Sepulang dari tempat kerja saya diberi tahu istri saya. Katanya, kawannya, yang bernama Eva, mau datang, dan membawakan seekor anak anjing jantan berusia satu bulan. Kalau tidak keliru, satu bulan lalu istri saya sempat menyampaikannya.
“Bukan anjing ras atau anjing jenis terkenal, Bang. Cuma anjing kampung biasa.”
“Yang penting bisa bantu menjagamu kalau tidur siang.”
“Nggak cuma kalau tidur siang. Kalau sedang di dapur, dia bisa jaga halaman depan. Tapi kita belum menyiapkan namanya.”
“Kalau Demun, bagaimana?”
Istri saya tidak setuju. Menurutnya, sangat tidak elok memberi nama binatang diambil dari nama tetangga, apalagi terdekat, dan untuk nama anjing. Kalau suatu waktu kami memanggil nama itu lalu didengar tetangga dan tetangga lainnya, nanti langsung dianggap menghina tetangga. Jangankan nama tetangga, nama anggota keluarga atau si pemilik pun belum tentu disematkan untuk nama anjing.
“Pokoknya, Bang, jangan sampai ada nama yang sama, apalagi Demun.”
***
Saya memang sedang ‘bermusuhan’ dengan Demun, tetangga sebelah. Gara-gara kucing kesayangan keluarganya. Pasalnya, kucing mereka–entah diberi nama apa–pernah berak di halaman samping rumah kami pada suatu Minggu pagi. Pada siang hari kotorannya dipanggang matahari, dan aromanya dibawa angin masuk rumah kami. Kebetulan waktu itu kami sedang makan siang.
Semula saya kira, kotorannya berada di halaman samping rumah mereka yang bersebelahan dengan rumah kami. Sore harinya saya temukan kotorannya justru berada di halaman samping rumah kami.
Dasar kucing nggak pernah sekolah! Maki saya dengan spontan.