Duduk di beranda Panggung Renung sembari minum kopi seusai merampungkan sebuah tahap pekerjaan perancangan bangunan memang menyenangkan dalam keseharian saya. Serumpun bambu dengan bebatang yang begoyang bersama angin sepoi-sepoi menjadi tarian serta senandung alam sore yang indah. Sementara matahari menyudut ke ujung Pura Giri Jaya Natha, sinar penatnya terhalau rimbunan bambu di sekliling tebing lahan kosong milik warga RT kami.
Cukuplah kemerdekaan kecil bersahaja ini saya nikmati tanpa perlu memikirkan hal-hal yang tidak berhubungan langsung dengan keseharian saya. Kelelahan mata yang beradu langsung dengan layar komputer jinjing pun dapat tereduksi oleh panorama hijau di sekitar. Dan, celotehan radio diiringi lagu-lagu tempo doeleoe, saya rasa, pun sangat kondusif.
Di depan saya, berjarak 3 meter, pun terdapat sebatang pohon yang sengaja tidak saya tebang sewaktu, dua tahun lalu, membangun Panggung Renung alias tempat kerja saya. Jaraknya dengan pagar kayu ulin hanya 0,5 meter.
Beberapa minggu lalu Pak RT mendatangi saya, menyarankan saya menebang pohon itu daripada kelak malah bermasalah antartetangga. Saya selalu mencari alasan yang tepat untuk menggugurkan anjuran ketua RT.
Di lain kesempatan saya justru berpikir soal anjuran ketua RT sangat tidak relevan dengan keseharian saya. Ketua RT tidaklah pernah benar-benar memerhatikan betapa pentingnya pohon itu, apalagi pada siang hari yang tengah terik sinar matahari. Saya mendugai, ketua RT tidak pernah memelajari ilmu pepohonan. Menurut saya, pohon itu tidak akan menjadi besar seperti pohon ulin, bengkirai, beringin, dan lain-lain, misalnya.
Ya, hanya saya yang sangat mengerti sekaligus menghayati keberadaan pohon itu dalam kenyataan sehari-hari. Apalagi ketika rehat sejenak sambil menyeruput kopi pada saban tengah hari. Ya, seperti juga saat ini. Ketua RT tidak akan pernah bisa menghayatinya, kecuali mencurigai atau menduga-duga sembari terus menghidupi pikiran negatifnya.. Â
Saya masih ingat juga, waktu masa pembangunan Panggung Renung tinggi pohon itu baru sekitar 3 meter. Kini sudah 10 meter, dengan dahan, ranting, dan daun yang menaungi atap seng Panggung Renung pada siang hari. Saya sama sekali tidak mengetahui namanya, termasuk ketika masa kecil di Sungailiat, Bangka.
Pohon yang berbuah matang berupa lendir yang berisi biji-biji serta tanpa kulit itu, harapan saya, dapat menjadi penghalang pandangan dari arah belakang rumah para tetangga RT seberang. Selama dua tahun keberadaan pohon itu sesuai dengan harapan saya, selain meredam dera sinar matahari pada saat tengah hari.
Sesuainya begini. Panggung Renung berada di tebing tanah sebelah utara. Sementara bagian belakang rumah-rumah warga RT yang sebagian berbentuk panggung berada di tebing tanah sebelah selatan. Jarak antara Panggung Renung dan belakang rumah-rumah warga hanya sekitar 25 meter. Di tengah tebing tanah utara-selatan terdapat tanah datar milik RT kami, yang masih bersemak belukar dan bertanaman merambat.Â
Di samping sebagai peredam dera sinar matahari langsung dan penghalang terhadap pandangan para tetangga seberang, pohon itu juga merupakan salah satu sumber pangan bagi burung-burung liar. Dengan adanya pohon itu, burung-burung hinggap, berkicau, dan bisa menikmati buah yang tidak mengenal musim.
Keberadaan burung-burung di pohon itu, sudah pasti, selalu menemani saya dalam bekerja sehari-hari. Suasana alamiah seperti inilah yang saya sukai sejak saya tidak pernah menikmatinya lagi ketika masih merantau di Ibukota.