Saya segera turun melalui pintu kecil di samping beranda untuk memastikan kondisinya. Saya perkirakan kemiringannya mencapai 20 dari tegak semula. Bagian bawah kemiringannya sudah bersinggungan dengan pagar bahkan kayu ulin pagar tampak menopang pohon itu.
Angin yang berembus membuat suara gesekannya terdengar sayup-sayup, yang semula saya kira adalah pergesekan antarbatang bambu. Dedahan-rerantingnya melambai-lambai seakan sangat sempoyongan, meski kayu ulin masih berusaha keras menopangnya. Kedua anjing saya sesekali menggonggong menghadap pergesekan antara batang pohon dan kayu ulin pagar.
Pandangan saya menurun ke pangkal pohon. Tidak ada akar yang mencuat. Tidak ada tanah yang terbongkar. Tapi, oh, pangkalnya sudah patah! Seketika saya panik.
Patahannya serius karena pohon itu mudah patah. Saya pernah mematahkan dahan-dahannya dengan tangan begitu saja. Embusan angin dan lambaian dedaunannya semakin memanikkan saya.
Mendung kian mengepung langit. Matahari tidak berdaya, sebentar lagi akan terkepung. Bayangan mendung dan hujan kian matang. Mungkin bisa medadak turun turut.
Kepanikan bertambah. Kalau pohon itu tumbang, hancurlah reputasi saya di kalangan warga. Seluruh warga di RT kami mengetahui keterlibatan saya sepenuhnya dalam setiap kegiatan RT, minimal dalam rangka Peringatan dan Perayaan 17 Agustusan yang selalu menyertakan saya untuk membuat proposal, anggaran, rancangan poster, pelaksanaan kegiatan, dan laporan pertanggungjawaban dengan semua nota yang lengkap sekaligus seberapa rupiah sisanya.Â
Saya beranjak dari situ menuju Panggung Renung untuk memakai sepatu kerja lapangan dan mengambil parang merek Tramontina bikinan Brazil yang saya beli di Pasar Klandasan. Bayangan pohon tumbang, merusak pagar kayu ulin, menimpa atap rumah tetangga, sekumpulan tetangga mencibir saya, dan wajah kecewa ketua RT berbaur dalam benak saya.
Selesai mengenakan sepatu dan mengambil parang saya kembali turun ke arah pohon itu. Embusan angin semakin kencang tetapi terasa agak basah. Gemerisik bambu semakin berisik. Pergesekan antara batang pohon dan kayu ulin pagar semakin nyata. Kedua anjing saya bergerak ke sana-sini sambil terus menggonggong. Terbayang lagi wajah para tetangga dan ketua RT.
Kepanikan menguasai pikiran-perasaan saya ketika menuruni tangga di samping beranda. Sepertinya sinar matahari meredup cukup cepat. Mungkin mendung berhasil membendungnya. Mungkin akan segera turun hujan.
Ketergesa-gesaan saya akibat kepanikan sedemikian rupa justru membuat saya lengah pada saat menuruni anak tangga. Langkah saya tidak pada satu per satu anak tangga melainkan bisa dua-tiga. Akibatnya saya kehilangan keseimbangan. Terjatuh, jungkir-balik, dan parang pun terlepas entah ke mana.
Seketika hujan turun dengan derasnya berikut angin sangat kencang. Kedua anjing saya menggonggong nyaring, disusul suara sebuah pohon tumbang, dan kayu patah. Â Â