kali ini aku melihat Puisi menggantikan Petrus. Sebilah pedang terhunus, dan siap memotong telingaku. Bayang-bayang Themis pun muncul, lengkap dengan pedang dan timbangan. Aku tertegun. Tapi segera kutepiskan bayang-bayang Themis.
"Logikamu selalu loncat sana lompat sini. Akrobat tidak tepat tempat dan saat," katanya sambil menunjuk-nunjuk jidatku yang mulai kehilangan penghuni. "Risetmu cetek. Data-datamu dangkal. Analisismu abal-abal. Padahal fiksi tidaklah begitu."
"Aku tidak suka dengan logika lurus-rus. Realis, surealis, dan absurd bisa sesuka-sukaku menjadi satu dalam fiksi. Fiksiku pun berdasarkan data-data fiktif. Kalau berdasarkan fakta, mungkin aku akan menulis berita, opini, feature, karya ilmiah, dan seterusnya, selain fiksi."
"Kamu selalu berapologi, Ji. Para pembaca bukanlah masih balita. Mereka orang-orang dewasa, bahkan sebagian sangat menguasai apa itu fiksi. Kamu masih ingat, 'kan, apa komentar Joni Ariadinata tempo hari? Mohon jangan kamu remehkan para pembaca, Oji."
Setelah mengucapkan itu Puisi pun pamit. Ayam jago belum mau berhenti berkokok. Suara jangkrik sudah serak.
Aku bisa memahami dengan menduga bahwa Puisi sedang kecewa padaku. Kupikir, biasalah Puisi kecewa. Puisi biasa terluka. Puisi biasa berduka. Puisi biasa bergirang. Puisi terbiasa dengan segala suasana-suasini-suasitu. Antara kecewa dan tertawa, keduanya bisa terjadi dalam satu kesempatan melanda dirinya. Puisi memang kawanku yang paling tabah sedunia.
***
Secangkir kopi dan beberapa gabin mengorbankan diri di sudut lancip matahari. Terkadang memang begitulah persembahan pagi yang menyenangkan bagiku setelah aku tidur selama sedikit jam saja.
Kelakson motor para penjual bahan makanan bergantian menyusuri jalan aspal sempit di sekitar kompleks. Disusul teriakan penjaja ikan laut, dan obrolan beberapa pelajar hendak berangkat sekolah dengan berjalan kaki.
"Selamat pagi, Oji."
"Selamat pagi, Puisi. Tapi aku minta maaf sebelum telanjur panjang-lebar-tinggi," sahutku dengan nada agak pelan karena situasi pagi telah kupahami sebagai waktu terbitnya harapan, dan terlaksananya semua gagasan yang direncanakan orang-orang sebelum tidur tadi malam.
"Minta maaf untuk apa?" Puisi pun mendekatiku.
Aku segera menjauhkan kopi dan gabinku darinya supaya tidak dijangkaunya. Kebiasaan Puisi memang begitu : selalu menghabiskan hidangan sarapanku. Aku hafal tabiatnya. Ya, dua tahun pergaulan bebas dengannya secara intens bukanlah waktu yang singkat dalam pengenalan pribadinya.
"Cuma ingin kamu mengerti."
"Bukankah aku selalu mengerti, Oji?" Matanya sangat tajam dan runcing mengarah pada mataku. "Pada saat kamu mengalami hal-hal yang sangat menyengat perasaanmu, aku selalu kamu panggil untuk kamu ajak curhat. Terlebih jika kemudian sengatan itu menyiksamu melebihi sengatan selaksa lebah, akulah yang paling kamu butuhkan. Cinta sekerat sedang sekarat. Duka sedalam samudera sedang mendera. Entah berapa banyak lagi yang selama ini kumengerti."
Aku memang selalu memanggilnya, baik dalam situasi senang maupun sedih atau banyak sirkulasi emosional. Bahkan, tidak jarang aku mendatangi Puisi untuk bersembunyi supaya orang-orang tidak mudah menemukanku dengan kondisiku yang sesungguhnya mengenai suatu situasi atau tekanan tertentu. Puisi pun selalu mampu mengerti apa yang sedang kualami. Â
"Sekali lagi aku minta maaf. Aku sedang ingin menyelesaikan tulisanku ini."
Tanpa kata pamit Puisi langsung berpaling, dan melangkah tergesa-gesa. Aku mendadak kaku sambil tetap menatap punggungnya yang semakin menjauh. Â Â
*******
Kelapa Lima, Kupang, 29-11-2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H