Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Keluarga Paling Bising Sedunia

17 Juni 2017   17:07 Diperbarui: 17 Juni 2017   20:16 839
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suara musik berdentam-dentum ditimpali obrolan dua pria bernada tinggi. Seorang di antaranya adalah ayah si balita atau juga menantu si nenek. Entah di mana cucu dan nenek tadi. Mungkin sudah terkapar dalam kamar terbuai dentuman pengeras suara.

Sempat saya lirik ruang keluarga mereka hanya diterangi sinar dari televisi yang menempel di dinding. Memang jarang sekali mereka menyalakan lampu agar penerangan bisa mengurangi suasana gelap di area belakang rumah-rumah yang berseberangan dan menghadap jalan aspal masing-masing.

“Apa lihat-lihat!” teriak seorang pria, yang pasti adalah tamu mereka bernama Om Odang.

“Psss! Pssst!” Seperti suara kode kawannya alias menantu si nenek atau juga ayahnya balita itu. Seketika suara pria itu berganti paraunya mengikuti syair lagu dangdut koplo dengan irama musik dang-ding-dung.

Saya tidak bisa melihat bagaimana wujud rupa mukanya karena di sana benar-benar gelap. Hanya setitik lampu biru, dan dua titik nyala rokok. Padahal saya ingin sekali melihat muka orang yang tiba-tiba menyalak “apa lihat-lihat” tadi, meskipun, saya yakin, bukan dari pria yang menjadi menantu si nenek atau juga ayah si balita. Untuk apa kalau saya bisa melihat rupa orang itu?

***

Nyaris dua jam saya duduk di kursi rotan yang menjadi satu-satunya tempat duduk di beranda Panggung Renung. Kulit kacang kering berserakan di lantai papan beranda. Sepasang anjing kami–penjaga khusus area belakang rumah–tetap hening di kolong panggung apabila saya sedang berada di situ.

Baru saja kebisingan kedua pria dan musik tadi reda. Suasana mulai kembali ke keheningan aslinya, kecuali suara hewan malam yang akan begadang sampai menyambut semburat fajar. Malam Minggu sebentar lagi akan sampai ke puncak langit Kota Beruang Madu.

Saya masuk kembali, dan duduk di hadapan komputer jinjing yang sedari tadi menunggu sentuhan. Pukul 23.15. Sekilas saya teringat kulit kacang berserakan tetapi tidak saya gubris. Saya pikir, nanti saja saya bersihkan, kalau sudah rampung menulis.

“Aku nggak mau guling ini!”

“Lho, lu sendiri tadi nyang pake!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun