Nah, justru di dunia maya, dalam situasi sunyi-sendiri di suatu tempat, dan pada saat segenap perhatian tertuju (terkonsentrasi) pada jejaring media sosial, sosok-sosok yang tidak saling mengenal atau mendengar-melihat-menyentuh satu dengan lainnya ini merupakan bagian terpenting dalam ujian hidup ini. Bisa dibayangkan : sendiri di tempat sunyi menghadapi cemoohan “guoblok!” atau “tolol!” dari komentar orang-orang yang sama sekali tidak saya kenal.
Kesendirian dan kesunyian adalah situasi yang biasa saya alami sejak saya indekos pada masa SMA. Biasa hanya sekian jam, bisa pula satu hari utuh. Tergantung saya sendiri mengelola waktu-waktu saya. Dalam kondisi semacam itulah saya berusaha keras mengasah diri untuk menghadapi segala kemungkinan dan kemuskilan, termasuk komentar-komentar “tolol!” atau “guoblok!”yang sangat telak menghantam kepala dan dada saya.
Dan semua (persematan kata sifat) itu bisa berulang-ulang saya alami apalagi situasi “sensitif” nyaris satu tahun ini, ketika saya menyampaikan pemikiran saya. Saya berusaha menyampaikan dengan gaya bahasa yang sejuk-damai tetapi masih juga ada komentar yang melemparkan “umpan” itu. Mau-tidak mau, dan siap-tidak siap, inilah bagian dari ujian terhadap kemanusiaan saya secara jasmani dan rohani.
Tabur-Tuai
Di posisi lain saya berusaha mengingat, apakah saya pernah menyematkan kata-kata itu kepada orang lain. Mungkin dulu saya pernah mengatai orang lain “tolol” atau “goblok” dengan nada lantang dan mimik muka penuh penghayatan. Mungkin, karena jarang saya lakukan, atau sekadar sekilas dalam pikiran, saya lupa waktu kejadiannya. Tetapi, meski lupa, tetap saja saya pernah melakukannya atau sekadar memaki dalam pikiran.
Saya menduga, apa yang pernah saya tabur, itulah pula yang saya tuai pada suatu waktu kemudian. Hukum karma, kata orang Budha.
Mungkin hanya satu-dua butir saya tabur atau terjatuh dari “genggaman” saya selama perjalanan. Suatu waktu butiran itu tumbuh, dan menjadi pohon besar lalu berbuah. Buahnya dimakan atau dibawa burung-burung, lalu burung-burung terbang ke suatu tempat, dan biji-biji lainnya jatuh, tumbuh, dan menjadi pohon.
Pada suatu waktu berikutnya saya melangkah ke arah sana, dan menemukan pohon dan buahnya. Pada kulit pohon dan buahnya tertulis “tolol”, “goblok”, “bodoh”, “bego”, “blo’on”, atau “dungu” seperti garis tulisan saya sekian waktu silam. Begitu dugaan saya berdasar suatu faham “tabur-tuai”.
Jadi, kesimpulannya apa?
Kata “tolol”, “goblok”, “bodoh”, “bego”, “blo’on”, atau “dungu” bukanlah barisan kata aneh, asing, dan jarang muncul di jejaring media sosial. Satu-dua kata bisa disematkan kepada siapa pun bukanlah lantaran si “siapa pun” telah melakukan suatu tanggapan (komentar) memang patut-tidak patut diganjar dengan sebutan (makian) begitu (“tolol” atau “goblok”).
Biasalah, berbalas kata atau ejekan seperti masa kanak-kanak, meski sebenarnya merupakan kebiasaan tidak baik. Saya pernah mengalami masa kanak-kanak dengan ejekan-ejekan sejenis itu. Bukankah sejak kanak-kanak memang ada masa pembentukan karakter, dan hidup selalu menyuguhkan segala jenis konsekuensi?