“Ah, mau tau aje! Tidur sono!” bentak neneknya dengan suara nyaring.
Aduh, belum juga saya mulai menulis, sudah didului oleh suara nyaring mereka. Mendadak saya kehilangan jalan cerita lagi.
“Nggak mau! Mau ikut nenek!” Semakin melengking teriaknya. Lalu balita itu menangis dengan suara nyaring.
“Eh, bocah, tidur sono lu! Tuh, emak lu udeh pules ama adik lu!”
“Nggak mau! Mau ikut nenek! Nenek mau ke mana?! Ikuuuut, Nek! Neeeek!”
“Orang mau ke wece, mau ikut juge! Bocah kagak ngarti ape-ape, nyolot aje bisanye!”
Balita itu telanjur menangis meraung-raung, disahuti hardikan keras neneknya, dan suara cucu-nenek memantul-mantul ke segala permukaan bidang benda di sekitar Panggung Renung. Tak ayal kebisingan merampas suasana hening malam yang khusyuk.
Brak!
Suara seng tertimpa sebongkah batu. Entah dari mana dan ulah siapa karena kegelapan sangat rapat di sekitar situ. Saya terkejut.
“Hei! Bangsat bajingan lu!” teriak si nenek. “Sini, kalo lu berani! Gue hajar kepale lu!”
Saya bergegas ke beranda untuk melihat, siapa yang telah terlibat dalam kebisingan keluarga paling bising sedunia itu. Di beranda arah mata saya segera tertuju ke segala penjuru, yang, tentunya, masih terjangkau oleh daya penglihatan.