"Untuk apa kamu tuliskan? Bukankah itu berarti kamu mengumbar kisah perselingkuhan kita?"
"Seperti yang sering kamu komentarkan itu. Pengakuan dosa."
"Jadi, kamu menganggap hubungan kita ini merupakan dosa?" Matanya melotot seakan hendak membetot isi kepalaku.
Ayam masih berkokok. Aku malah teringat pada Simon Petrus. Ya, dalam kesendirian menyiasati waktu dan gagasan, terkadang kokok ayam langsung mencokok Simon Petrus untuk berdiri di hadapanku. Serta-merta aku menjelma terdakwa di hadapan pengganti Pontius Pilatus itu.
"Kamu jangan ngarang, Ji. Dari mana sumber bacaanmu, Simon Petrus menggantikan posisi Pontius Pilatus?"
"Dari fiksi yang sedang kutuliskan ini."
"Janganlah kamu anggap fiksi itu boleh begini-begitu. Riset harus memadai, Ji."
Kali ini aku melihat Puisi menggantikan Petrus. Sebilah pedang terhunus, dan siap memotong telingaku. Bayang-bayang Themis pun muncul, lengkap dengan pedang dan timbangan. Aku tertegun. Tapi segera kutepiskan bayang-bayang Themis.
"Logikamu selalu loncat sana lompat sini. Akrobat tidak tepat tempat dan saat," katanya sambil menunjuk-nunjuk jidatku yang mulai kehilangan penghuni. "Risetmu cetek. Data-datamu dangkal. Analisismu abal-abal. Padahal fiksi tidaklah begitu."
"Aku tidak suka dengan logika lurus-rus. Realis, surealis, dan absurd bisa sesuka-sukaku menjadi satu dalam fiksi. Fiksiku pun berdasarkan data-data fiktif. Kalau berdasarkan fakta, mungkin aku akan menulis berita, opini, feature, karya ilmiah, dan seterusnya, selain fiksi."
"Kamu selalu berapologi, Ji. Para pembaca bukanlah masih balita. Mereka orang-orang dewasa, bahkan sebagian sangat menguasai apa itu fiksi. Kamu masih ingat, 'kan, apa komentar Joni Ariadinata tempo hari? Mohon jangan kamu remehkan para pembaca, Oji."