Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebatang Pohon Sempoyongan

4 Juli 2017   09:04 Diperbarui: 4 Juli 2017   09:24 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terbayang pula kondisi yang kontras dari kabar kakak saya di Bangka. Kabarnya, kebun lada putih dan kelekak kami di kawasan dekat Bukit Betung, Sungailiat, ikut menjadi korban pembakaran hutan.  Padahal, kebun itu salah satu 'harta' keluarga kami di sana. Juga, kabar dari seorang kawan di Melak, Kaltim. Kabarnya, hutan karetnya menjadi korban pembakaran hutan, padahal karet merupakan ukuran kemakmuran di daerahnya.

Saya tidak mampu berkhayal lebih tentang pembakaran, seberapa besar si jago merah menghanguskan suatu kawasan hutan hingga melahap apa saja di sekitarnya. Semoga panorama hijau di sekitar Panggung Renung tetap terhidang, dan sebagai hutan mini yang mendapat semacam ketetapan legalistik melalui kebijakan dari Pimpinan Kelurahan Mekarsari.

Begitulah harapan sekaligus alasan saya untuk membiarkan pohon itu hidup apalagi dengan menikmati secangkir kopi pada hari-hari saya sendiri. Sementara angin belum reda mengipasi saya.

Tengah hari tadi mendung cukup pekat sangat menjanjikan turunnya hujan. Sayangnya, sebentar saja lantas mendung tidak berniat sungguh-sungguh untuk memenuhi harapan makhluk hidup. Mungkin gara-gara diusir angin.

Dari kursi rotan tua pandangan saya lurus ke serumpun bambu di sebelah Panggung Renung, atau tepatnya di belakang rumah tetangga sebelah rumah saya. Sinar matahari dari arah agak ke barat telah terhalau oleh tingginya bebatang bambu.

Angin terus berembus cukup kencang. Reranting dan dedaun bambu semakin bergemerisik, dan agak berisik. Beberapa kali terdengar pergesekan di antara bebatang bambu. Sementara serumpun bambu di seberang atau di tebing belakang sebuah rumah tetangga bagian selatan juga terlihat seperti sedang dipaksa menari-nari.

Sejuk pun menerpa kulit saya. Sembari menyeruput kopi, panorama hijau di belakang rumah-rumah sejenak melupakan saya dari suasana Kota Balikpapan yang bertabur kendaraan dan tembok, meskipun disemaraki pula oleh kain-kain jemuran para tetangga.

Kicau burung-burung liar terdengar di antara kehijauan. Tapi, entah mengapa, tidak ada yang singgah di sebatang pohon depan beranda Panggung Renung, yang selalu menyuguhkan makanan kesukaan burung-burung.

Barangkali keberadaan saya justru menakut-nakuti burung-burung, pikir saya tanpa melihat ke sebatang pohon itu.

Angin berembus berkali-kali. Gemerisik yang berisik dari bambu-bambu menggoda saya. Gesekan antarbatangnya terus bersuara merdu-alami. Kedua anjing saya mulai menggonggong tetapi saya bentak agar diam. Ya, gonggongan yang cukup berisik, dan berisiko diprotes para tetangga sehingga ada alasan nyata supaya saya menyingkirkan kedua penjaga bagian belakang rumah saya.

Dalam duduk menikmati kopi, saya mulai memerhatikan serumpun bambu di sebelah Panggung Renung. Saya semakin memerhatikannya ketika tampak beberapa batang bambu berposisi miring dengan sudut sekitar 30 dari tegaknya semula.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun