Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tolol, Goblok, Bodoh, Bego, Blo'on, atau Dungu

5 Juni 2017   11:02 Diperbarui: 13 Oktober 2018   22:43 10844
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tolol, goblok, bodoh, bego, blo’on, atau dungu merupakan barisan kata sifat yang, di antaranya, sering disematkan pada orang lain, baik terhadap anak-anak maupun orang tua, di suatu lingkungan sosial sebagai ejekan, makian, umpatan, tudingan, pelecehan, penistaan, dan lain-lain. Di era keterbukaan informasi mutakhir melalui jejaring media sosial, persematan kata sifat tersebut semakin jelas-gamblang-terpampang. Perhatikan saja pada kolom komentar, baik di bawah suatu berita atau opini maupun pendapat komentator sebelumnya.

Tidak satu-dua kali saya mendapat sematan kata-kata itu bersama kata lainnya. “Dasar bego!”, “Dasar blo’on!”, “Domba dungu!”, “Guoblok!”, dan seterusnya, yang secara manusia-ego, saya sangat tersinggung, jengkel, sebal, marah, bahkan pernah hingga kepala seakan hendak meledak, dada berdebar-debar seperti ada gempa di dalamnya, tangan gemetar, dan gemeretak di gerigi saya karena menahan amarah.

Sungguh keterlaluan. Saya mengomentari berita atau tulisan opini atau esai. Saya tidak suka mengomentari atau nimbrung dalam komentar orang-orang, seolah “mengeroyok” seorang komentator dan membela komentator lainnya sebab, bagi saya, “mengeroyok” seorang komentator yang “teledor” sekaligus “membela” komentator lainnya merupakan tindakan pengecut dan memalukan-memilukan.  

Lha ini, mengapa mendadak orang-orang yang tidak kelihatan secara fisik itu “menghakimi” saya dengan “tolol, goblok, bodoh, bego, blo’on, atau dungu” ? Mereka tidak mengenal saya, tidak mengetahui bagaimana saya… Ah, pokoknya begitu deh.

Membalas Hinaan dengan Hinaan

Kata “bego” atau “blo’on” dari kosakata bahasa daerah atau pergaulan lingkup tertentu, bagi saya, terasa belum menggetarkan. Mungkin terasa disenggol sebatang lidi kelapa. Kata “bodoh” atau “dungu” mulai terasa getarnya, seakan dipukul pakai sebatang ranting seukuran kelingking orang dewasa. Nah, kalau sudah muncul “tolol” atau “goblok”, terus terang, kepala dan dada saya bak digebuk pakai sebatang balok kayu ukuran 12x12 cm.

Apakah memang enak membaca sebutan “dasar tolol kau!”, “dasar goblok kamu!”, “manusia bodoh!”, “bego dipelihara”, “blo’on nggak ketulungan”, atau “domba dungu” dituliskan komentator lain, dan dibaca banyak mata begitu? Apakah itu bukan termasuk memfitnah dan menista saya di depan mata jutaan pembaca media sosial?

Orang-orang gegabah, ceroboh, takabur, dan tong kosong nyaring bunyinya lalu seenak jarinya sendiri menuding-nuding saya seolah mereka sudah mengenal siapa saya sebenarnya. Mereka seolah paling memahami isi pikiran saya, prestasi-prestasi atau piagam-piagam penghargaan apa saja yang pernah saya raih. Mereka seolah bapak-ibu saya yang selalu mengamati jejak pendidikan saya, atau malaikat pengiring hidup saya, bahkan sudah menjadi tuhan yang bisa melihat kapasitas berpikir saya lalu.

Terkadang saya langsung menanggapi dengan kata-kata emosional yang meluap-luap, apalagi setelah saya dapatkan informasi mengenai siapa orang yang menghina saya itu. “Lu jual, gue beli!” kata orang Jakarta. Siapa yang sebenarnya “tolol” atau “goblok” di antara saya dan si komentator itu, saya cermati isi komentarnya.

Satu-dua kosakata, bahkan huruf yang mereka pakai dalam suatu kalimat komentar untuk “menghina” saya, bisa saya pakai sebagai “senjata makan tuan”. Saya tidak pernah kehilangan cara untuk menjadikan satu-dua kata itu sebagai “senjata makan tuan”, terlebih jika saya mengetahui siapa mereka melalui akun jejaring sosial.

Dari satu-dua kata mereka, saya olah sedemikian rupa, bisa menjadi semacam muntahan peluru dari sebuah senapan mesin termutakhir. Saya akan “menembaki” komentator itu dengan berondongan peluru kata dari puncak kepala hingga telapak kaki melalui komentar saya. Saya tidak peduli, si komentator mau mengatakan apa, asalkan saya bisa meluapkan emosi saya, dan giliran si komentator itu saya permalukan dengan hal-hal sepele-dangkal hingga benar-benar nyata kebodohannya sendiri.

Setelah memberondong kata pembalasan, si komentator tidak muncul, lalu ditimpali oleh komentator lain yang ikut “mendukung” atau “membela” saya, bagi saya, selesailah berbalas makian di situ. Gelombang emosi saya berangsur reda-tenang. Saya tinggalkan berita itu sampai besak atau lusa, kecuali ada tanggapan lagi.

Ternyata Memang Benar

Dalam suasana yang kondusif, semisal sekian menit jam sehabis bangun tidur dan udara sejuk, seringkali saya menyadari bahwa kata-kata emosional yang meluap-luap itu justru merupakan kebodohan saya. Oh, ya? Ya, benar. Tidaklah keliru sematan kata sifat itu pada diri saya. Saya memang begitu (sesuai dengan sematan kata sifat tersebut).

Itulah kebodohan saya sesungguhnya. Mengapa begitu? Saya melahap “umpan”, dan sisi jiwa saya tersangkut di “joran” komentar kata-kata sifat itu.

Jika diibaratkan bahwa jiwa adalah laut, kebodohan adalah ikan-ikan kelaparan dalam diri saya. Kalau saya sedikit marah, itulah ikan buntal. Tapi kalau sudah sampai menggetarkan tubuh daya sendiri, itulah raja ikan hiu atau naga laut yang tengah dilanda kelaparan akut. Dalam kondisi murka, saya ingin melumat dan menelan mereka hidup-hidup.

Ini suatu kebodohan luar biasa. Kebodohan saya yang lalai merantai ofensivitas ego primitif saya sendiri. Dan, saya sendiri yang “menghancurkan” apa yang sekian puluh tahun saya bangun-benahi-hiasi, hanya gara-gara begitu.

Kesadaran Sering Berada di Belakang

Kondisi tersebut saya sadari pada tempo sekian waktu berikutnya, dimana saya berada dalam situasi meditasi-kontempelasi sesuai dengan ritual-keyakinan saya sendiri.

Tersering saya malu, dan teramat malu pada diri saya sendiri. Sekian puluh tahun saya membentuk diri saya, dengan aneka persoalan, perbedaan, dan lain-lain, tentunya, saya bisa mengenali diri saya sendiri dalam sisi terang-gelapnya alias benar-salah. Hanya dengan satu “umpan” kata, semisal “bodoh”, langsung saya sambar “umpan” itu.

Ya, kebodohan saya, yang masih sering lupa bahwa inilah kenyataan hidup sesungguhnya, meski sedang berselancar di dunia maya sekalipun. Padahal, berselancar di dunia maya lebih sering saya lakukan seorang diri di suatu tempat yang kondusif (sunyi, kecuali satu-dua lengking serangga malam), dan saya juluki “Panggung Renung”.

Suatu Ujian yang Berulang

Nah, justru di dunia maya, dalam situasi sunyi-sendiri di suatu tempat, dan pada saat segenap perhatian tertuju (terkonsentrasi) pada jejaring media sosial, sosok-sosok yang tidak saling mengenal atau mendengar-melihat-menyentuh satu dengan lainnya ini merupakan bagian terpenting dalam ujian hidup ini. Bisa dibayangkan : sendiri di tempat sunyi menghadapi cemoohan “guoblok!” atau “tolol!” dari komentar orang-orang yang sama sekali tidak saya kenal.

Kesendirian dan kesunyian adalah situasi yang biasa saya alami sejak saya indekos pada masa SMA. Biasa hanya sekian jam, bisa pula satu hari utuh. Tergantung saya sendiri mengelola waktu-waktu saya. Dalam kondisi semacam itulah saya berusaha keras mengasah diri untuk menghadapi segala kemungkinan dan kemuskilan, termasuk komentar-komentar “tolol!” atau “guoblok!”yang sangat telak menghantam kepala dan dada saya. 

Dan semua (persematan kata sifat) itu bisa berulang-ulang saya alami apalagi situasi “sensitif” nyaris satu tahun ini, ketika saya menyampaikan pemikiran saya. Saya berusaha menyampaikan dengan gaya bahasa yang sejuk-damai tetapi masih juga ada komentar yang melemparkan “umpan” itu. Mau-tidak mau, dan siap-tidak siap, inilah bagian dari ujian terhadap kemanusiaan saya secara jasmani dan rohani.

Tabur-Tuai

Di posisi lain saya berusaha mengingat, apakah saya pernah menyematkan kata-kata itu kepada orang lain. Mungkin dulu saya pernah mengatai orang lain “tolol” atau “goblok” dengan nada lantang dan mimik muka penuh penghayatan. Mungkin, karena jarang saya lakukan, atau sekadar sekilas dalam pikiran, saya lupa waktu kejadiannya. Tetapi, meski lupa, tetap saja saya pernah melakukannya atau sekadar memaki dalam pikiran.

Saya menduga, apa yang pernah saya tabur, itulah pula yang saya tuai pada suatu waktu kemudian. Hukum karma, kata orang Budha.

Mungkin hanya satu-dua butir saya tabur atau terjatuh dari “genggaman” saya selama perjalanan. Suatu waktu butiran itu tumbuh, dan menjadi pohon besar lalu berbuah. Buahnya dimakan atau dibawa burung-burung, lalu burung-burung terbang ke suatu tempat, dan biji-biji lainnya jatuh, tumbuh, dan menjadi pohon.

Pada suatu waktu berikutnya saya melangkah ke arah sana, dan menemukan pohon dan buahnya. Pada kulit pohon dan buahnya tertulis “tolol”, “goblok”, “bodoh”, “bego”, “blo’on”, atau “dungu” seperti garis tulisan saya sekian waktu silam. Begitu dugaan saya berdasar suatu faham “tabur-tuai”.

Jadi, kesimpulannya apa?

Kata “tolol”, “goblok”, “bodoh”, “bego”, “blo’on”, atau “dungu” bukanlah barisan kata aneh, asing, dan jarang muncul di jejaring media sosial. Satu-dua kata bisa disematkan kepada siapa pun bukanlah lantaran  si “siapa pun” telah melakukan suatu tanggapan (komentar) memang patut-tidak patut diganjar dengan sebutan (makian) begitu (“tolol” atau “goblok”).

Biasalah, berbalas kata atau ejekan seperti masa kanak-kanak, meski sebenarnya merupakan kebiasaan tidak baik. Saya pernah mengalami masa kanak-kanak dengan ejekan-ejekan sejenis itu. Bukankah sejak kanak-kanak memang ada masa pembentukan karakter, dan hidup selalu menyuguhkan segala jenis konsekuensi?

Setiap orang harus bersiap-sedia kapan saja untuk bertanggung jawab atas pemilihan kata-kata itu terhadap siapa saja di kemudian hari. Dan siapa saja, bahkan seorang profesor pun, harus bersiap-sedia kapan saja untuk terkena “tembakan” kata-kata itu. Masing-masing memiliki risiko, entah wajar ataupun keterlaluan. Kalau tidak siap, tinggalkan saja jejaring media sosial itu.

Persoalannya, di dunia orang dewasa, hukum formal sudah berlaku. Mengumbar kata-kata yang “tidak menyenangkan”, sudah ada pasal dan sanksi hukumnya. Yang tidak tahan mental tapi memiliki kawan setara emosinya, lalu mendatangi pengejek dan menganiaya atau melakukan tindakan secara fisik pada si pengejek, maka berbeda lagi pasal dan sanksi hukumnya.

*******

Panggung Renung Balikpapan, 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun