Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebatang Pohon Sempoyongan

4 Juli 2017   09:04 Diperbarui: 4 Juli 2017   09:24 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak jarang, ketika tengah malam hingga menjelang subuh, saya bekerja di Panggung Renung seolah sekaligus merangkap sebagai anggota keamanan RT karena posisi bangunan yang lebih tinggi, dengan olokan beberapa warga ketika sedang jeda rapat RT, "Situasi amankah?"

Tentu saja aman. Di bawah Panggung Renung pun sudah bersiaga dua ekor anjing saya. Ada apa-apa, baik manusia tidak jelas maupun hewan liar semisal ular, kedua anjing saya selalu menggonggong. Beberapa malam ini keduanya rajin menggonggong tetapi segera diam apabila saya membuka pintu masuk Panggung Renung.

Selain soal situasi, ada satu lagi pertanyaan yang pernah dilontarkan oleh beberapa tetangga di RT kami. Tidak panaskah berada dalam Panggung Renung yang berbungkus seng itu? Saya pun berseloroh, kalau panas, tentu saja saya akan memasang AC. Tapi saya segera menunjuk pohon itu; pelindung dari panas yang mencoba mengusik saya. Saya tidak perlu mengerti, apakah mereka memahami alasan saya.

Sudah 2 tahun usia Panggung Renung berkawan sebatang pohon itu. Lagi-lagi pohon itu entah apa namanya. Saya selalu kecewa sendiri jika berusaha mencari tahu namanya. Saya tidak pernah menemukan pohon semacam itu sejak di kampung halaman saya, kampung halaman Ibu atau Ayah, atau malah ketika saya berada di Kupang, NTT selama sekian bulan. 

Sudahlah soal nama pohon itu. Di beranda ini, dengan secangkir kopi, angin semilir, gemerisik bambu, dan kicau burung pun membujuk saya untuk melupakan soal pohon itu lantas mengenang masa lalu di Bangka agar bisa menyemangati keseharian saya dalam memenuhi kebutuhan hidup di perantauan.

Angin membelai kulit telanjang saya. Biasanya, di beranda Panggung Renung saya bisa tertidur sejenak, dan terpenggallah segala lamunan-kenangan. Tidak ada seorang pun yang mau iseng mengganggu istirahat saya. Hanya saja, terkadang ramai kicau burung liar membangunkan saya.

Tapi di manakah burung-burung itu sekarang? Mengapa tidak singgah di pohon itu?

Hati saya tergerak untuk mencari, adakah seekor-dua ekor burung sedang menikmati makan sore di pohon itu. Saya menegakkan tubuh lalu memutar pandangan, dari serumpun bambu ke sebatang pohon di depan beranda.

 Astaga! Posisi batang pohon itu miring dari posisi tegaknya semula.

Seketika saya berdiri, mengamati kemiringannya. Pada bagian bawah batang miringnya seakan menyentuh pagar kayu ulin.

Seingat saya, kemarin-kemarin dahan dan ranting masih berada sekian centimeter dari beranda tapi kini menjauh sekitar 2 meter. Dan sebagian dahannya tampak berposisi di atas atap seng rumah tetangga, yang terletak di lahan rata tapi di bawah batas halaman belakang dan Panggung Renung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun